LESTARI BUDAYA

Desember 12, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

CSR di Sulawesi Tenggara: Dari Konawe hingga Kolaka Utara, Negara Tidak Boleh Terus Abai

3 min read

Oplus_0

CSR di Sulawesi Tenggara: Dari Konawe hingga Kolaka Utara, Negara Tidak Boleh Terus Abai

Oleh: Adi Yusuf Tamburaka, Analis Kebijakan Ahli Madya

Sulawesi Tenggara telah lama dikenal sebagai salah satu episentrum industri ekstraktif di Indonesia, khususnya pertambangan nikel dan emas. Di balik geliat investasi dan jargon pembangunan, tersembunyi realitas sosial yang seharusnya mengusik nurani publik: masyarakat yang hidup di sekitar tambang justru menjadi kelompok yang paling rentan menanggung dampak sosial dan kerusakan lingkungan.

Konawe, Konawe Selatan, Kolaka, Bombana, Kolaka Utara, dan Konawe Utara adalah wajahpaling konkret dari kontradiksi tersebut. Wilayah-wilayah ini menyumbang besar bagi rantai pasok mineral nasional, namun hingga hari ini masih bergulat dengan problem klasik: keterbatasan air bersih, rusaknya lahan pertanian, terganggunya mata pencaharian masyarakat pesisir dan darat, serta konflik ruang hidup yang terus berulang.

Secara hukum, tidak ada ruang abu-abu dalam persoalan ini. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas secara mewajibkan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam. Rezim hukum pertambangan juga mewajibkan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagai kewajiban melekat pada izin usaha pertambangan. Dengan kata lain, CSR bukanlah kebijakan sukarela, melainkan perintah konstitusional dalam konteks keadilan sosial.Persoalannya bukan terletak pada ketiadaan hukum, tetapi pada lemahnya keberanian negara menegakkan hukum itu sendiri.

Di banyak lokasi di Konawe dan Konawe Selatan, desa–desa lingkar tambang masih menjadi korban polusi air dan debu. Di Kolaka dan Bombana, lubang bekas tambang dan sedimentasi sungai menjadi ancaman laten bagi keselamatan warga. Di Kolaka Utara dan Konawe Utara, ekspansi industri ekstraktif terus menekan ruang hidup masyarakat adat dan petani kecil.

Fenomena ini menunjukkan adanya apa yang dalam doktrin hukum disebut sebagai kelalaian struktural (structural negligence). Ketika kewajiban hukum diketahui, tetapi tidak ditegakkan; ketika pengawasan menjadi formalitas; dan ketika sanksi tidak pernah dijalankan secara konsisten, maka hukum kehilangan wibawanya di hadapan kekuatan modal.

Dalam perspektif hukum lingkungan modern, kewajiban CSR tidak bisa dipisahkan dari prinsip polluter pays dan prinsip strict liability. Artinya, kerusakan dan dampak sosial bukanlah risiko yang boleh ditransfer kepada rakyat, melainkan tanggung jawab hukum yang melekat pada korporasi. Ketika prinsip ini gagal diterapkan, maka yang terjadi adalah normalisasi ketidakadilan.

Disisi lain, sektor perbankan yang menjadi tulang punggung pembiayaan proyek ekstraktif tidak boleh terus ditempatkan dalam posisi netral. Prinsip keuangan berkelanjutan yang telah diatur dalam regulasi sektor jasa keuangan seharusnya memaksa bank untuk menginternalisasi risiko sosial dan lingkungan dalam setiap keputusan pembiayaan. Diamnya sektor keuangan atas dampak sosial proyek yang mereka biayai merupakan bagian dari mata rantai persoalan.

Sulawesi Tenggara tidak kekurangan sumber daya alam. Yang kurang adalah keberanian politik dan hukum untuk memastikan kekayaan itu benar-benar memihak rakyat. CSR bukan sekadar program. Ia adalah kontrak sosial. Ia adalah instrumen korektif dalam distribusi manfaat pembangunan.Disisi lain, sektor perbankan yang menjadi tulang punggung pembiayaan proyek ekstraktif tidak boleh terus ditempatkan dalam posisi netral.

Prinsip keuangan berkelanjutan yang telah diatur dalam regulasi sektor jasa keuangan seharusnya memaksa bank untuk menginternalisasi risiko sosial dan lingkungan dalam setiap keputusan pembiayaan. Diamnya sektor keuangan atas dampak sosial proyek yang mereka biayai merupakan bagian dari mata rantai persoalan.

Sulawesi Tenggara tidak kekurangan sumber daya alam. Yang kurang adalah keberanian politik dan hukum untuk memastikan kekayaan itu benar-benar memihak rakyat. CSR bukan sekadar program. Ia adalah kontrak sosial. Ia adalah instrumen korektif dalam distribusi manfaat pembangunan.Jika negara terus abai, maka Konawe, Konawe Selatan, Kolaka, Bombana, Kolaka Utara, dan Konawe Utara hanya akan mewariskan tanah rusak, air tercemar, dan konflik sosial kepada generasi berikutnya.

Hukum tidak boleh berhenti di atas kertas.
Negara tidak boleh tunduk pada modal.
Dan masyarakat tidak boleh terus menjadi korban.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *