Makam Anakia Ndonganeno, Jejak Kepemimpinan Kuno dan Tradisi Megalitik di Ambesea Konawe Selatan
2 min read
Makam Anakia Ndonganeno, Jejak Kepemimpinan Kuno dan Tradisi Megalitik di Ambesea Konawe Selatan
Konawe Selatan, suarapinggiran.com (25/11/2025) — Di sebuah bukit sunyi di wilayah Ambesea, tersimpan jejak sejarah yang nyaris terlupakan. Di sana berdiri kompleks makam kuno Anakia Ndonganeno beserta 12 makam keturunannya—saksi perjalanan panjang tradisi megalitik masyarakat Tolaki yang masih bertahan hingga hari ini.
Kompleks pemakaman ini bukan sekadar kuburan tua. Ia adalah arsip budaya terbuka yang memperlihatkan bagaimana para leluhur Tolaki memadukan unsur spiritual, kepemimpinan, dan simbol-simbol batu yang diwariskan sejak masa prasejarah.
Makam Berbentuk Menhir, Warisan dari Zaman Batu

Kompleks makam terdiri atas 12 makam yang masing-masing menggunakan batu-batu besar sebagai penanda sakral. Bentuknya unik:
- Nisan berupa menhir—tugu batu tegak yang menjadi ikon tradisi megalitik.
- Susunan batu besar membentuk persegi empat dan sebagian berbentuk oval.
- Batu alam lokal dipahat kasar namun presisi, memperlihatkan teknik tradisional yang diwariskan turun-temurun.
Struktur ini bukan hanya arsitektur pemakaman, tetapi simbol kehormatan tertinggi bagi seorang Anakia—pemimpin adat yang dihormati masyarakatnya.
Simbol Kekuasaan dan Wibawa Adat Tolaki

Menurut Sekjen Masyarakat Adat Tolaki (MAT) Sulawesi Tenggara, Adi Yusuf Tamburaka, makam-makam ini difungsikan untuk pemakaman Anakia Ndonganeno dan keturunan langsungnya yang juga memiliki posisi sosial dan kepemimpinan penting di wilayah tersebut.
Bagi masyarakat Tolaki, nisan batu memiliki makna mendalam:
- Simbol wibawa dan martabat pemimpin adat.
- Penanda wilayah kekuasaan dan pengaruh sosial.
- Penghubung spiritual antara generasi masa lalu dan kini.
Tak heran situs ini masih menjadi lokasi ziarah adat bagi komunitas setempat.
Jejak Megalitik yang Bertahan hingga Abad-19
Meskipun Islam mulai berkembang di Konawe sejak abad ke-16, tradisi megalitik tidak hilang begitu saja. Sebaliknya, ia hidup berdampingan dengan perubahan zaman. Penggunaan menhir dan batu besar pada makam Ambesea menunjukkan kesinambungan budaya dari masa prasejarah hingga era kerajaan dan kolonial.

Polanya mirip dengan situs-situs makam di Meluhu, Lambuya, Ranomeeto, dan wilayah Konawe lainnya yang dikenal menggabungkan nilai Islam dengan tradisi pemuliaan leluhur berbasis batu.
Perkiraan Usia dan Silsilah Para Leluhur
Berdasarkan silsilah keluarga dan dinamika kepemimpinan lokal, kompleks makam ini diperkirakan berasal dari abad ke-17 hingga ke-19. Berikut nama-nama tokoh leluhur yang dimakamkan:
- Ndonganeno (1775)
- Weribone (1777)
- Lapandita (1795)
- Wepalangga (1797)
- Welande (1799)
- Wenibutu (1815)
- Wagangga (1817)
- Pondombaki (1819)
- Watina (1819)
- Wanadu (1817)
- Watiho (1816)
- Wasiu (1818)
Nama-nama ini bukan sekadar daftar, tetapi rangkaian generasi pemimpin adat yang membentuk struktur sosial Ambesea sejak ratusan tahun lalu.

Warisan Budaya yang Perlu Dilestarikan
Kompleks Makam Anakia Ndonganeno adalah bukti kuat bahwa tradisi megalitik bukan hanya bagian dari masa lalu, tetapi warisan hidup yang terus dipelihara masyarakat Tolaki. Situs ini menyimpan nilai sejarah, spiritual, dan identitas budaya yang penting bagi Konawe Selatan dan Sulawesi Tenggara.
“Ini bukan hanya makam, tetapi monumen sejarah tentang kepemimpinan adat Tolaki,” tegas Adi Yusuf Tamburaka.
Warisan seperti ini menjadi pengingat bahwa peradaban besar tidak selalu dibangun dari istana megah—kadang justru terukir pada batu-batu sunyi yang berdiri menjaga kisah para leluhur.(*)
Laporan : Redaksi

