Jurnalisme Berbasis Hak Asasi Manusia: Mengembalikan Nurani dalam Kerja Media
3 min read
Jurnalisme Berbasis Hak Asasi Manusia: Mengembalikan Nurani dalam Kerja Media
Oleh : Andi Rijal, Jurnalis suarapinggiran.com
Di tengah derasnya arus informasi, jurnalisme hari ini menghadapi ujian serius antara kecepatan dan kepentingan kuasa. Dalam situasi inilah konsep Jurnalisme berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi semakin relevan, bukan sekedar sebagai pendekatan teknis, melainkan sebagai sikap moral dan etika profesi. Jurnalisme pada hakikatnya lahir untuk melayani publik, ia bukan hanya penyampai peristiwa tetapi juga penjaga nilai, penafsir realitas dan penyeimbang kekuasaan.
Ketika media melupakan dimensi kemanusiaan dalam setiap pemberitaan maka jurnalisme berisiko kehilangan ruhnya. Jurnalisme berbasis HAM adalah praktik jurnalistik yang menempatkan martabat manusia sebagai pusat pemberitaan. Pendekatan ini berpijak pada prinsip bahwa setiap individu tanpa memandang status sosial, ekonomi, politik, agama, etnis atau identitas lainnya memilik hak dasar yang harus dihormati dan dilindungi, dalam praktiknya, jurnalisme HAM tidak hanya melaporkan apa yang terjadi tetapi juga mengapa hal itu penting bagi hak hak manusia. Ia menolak netralitas semu yang justru membiarkan ketidakadilan berlangsung tanpa kritik.
Netralitas dalam jurnalisme HAM bukan berarti diam melainkan berpihak pada nilai universal kemanusiaan. Salah satu tantangan terbesar media hari ini adalah kecenderungan pada jurnalisme sensasional. Korban kekerasan direduksi menjadi angka, penderitaan manusia dipotret tanpa empati dan tragedi dijadikan komoditas klik. Dalam konteks ini jurnalisme HAM hadir sebagai koreksi. Ia menolak eksploitasi korban. Identitas korban kekerasan seksual, anak, kelompok rentan atau masyarakat adat tidak diumbar demi kepentingan. narasi dan diksi dipilih dengan pertimbangan etis bukan semata mata daya kejut.
Lebih jauh jurnalisme HAM menuntut media untuk menggali akar struktural dari sebuah peristiwa: kemiskinan, ketimpangan, kebijakan yang diskriminatif atau penyalagunaan kekuasaan. Dengan demikian publik tidak hanya disuguhi peristiwa tetapi juga pemahaman.
Di negera demokratis ini media sering disebut sebagai pilar keempat namun dalam praktiknya, relasi media dan kekuasaan kerap berada dalam posisi yang ambigu. Tekanan ekonomi kepentingan politik dan kepemilikan modal sering kali memengaruhi arah pemberitaan. Jurnalisme berbasis HAM menuntut keberanian redaksi untuk menjaga jarak kritis terhadap kekuasaan. Ketika negara gagal melindungi hak rakyat, Ketika korporasi merampas ruang hidup atau Ketika aparat menyalahgunakan kewenangan media tidak boleh jadi penonton yang jinak.
Dalam konteks ini jurnalisme HAM berfungsi sebagai mekanisme akuntabilitas publik, memastikan bahwa kekuasaan tetap berada dalam koridor hukum dan keadilan. Indonesia sendiri memiliki kerangka hukum yang relatif kuat terkait HAM dan kebebasan pers.
Namun dalam praktiknya tantangan masih nyata: kriminalisasi jurnalis kekerasan terhadap pembela HAM, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, serta konflik agraria dan lingkungan yang terus berulang. Disinilah peran jurnalisme berbasis HAM menjadi krusial. Media lokal khususnya memiliki posisi strategis karena dekat dengan realitas warga dalam perspektif HAM, terkhusus media daerah dapat menjadi suara bagi kaum pinggiran yang tak didengar.
Lebih dari itu jurnalisme HAM juga berfungsi sebagai pendidik publik membangun kesadaran bahwa hak asasi bukan konsep elitis melainkan realitas sehari hari: hak atas air bersih, tanah, pekerjaan layak, Pendidikan dan lingkungan hidup yang sehat Jurnalisme HAM menuntut lebih dari sekedar keterampilan menulis ia menuntut integritas personal jurnalis. Seorang jurnalis bukan hanya pekerja informasi tetapi subjek etis yang setiap keputusannya membawa konsekuensi bagi kehidupan orang lain.
Pada akhirnya, jurnalisme berbasis HAM bukanlah aliran esklusif, melainkan upaya mengembalikan jurnalisme ke akar terdalamnya: membela kemanusiaan. Di tengah dunia yang semakin bising oleh informasi, jurnalisme HAM mengajak media untuk berhenti sejenak, melihat manusia di balik berita dan memilih berpihak pada martabat. Ketika media mampu menjaga Nurani maka jurnalisme tidak hanya menjadi saksi zaman tetapi juga bagian dari perjuangan kolektif menuju keadilan dan peradaban yang lebih manusiawi.(*)

