LESTARI BUDAYA

Desember 12, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

Hutan, Manusia Yang Pelupa Dan Bencana Alam

2 min read

Hutan, Manusia Yang Pelupa Dan Bencana Alam

Sejak manusia pertama hadir di dunia, kita bukanlah penguasa, melainkan anak dari sebuah ruang hidup yang lebih tua dari ingatan kita sendiri. Banyak hal yang kita pelajari dari tempat itu: mengenali akar sebagai sumber makanan, membaca aliran sungai sebagai penanda musim, dan memahami ritme alam sebagai pedoman bertahan hidup.

Pada masa ketika dunia masih muda dan tanah belum mengenal jejak yang memijaknya, hutan mengambil peran layaknya ibu yang menunggu anak-anaknya pulang. Dari sanalah kita bermula, dan ke sanalah pula naluri kita selalu kembali.

Membicarakan hutan berarti menelusuri seberapa dalam hubungan manusia dengan kehidupan lain, dan bagaimana interaksi itu terbentuk: apakah saling menguntungkan, atau justru timpang sehingga satu pihak diuntungkan sementara yang lain dirugikan. Rasa heran tak pernah habis ketika memikirkan hutan—bagaimana suatu entitas dapat menopang begitu banyak kehidupan sepanjang keberadaannya.

Manusia kini telah tumbuh menjadi makhluk yang merasa cukup dewasa untuk menentukan jalannya sendiri. Dalam proses itu, ia perlahan menjauh dari cara hidup lamanya—cara hidup yang dahulu terjalin erat dengan dunia yang membesarkannya.

Modernitas, struktur politik, dinamika ekonomi, hingga teknologi menjadi alasan manusia melepaskan diri dari ikatan lama itu. Semua hal yang dianggap sebagai kemajuan justru membuatnya lupa pada entitas yang menopang hidupnya sejak masa purba. Dari sanalah muncul hilangnya rasa hormat; seolah hubungan yang pernah begitu mendasar kini tak lagi memiliki nilai.

Lalu apa arti hormat dan ingatan tentang hutan bagi manusia modern? Dalam hiruk pikuk ambisi dan pembangunan, keduanya sering tampak tak lebih dari sisa tradisi yang dianggap tak relevan—padahal di sanalah jejak awal keberadaan kita tersimpan.

Benarlah bahwa dari hutan kita belajar hingga dapat mencapai peradaban seperti sekarang. Namun kita juga selalu menyadari bahwa suatu hari “Ibu Hutan” akan memberi teguran ketika hubungan itu dirusak. Dan kini, bencana yang terjadi di berbagai wilayah Nusantara—terutama di tanah Swarnadwipa—tampak seperti pesan yang sulit diabaikan.

Ribuan batang pohon mati terseret air, berkumpul di muara dan lautan. Mereka menjadi bukti bisu bahwa hutan telah diluluhlantakkan oleh mesin-mesin berat. Tanah yang dulu kuat menahan air kini tak lagi mampu; ia kehilangan pegangan dan tak punya alasan untuk tetap bertahan. Semua itu berubah seiring makin rapuh dan makin sakitnya tubuh bumi.

Akibatnya, ratusan nyawa melayang, rumah-rumah tak lagi aman, dan manusia kehilangan begitu banyak dalam sekejap. Inilah harga yang harus dibayar atas lupa dan hilangnya rasa hormat—karena jauh di dalam hati kita tahu bahwa ibu bumi, ketika terus disakiti, pada akhirnya akan murka.

Duka kita tertuju pada para korban, dan duka yang sama tertuju pada ibu bumi yang telah lama memberi sebelum akhirnya tersungkur oleh perlakuan anak-anaknya sendiri.(*)

Penulis : Dhecky Hertonal, SH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *