LESTARI BUDAYA

Desember 17, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

Tambang di Hutan Lindung Kabaena: Bayar Denda Rp500 Miliar, PT TMS Bebas dari Proses Pidana?

3 min read

Tambang di Hutan Lindung Kabaena: Bayar Denda Rp500 Miliar, PT TMS Bebas dari Proses Pidana?

Kerusakan hutan terbukti, audit BPK ada, Satgas PKH menetapkan denda Rp2 triliun, namun penegakan hukum pidana tak kunjung berjalan

Kabaena, suarapinggiran.com — Aktivitas pertambangan PT TMS di kawasan Hutan Lindung Pulau Kabaena kembali memantik polemik serius. Meski terbukti dilakukan di kawasan hutan lindung dan menimbulkan kerusakan lingkungan, hingga kini tidak ada proses pidana terhadap korporasi tersebut. Pemerintah justru memilih jalur sanksi administratif berupa denda sekitar Rp2 triliun, dengan realisasi pembayaran baru mencapai sekitar Rp500 miliar.

Situasi ini memunculkan pertanyaan mendasar di ruang publik: apakah pembayaran sanksi administratif dapat menghapus pertanggungjawaban pidana atas kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup?

Audit BPK dan Temuan Satgas PKH

Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan temuan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), PT TMS terbukti melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung Pulau Kabaena. Aktivitas tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dan kawasan hutan, sekaligus menimbulkan kerugian negara.

Atas temuan itu, Satgas PKH menetapkan kewajiban sanksi administratif sebesar ±Rp2 triliun. Namun hingga kini, pembayaran yang direalisasikan baru sekitar Rp500 miliar dan tidak diikuti dengan proses penyidikan pidana.

UU Kehutanan: Tidak Ada Ruang Penghapusan Pidana

Forum Kajian dan Pemantauan Kebijakan (FKPK) Indonesia menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara tegas mengkualifikasikan aktivitas pertambangan di kawasan hutan lindung tanpa izin sebagai tindak pidana.

Dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a dan g, penggunaan kawasan hutan yang mengakibatkan kerusakan dilarang. Sementara Pasal 78 mengatur ancaman pidana penjara dan denda pidana bagi pelanggarnya.

“Tidak ada satu pun norma dalam UU Kehutanan yang menyatakan bahwa sanksi administratif atau pembayaran denda dapat menggugurkan pertanggungjawaban pidana,” tegas Adi Yusuf Tamburaka.

UU PPLH Tegaskan Sanksi Bersifat Kumulatif

Hal yang sama ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Regulasi ini menganut prinsip kumulatif, bukan alternatif.

Pasal 76 mengatur sanksi administratif, Pasal 97 menegaskan bahwa tindak pidana lingkungan hidup merupakan kejahatan, dan Pasal 119 menegaskan bahwa pidana tidak menghapus kewajiban pemulihan maupun sanksi lainnya.

Bayar Denda Bukan Alasan Hentikan Penyidikan

Artinya, sanksi administratif tidak dimaksudkan untuk menggantikan atau meniadakan proses pidana.

Dalam hukum pidana Indonesia, tidak dikenal asas “penebusan pidana” untuk kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan. Pembayaran denda administratif tidak menghapus perbuatan melawan hukum, tidak menghilangkan akibat pidana, dan tidak menghapus pertanggungjawaban pidana korporasi maupun pengurusnya.

Sebaliknya, menurut FKPK, pembayaran sebagian denda justru memperkuat fakta adanya pelanggaran hukum.

Korporasi dan Direksi Tetap Bisa Dipidana

Mengacu pada Pasal 116 UU PPLH, apabila tindak pidana dilakukan oleh badan usaha, maka korporasi, direksi, pengurus, hingga pengendali perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara langsung.

FKPK menilai, penghentian penegakan hukum pidana hanya karena telah dikenakan sanksi administratif merupakan kesalahan penerapan hukum (error in law) dan berpotensi menjadi bentuk penyalahgunaan kewenangan.

Dinilai Bertentangan dengan Konstitusi

Pembiaran terhadap dugaan kejahatan lingkungan ini dinilai bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 terkait pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan berkeadilan.

“Negara tidak boleh mereduksi kejahatan ekologis menjadi transaksi administratif,” tambahnya

Ujian Supremasi Hukum Lingkungan

Kasus PT TMS di Pulau Kabaena kini menjadi ujian nyata supremasi hukum lingkungan di Indonesia. Tanpa proses pidana yang berjalan paralel, penegakan hukum berisiko menciptakan preseden buruk: kejahatan ekologis cukup ditebus dengan denda administratif.

Apakah hukum akan ditegakkan secara utuh, atau negara kembali kompromi terhadap kerusakan lingkungan?(*)

Laporan : Umar Dafani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *