LESTARI BUDAYA

Desember 12, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

Festival Sastra Jakarta Barat 2025 : Ruang Pulang Bahasa, Ingatan, dan Masa Depan Kota

4 min read

Festival Sastra Jakarta Barat 2025 :
Ruang Pulang Bahasa, Ingatan, dan Masa Depan Kota

Oleh : Emi Suy

Pada Sabtu, 6 Desember 2025, Gedung Kesenian PPSB Rawa Buaya menjadi tempat kota kembali mengingat dirinya. Sejak pagi, warga berduyun-duyun datang membawa suara, gerak, tarian, dan puisi, seperti arus yang tak bisa ditahan ketika bahasa menemukan rumahnya. Festival Sastra Jakarta Barat 2025 diinisiasi KOSAKATA dengan tema “Dengan Sastra Kita Bentuk Wajah Kota Global Penuh Pesona” hadir sebagai ruang di mana laporan faktual, denyut budaya, kedalaman puitik, dan pesan resmi kota bertemu dalam satu peristiwa yang menghangatkan.

Sejak pembukaan pukul 09.30 oleh panitia, Lurah Rawa Buaya, dan Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Barat, suasana segera berubah: formalitas pemerintah menyatu dengan spontanitas warga. Anak-anak, remaja, penyandang disabilitas, kelompok hadroh, hingga orkes Melayu tampil bergantian, menciptakan halaman pertama festival sebagai peristiwa sosial yang bukan sekadar agenda, melainkan perayaan kolektif. Dari sudut pandang jurnalis, semua berjalan terstruktur. Dari mata majalah budaya, semua tampil sebagai fragmen identitas lokal. Dari ruh puitik, semua itu adalah cara kota menata napasnya kembali.

Usai jeda siang, panggung bergerak ke Lomba Baca Puisi Kelompok, kompetisi yang dinilai oleh Octavianus Masheka, Anto Ristargie, dan Emi Suy. Ada rasa pertandingan, tetapi juga ada rasa belajar. Suara-suara muda tumbuh saling menyempurnakan, membuktikan bahwa proses kreatif selalu lebih luas dari sekadar menang atau kalah. Di saat yang sama, festival memberi pesan resmi bahwa Pemkot Jakarta Barat mendukung ruang literasi yang melibatkan warga lintas usia dan latar.

Sesi Kompilasi Sastra kemudian menjadi ruang luas bagi para penyair untuk hadir: Herry Tany, Arie Toskir, Le Suyudi, Emak Ocha, Jalin Pitoeng, Boy Mihaballo, Ei Genggong Bandito, dan berbagai komunitas lainnya. Dari perspektif jurnalistik, ini adalah dokumentasi ekosistem sastra yang hidup. Dari sisi budaya, ia adalah bukti bahwa Jakarta Barat bukan sekadar wilayah administratif, melainkan ruang tumbuhnya tradisi lisan, teater, dan puisi kota. Dari sisi puitik, suara-suara itu terasa seperti pendar cahaya yang saling mengisi.

Menjelang sore, panggung bergeser ke akar tradisi: Pantun Betawi, Sahibul Hikayat, Topeng Blantek, Puisi Berima, dan Dramatisasi Puisi. Aldo Cs, Kukuh Santosa, SangSena Rontje Melati, hingga komunitas seni Betawi membawa tubuh budaya ke depan publik. Tradisi itu tidak tampil sebagai arsip, tetapi sebagai organisme yang hidup, mengingatkan kota untuk tidak tercerabut dari tanahnya sendiri. Secara kultural, ini adalah titik penting bagi festival: modernitas boleh melaju, tetapi identitas harus dipelihara.

Malam hari menjadi ruang paling intim dari keseluruhan festival. Musikalisasi Puisi Anthurium Musikal Kristoforus II membuka suasana dengan aliran musikal yang merangkul teks. Sanggar Raisya menari seperti tubuh yang mengulang sejarah dengan bahasa gerak. Kehadiran Emi Suy dan Octavianus Masheka di panggung mempertemukan dua arus interpretasi: yang tegas dan yang lirih, yang reflektif dan yang membelah sunyi. Di titik ini, festival tidak lagi sekadar acara; ia menjadi ruang kontemplasi publik.

Anto Ristargie menyampaikan laporan panitia dalam nada yang tidak kering lebih sebagai ungkapan syukur kolektif atas kerja bersama warga dan seniman. Hadirin kemudian menyaksikan Jose Rizal Manua, maestro panggung Indonesia, membacakan puisi dengan kedalaman yang menggerakkan generasi muda maupun tua. Suaranya adalah jembatan; penampilannya adalah pengingat bahwa seni tidak berdiri sendiri, melainkan diteruskan dari tangan ke tangan, dari masa ke masa.

Puncak paling menyedot perhatian datang ketika Imam Ma’arif dan Bambang Oeban duo penyair kembar naik panggung. Dua tubuh serupa itu berdiri di dua ujung mikrofon yang seolah ditarik oleh satu rahim ingatan. Imam mengawali dengan nada rendah dan terukur; Bambang menimpali dengan ritme patah yang lebih ritmis. Mereka tidak bertanding, tetapi berdialog. Mereka tidak membacakan puisi, tetapi menghadirkan dua sisi dari satu jiwa. Dari perspektif budaya, ini adalah momen langka. Dari perspektif puitik, ini adalah pusaran energi. Dari perspektif rilis pers, ini adalah penegasan bahwa festival membuka ruang bagi inovasi penampilan sastra.

Malam kemudian dilanjutkan oleh dongeng dan puisi Exan Zen, Syiar Syair oleh Musikal Puitisasi Shirootul Mustaqiim, dan Teater Sastra oleh Sanggar Pusaka Budaya. Ketiganya menutup festival dengan ragam seni tutur yang meleburkan religi, folklor, dan interpretasi modern.

Tepat pukul 21.30, Festival Sastra Jakarta Barat 2025 ditutup secara resmi. Namun sesungguhnya, tidak ada yang benar-benar selesai. Dalam catatan jurnalistik, festival ini berjalan sukses dan tertib. Dalam sudut pandang majalah budaya, ia adalah arsip penting tentang bagaimana kota menjaga ingatannya. Dalam relung puitik, ia adalah ruang perjumpaan antara suara, cahaya, tubuh, dan harapan. Dalam nada rilis pers, ia adalah bukti bahwa Pemerintah Kota Jakarta Barat berkomitmen membangun wajah kota yang lebih humanis dan berkarakter.

Sastra hari itu mengajari kita bahwa kota tidak hanya dibangun oleh beton, tetapi juga oleh kata-kata yang saling merawat. Bahwa masa depan kota global bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang cara kita mendengar satu sama lain. Festival Sastra Jakarta Barat 2025 menjadi ruang pulang bagi warga: tempat kita merawat bahasa, menjaga tradisi, dan menyusun kembali ingatan kolektif agar tetap utuh di tengah arus perubahan.

Pada akhirnya, sastra adalah cermin yang membuat sebuah kota dapat melihat dirinya sendiri. Dan pada hari itu, Jakarta Barat melihat dirinya dengan jujur melalui tawa, aksi panggung, gerak tradisi, suara penyair, dan cahaya yang pulang bersama warga di lorong-lorong Rawa Buaya.

Rawa Buaya, 7 Desember 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *