Memimpin adalah Distribusi, Bukan Akuisisi
2 min read
“Memimpin adalah Distribusi, Bukan Akuisisi”
Oleh: Jumran Amir Karim (Ketua Partai PRIMA Konawe) —
Dalam banyak konteks pemerintahan, kekuasaan terkadang memiliki general tendency dimana kewenangan sering dijalankan sebagai alat sentralisasi kepentingan kelas tertentu, bukan sebagai mandat untuk distribusi keadilan dan memperluas kesejahteraan. Struktur kebijakan dibangun mengikuti jejak kelompok yang dominan dalam lingkar kekuasaan, sementara rakyat hanya menerima sisa hasil kongkalikong agenda pembangunan.
Inilah wajah umum politik pemerintahan ketika paradigma yang dipegang adalah “akuisisi kekuasaan”. Pemerintah kemudian beroperasi dengan logika: menguasai dulu, mensejahterakan nanti, bila ada ruang dan kemauan.
Pendekatan seperti ini menciptakan pembelahan sosial: yakni kelas pengakses kekuasaan (pemilik modal, elit birokrasi, lingkar politik), dan kelas penerima dampak kekuasaan (masyarakat umum, buruh, petani, nelayan, UMKM, pemuda).
Selama kekuasaan ditempatkan sebagai instrumen akuisisi, merebut, mendominasi dalam soft discrimination, jurang antar kelas akan semakin dalam. Sebuah disparitas, yang kami sebut sebagai fenomenologi politik moral pemerintahan.
Karena itu, kunci pembaruan pemerintahan bukan sekadar perubahan pejabat, tetapi perubahan paradigma kekuasaan, dari “akuisisi” menuju “distribusi”.
Distribusi kekuasaan bukan sekadar membagi anggaran; ia adalah mekanisme mengoreksi ketimpangan sosial yang dihasilkan oleh struktur ekonomi dan politik yang hirarkis. Ketika pemerintah memimpin dengan paradigma distribusi, maka:
* kekuasaan membuka akses ekonomi untuk semua, bukan hanya yang terhubung dengan elit;
* investasi diarahkan untuk mengangkat kelas bawah, bukan memperkaya kelas atas;
* pendidikan dan kesehatan menjadi hak universal, bukan komoditas;
* kebijakan sosial menyentuh yang paling rentan terlebih dahulu, bukan sekadar yang paling berpengaruh dan berjasa di lingkar kekuasaan.
Kekuatan pemerintah tercermin bukan dari siapa yang dekat dengan kekuasaan, tetapi dari siapa yang paling merasakan manfaat kekuasaan.
Pemerintahan yang berorientasi akuisisi membangun daerah untuk elit. Pemerintahan yang berorientasi distribusi membangun daerah untuk rakyat.
Dalam politik pemerintahan, analisis kelas tidak dapat dihindari. Selama kebijakan hanya berpihak pada kelas yang dominan secara ekonomi dan politik, daerah akan selalu berada jauh dari keadilan sosial.
Reformasi di daerah yang sejati tidak tercapai dengan slogan, tetapi dengan redistribusi anggaran secara adil, redistribusi peluang ekonomi untuk seluruh lapisan masyarakat, serta redistribusi akses terhadap pendidikan, kesehatan, tanah, teknologi, dan ruang gagasan politik kebijakan.
Ketika kekuasaan mengalir ke bawah kepada rakyat, di situlah stabilitas dan legitimasi politik tercipta. Sebaliknya, semakin kekuasaan dikurung untuk kepentingan segelintir kelas, semakin pemerintahan kehilangan kepercayaan publik.
Sebab pada akhirnya, politik pemerintahan bukan tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi siapa yang berdiri paling kuat setelah kekuasaan dijalankan, elit atau rakyat.
Dan pemerintahan yang ingin berdiri pada sisi rakyat hanya mungkin berdiri di atas prinsip ini: “Memimpin adalah distribusi, bukan akuisisi”. Karena kesejahteraan yang terdistribusi adalah fondasi sejati dari kekuasaan yang sah.(*)

