Masyarakat Adat Tolaki Desak Pemda Konsel Jelaskan Dugaan Penguasaan 250 Ha Tanah Ulayat
3 min read
Masyarakat Adat Tolaki Desak Pemda Konawe Selatan Jelaskan Dugaan Penguasaan 250 Ha Tanah Ulayat
Kendari, suarapinggiran.com – (26 November 2025)
Lembaga Masyarakat Adat Tolaki (MAT) Sulawesi Tenggara mengeluarkan pernyataan sikap keras terkait dugaan penguasaan sekitar 250 hektare tanah ulayat keturunan Kakek Ndonganeno oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Selatan tanpa persetujuan para ahli waris. Tanah yang selama ini menjadi ruang hidup bagi 751 ahli waris itu disebut memiliki legitimasi adat dan dokumen administratif yang sah.
Tanah ulayat seluas ±1.142 hektare tersebut sebelumnya masuk dalam areal Hak Guna Usaha (HGU) PT KII. Namun melalui kesepakatan tahun 2000 antara PT KII dan ahli waris Ndonganeno, yang diperkuat verifikasi lapangan dan peta batas wilayah yang ditandatangani pada 2006, status tanah ulayat telah ditegaskan secara resmi.

Dugaan Penguasaan Tanpa Konsultasi
MAT menilai masuknya sekitar 250 hektare tanah ulayat ke dalam penguasaan Pemda Konawe Selatan tanpa pemberitahuan ataupun konsultasi dengan ahli waris sebagai tindakan yang bertentangan dengan prinsip adat dan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).
“Setiap kebijakan atas tanah ulayat wajib dimusyawarahkan dan disetujui pemilik legitim adat. Pengabaian hal tersebut melukai martabat masyarakat adat Tolaki,” tegas lembaga tersebut.
Tiga Tuntutan MAT
Dalam pernyataan resminya, MAT mendesak Pemda Konawe Selatan untuk:
1. Memberikan klarifikasi resmi terkait dasar dan prosedur penguasaan ±250 hektare tanah ulayat.
2. Melakukan verifikasi ulang batas wilayah bersama pemerintah, BPN, tokoh adat, ahli waris, dan lembaga independen.
3. Membuka dialog resmi dan bermartabat untuk penyelesaian damai dan berkeadilan.

Pandangan HAM: POSKOHAM Siap Bawa Kasus Ini ke Komnas HAM RI
Dinamika konflik tanah ulayat ini juga mendapat sorotan serius dari organisasi advokasi hak asasi manusia. Ketua Pusat Advokasi Konsorsium Hak Asasi Manusia (POSKOHAM), Jumran, S.IP, menilai dugaan penguasaan tanah ulayat tanpa persetujuan ahli waris bukan hanya persoalan agraria, melainkan potensi pelanggaran HAM berbasis identitas komunitas adat.
“Ketika masyarakat adat kehilangan ruang hidup dan tanah warisan leluhurnya tanpa persetujuan mereka, maka itu bukan sekadar sengketa lahan — itu menyangkut pelanggaran hak atas tanah, hak atas budaya, dan hak untuk hidup sejahtera sesuai identitas sosialnya,” tegas Jumran.
Ia menyatakan bahwa POSKOHAM sedang mengumpulkan dokumen, bukti, dan keterangan ahli waris untuk membawa kasus ini secara resmi ke Komnas HAM RI.
“Kami tidak ingin konflik sosial terjadi. Namun jika hak-hak masyarakat adat diabaikan, maka lembaga advokasi HAM wajib mengambil langkah konstitusional. Pengaduan resmi ke Komnas HAM sedang kami siapkan,” tambahnya.

Hak Ulayat adalah Kehormatan
Sekretaris Jenderal MAT Sultra, Adi Yusuf Tamburaka, kembali menegaskan bahwa hak ulayat menyangkut:
* keberlangsungan budaya,
* kesejahteraan generasi penerus,
* kedaulatan masyarakat adat, dan
* penghormatan terhadap leluhur.
Ia menegaskan MAT akan berdiri bersama ahli waris keturunan Kakek Ndonganeno sampai hak adat mereka dipulihkan dan dipastikan terlindungi.
“Masyarakat Adat Ndonganeno menjunjung Tinggi Hukum Adat Tolaki dan Hukum Negara Republik Indonesia, jika negara dalam hal ini Pemda Konawe Selatan mau menggunakan tanah tersebut untuk kepentingan negara maka seharusnya terlebih dahulu meminta persetujuan dari pihak Masyarakat Adat Ndonganeno namun yang terjadi seolah olah tanah tersebut tak bertuan Alias Tanah Negara” tutupnya
Redaksi mencatat bahwa hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Daerah Konawe Selatan atas pernyataan MAT maupun langkah POSKOHAM.(*)
Laporan: Moh. Asmar

