Juni 30, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

Hak Adat Dihapus, Verifikasi Cacat : POSKOHAM Tuntut Evaluasi Total Proyek Bendungan Ameroro

7 min read

Hak Adat Dihapus, Verifikasi Cacat : POSKOHAM Tuntut Evaluasi Total Proyek Bendungan Ameroro 

Konawe, suarapinggiran.com —

Kuasa hukum dan pendamping masyarakat pemilik lahan rumpun adat Walaka milik Almarhum H. Hasan alias H. Puo-Puo menyampaikan tanggapan resmi terhadap surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Surat dengan Nomor AT.02.03/316-74.02/III/2025 tertanggal 12 Maret 2025 itu diketahui publik melalui pemberitaan media yang mengutip tanggapan BPN Konawe terkait pengadaan tanah untuk proyek Bendungan Ameroro.

Menurut pihak ahli waris, mereka tidak pernah menerima surat tersebut secara langsung, melainkan mengetahuinya melalui klarifikasi media. Surat tersebut dianggap menyudutkan posisi masyarakat adat karena tidak pernah menanggapi berbagai sanggahan resmi yang telah diajukan sebelumnya oleh keluarga dan komunitas adat Walaka.

“Isi surat itu sangat tidak sesuai dengan fakta lapangan. Justru surat itu membuktikan adanya kebohongan dalam proses ganti rugi dan penanganan dampak sosial proyek bendungan,” tegas Muhammad Azhar, Kuasa Hukum Rumpun Walaka Ngginiku kepada Media ini, Senin (16/06/84)

Penetapan Kawasan Hutan Tanpa Persetujuan Adat

Salah satu poin yang dipersoalkan adalah klaim BPN Konawe bahwa lahan tersebut berada dalam kawasan hutan seluas 503 hektar berdasarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2001.

Menurut masyarakat adat Walaka, klaim tersebut tidak pernah dikonsultasikan dengan mereka, padahal tanah itu telah mereka tempati dan kelola secara turun-temurun bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia.

Sebagai bukti eksistensi hak mereka atas tanah tersebut, masyarakat menyertakan sejumlah dokumen legal dan pengakuan adat, di antaranya:

1. Surat Keterangan Kepemilikan Tanah Ulayat atas nama Soepoe Hasan (Pago), diterbitkan Kepala Desa Ameroro (1998);

2. Surat Warisan Tanah Walaka Ngginiku H. Hasan alias H. Puo-Puo yang diketahui Camat Lambuya dan Kepala Desa Ameroro;

3. Rekomendasi Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Adat Tolaki (DPP-LAT) Tahun 2016 dan 2024;

4. Pernyataan Sikap Masyarakat Adat Tolaki tertanggal 8 November 2024.

Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 Tak Dihormati

Pihak rumpun juga menilai pemerintah daerah dan Tim Terpadu Pembebasan Lahan proyek Bendungan Ameroro tidak menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Dalam putusan tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi milik negara, melainkan kembali kepada masyarakat hukum adat.

Mereka juga mengacu pada Pasal 18 Ayat (2) UU No. 2 Tahun 2012 yang mewajibkan proses ganti rugi dilakukan dengan verifikasi dokumen secara adil dan menyeluruh, serta Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 yang menjamin hak milik warga negara tidak diambil secara sewenang-wenang.

“Kami ini bukan menolak pembangunan. Tapi jangan abaikan hak-hak masyarakat adat. Negara wajib mengakui dan menghormati hak-hak tradisional sebagaimana diatur dalam Pasal 18B dan Pasal 28I UUD 1945,” tambah Kepala Devisi Advokasi POSKOHAM itu. 

Masyarakat adat Walaka menegaskan bahwa mereka akan terus memperjuangkan hak atas tanah adatnya dan menuntut penghormatan terhadap hukum dan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam pelaksanaan proyek strategis nasional seperti Bendungan Ameroro.

Dugaan Ketidakadilan dalam Pembebasan Lahan Bendungan Ameroro

Polemik proyek strategis nasional Bendungan Ameroro faktanya selalu memanas. Masyarakat rumpun adat Walaka juga menduga adanya praktik ketidakadilan sistemik dalam proses pengadaan tanah dan ganti rugi yang dilakukan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Konawe dan Tim Terpadu.

Dalam tanggapan resminya, masyarakat adat menyayangkan tidak adanya respons dari Kepala BPN Konawe maupun Tim Terpadu terhadap sanggahan-sanggahan yang telah mereka ajukan berkali-kali. Sebaliknya, pihak-pihak tersebut justru menetapkan daftar penerima ganti rugi baru, yang menurut mereka, mayoritas tidak memiliki hak sah atas tanah tersebut.

“Banyak penerima yang ditetapkan justru bukan pemilik tanah. Bahkan, hak atas tanah bersertifikat pun dihapus secara sepihak,” tukas Imran Jasa, perwakilan masyarakat Adat Walaka Ngginiku menyambung pernyataan ini. 

Salah satu contoh yang dikemukakan adalah tanah bersertifikat Hak Milik No. 00116 atas nama Mangkona. Tanah tersebut disertifikasi sejak lama, namun pada 2023 muncul Surat Keterangan Tanah (SKT) atas nama Hasrani, yang diterbitkan oleh Kepala Desa Tamesandi di atas lahan yang sama. Akibatnya, hak pemilik sah hilang begitu saja.

BPN Konawe Dinilai Melampaui Wewenang

Pihak masyarakat adat juga mengungkap bahwa BPN Konawe telah bertindak melebihi kewenangannya. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara pada 10 Juli 2024, terungkap bahwa pengurusan pembebasan lahan di kawasan hutan dilakukan oleh BPN Konawe tanpa melibatkan instansi berwenang seperti Kementerian Kehutanan atau Pemprov Sultra.

Perwakilan Biro Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara bahkan mengaku kaget karena tak pernah dilibatkan dalam proses pengadaan lahan Bendungan Ameroro, tidak seperti dalam proyek Bendungan Ladongi sebelumnya. Hal ini juga ditegaskan oleh Biro Pembangunan Provinsi yang hadir dalam forum tersebut.

Selain itu, perwakilan BPN Provinsi Sultra mengungkap bahwa sesuai surat Menteri ATR/BPN No. B.Dp.0101/2581/VIII-2023 tertanggal 21 Agustus 2023, permohonan pengadaan tanah dari Balai Wilayah Sungai (BWS) seharusnya dikembalikan agar dilakukan secara langsung. Namun, BPN Konawe tetap melanjutkan proses yang seharusnya berada di luar kewenangannya.

Dugaan Pemalsuan Dokumen dan Pemaksaan Kepentingan

Masyarakat adat juga membeberkan dugaan praktik manipulasi dalam penentuan penerima ganti rugi. Salah satunya adalah penggunaan Surat Keterangan Lahan Garap (SKLG) yang diterbitkan oleh Kepala Desa Tamesandi dan Baruga atas nama individu yang bukan pemilik sah. Bahkan, pemilik asli yang memiliki SKT dari desa masing-masing wilayah—seperti Desa Ameroro dan Taworetebota—tidak masuk daftar penerima ganti rugi atau hanya menerima sebagian kecil.

“Seluruh sentra kegiatan dan informasi dipusatkan di Desa Tamesandi, agar pemilik tanah asli di Desa Ameroro dan Taworetebota tidak tahu-menahu,” tambah juru bicara masyarakat.

Tidak hanya itu, proses verifikasi di lapangan juga diwarnai kekerasan. Dalam verifikasi pada Oktober 2023, terjadi insiden penyerangan terhadap masyarakat adat yang diduga dilakukan oleh kelompok preman. Serangan itu disebut-sebut dimobilisasi oleh Kepala Desa Tamesandi, Mido La Sura, yang juga dituding sebagai aktor dalam pembuatan SKLG bermasalah.

Masyarakat adat menilai berita acara tertanggal 22 Oktober 2023 yang digunakan sebagai dasar untuk menganulir hak atas tanah mereka, cacat hukum. Selain dibuat saat lahan sudah dalam tahap land clearing, berita acara tersebut juga diteken oleh orang-orang yang tidak berwenang mewakili ahli waris Walaka.

SK Gubernur Sultra Diabaikan, Perwakilan Walaka Dihilangkan dari Proses

Keberadaan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 600.2.1/4630 Tahun 2023, yang merupakan perubahan atas SK sebelumnya Nomor 629 Tahun 2021, sejatinya memberikan ruang partisipasi langsung kepada pemilik lahan terdampak, termasuk dari keluarga besar Ahli Waris Walaka. Dalam SK tersebut, nama Imran Jasa, SP dan Sudiro, SH., MH sebagai perwakilan ahli waris telah resmi ditetapkan menjadi bagian dari Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan.

Penunjukan mereka bukan tanpa alasan. Pemerintah Provinsi dan Pemkab Konawe melalui SK tersebut ingin memastikan agar proses identifikasi dan verifikasi lahan berjalan transparan dan melibatkan pemilik sah. Namun, dalam pelaksanaannya, realitas jauh berbeda.

“Kami ditetapkan sebagai bagian dari Tim Terpadu, tapi tidak pernah diundang, tidak pernah diajak rapat, bahkan kami harus cari tahu sendiri kalau ada kegiatan,” ujar salah satu perwakilan ahli waris.

Ironisnya, dalam setiap kegiatan lapangan seperti verifikasi fisik dan yuridis, nama-nama perwakilan Walaka yang resmi tercantum sebagai anggota tim, justru tidak pernah diikutsertakan, bahkan tidak diberikan akses informasi. Ini bertentangan langsung dengan semangat partisipasi dalam Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2018 yang dijadikan dasar hukum oleh BPN dalam suratnya.

Verifikasi yang Gagal dan Skema Penyingkiran Sistematis

Klaim bahwa Tim Terpadu telah melakukan sosialisasi dan inventarisasi secara terbuka juga dibantah tegas oleh warga. Menurut kesaksian pemilik lahan, saat proses identifikasi tengah berlangsung di wilayah tanah Walaka, terjadi penyerangan oleh kelompok preman yang diduga kuat dimobilisasi oleh pihak yang berkepentingan untuk menghambat verifikasi lahan asli.

Akibat insiden itu, proses verifikasi dihentikan, dan petugas meminta masyarakat pulang dengan janji akan dilakukan jadwal ulang. Namun, hingga kini tidak pernah ada undangan lanjutan, dan diam-diam pengumuman penerima ganti rugi diterbitkan dan ditempel hanya sesaat di Balai Desa Tamesandi.

“Ini bentuk penyingkiran yang dirancang rapi. Di atas tanah kami, hak kami dihapus, dan orang lain yang tidak punya hubungan apa-apa, justru ditetapkan sebagai penerima,” jelas seorang pemilik lahan yang enggan disebutkan namanya karena alasan keamanan.

Pemalsuan Keterangan dan Lapisan Masalah Hukum

Masyarakat pemilik lahan dari rumpun Walaka juga telah menyampaikan sanggahan tertulis, disertai laporan dugaan pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh Kepala Desa Tamesandi. Surat Keterangan Lahan Garap (SKLG) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa tersebut, diduga diterbitkan di atas lahan bersertifikat yang dimiliki secara sah oleh masyarakat, termasuk sertifikat hak milik Nomor 00116 atas nama Mangkona.

Hal ini tidak hanya merupakan pelanggaran administratif, tetapi juga pelanggaran hukum pidana, sebab tindakan itu menghilangkan hak keperdataan seseorang atas tanahnya sendiri yang telah dibuktikan dengan dokumen sah.

Tuntutan Keadilan : Pemerintah Diminta Bertanggung Jawab

Dengan seluruh rangkaian peristiwa ini, Pusat Advokasi Konsorsium Hak Asasi Manusia (POSKOHAM) yang sejak awal mendampingi masyarakat adat Walaka menuntut adanya evaluasi menyeluruh terhadap proses pembebasan lahan Bendungan Ameroro. Mereka juga meminta pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dugaan manipulasi data, pemalsuan dokumen, hingga intimidasi terhadap pemilik tanah sah.

POSKOHAM dan masyarakat adat Walaka secara tegas meminta :

1. Evaluasi menyeluruh terhadap proses pengadaan tanahyang dijalankan BPN Konawe dan BWS Kendari.

2. Pemberian sanksi hukum kepada oknum kepala desa dan pihak lain yang diduga terlibat dalam pemalsuan dokumen.

3. Penyelidikan independen oleh Ombudsman RI dan Komnas HAM terkait dugaan pelanggaran hak warga negara dan hak masyarakat adat.

4. Evaluasi semua bentuk pembayaran ganti rugi hingga penyelesaian sengketa ini dilakukan secara adil dan terbuka.

“Kami tidak pernah menolak pembangunan, tapi kami menolak penghilangan hak. Tanah Walaka bukan lahan kosong. Itu ruang hidup masyarakat adat. Jika negara hendak membangun, bangunlah di atas keadilan, bukan kezaliman,” terang Jumran, S.IP, Direktur POSKOHAM kepada media ini. 

Berita ini disusun berdasarkan dokumen resmi, laporan warga, wawancara dan catatan Rapat Dengar Pendapat di DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara. Redaksi tetap membuka ruang bagi BPN Konawe, Kepala Desa Tamesandi, dan instansi terkait untuk memberikan klarifikasi dan hak jawab secara terbuka.(*)

Laporan : Redaksi 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *