LESTARI BUDAYA

Desember 12, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

Pembongkaran Makam Anakia Ndonganeno Tahun 2000: Konflik, Demonstrasi dan Bukti Tak Terbantahkan Jejak Leluhur Tolaki

3 min read

Pembongkaran Makam Anakia Ndonganeno Tahun 2000: Konflik, Demonstrasi dan Bukti Tak Terbantahkan Jejak Leluhur Tolaki

Konawe Selatan, suarapinggiran.com — Sebuah peristiwa dramatis pada tahun 2000 masih menjadi salah satu bab terpenting dalam sejarah perjuangan masyarakat adat Tolaki. Di Ambesea, Daratan Konawe, sebuah makam keturunan Anakia Ndonganeno—dari total 12 makam leluhur yang dilindungi—dibongkar di hadapan pemerintah, tokoh adat, dan ratusan warga. Pembongkaran itu bukan tanpa alasan, tetapi bagian dari konflik besar mengenai tanah ulayat yang memanas sejak pertengahan 1990-an.

Kompleks makam tersebut sejak lama dikenal sebagai situs adat yang dikelilingi susunan batu megalitik berbentuk persegi dan oval, ciri khas sistem pemakaman kuno masyarakat Tolaki.

“Namun keaslian situs itu sempat diragukan oleh pihak tertentu yang ingin melemahkan posisi adat dalam sengketa tanah ulayat.” Terang Adi Yusuf Tamburaka, Sekjend Masyarakat Adat Tolaki Sulawesi Tenggara, pada media ini (28/11/2025)

Tanah Ulayat Diambil Perusahaan Tahun 1995

Akar konflik berawal pada 1995 ketika ribuan hektare tanah ulayat keturunan Anakia Ndonganeno diambil alih oleh PT Kapas Indah Indonesia (KII). Pemerintah menerbitkan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) No. 1/1995 untuk perusahaan tersebut tanpa proses adat, tanpa persetujuan masyarakat, dan tanpa mempertimbangkan keberadaan situs sejarah termasuk kompleks makam leluhur.

Bagi masyarakat adat, penerbitan SHGU ini dianggap sebagai bentuk perampasan ruang hidup yang diwariskan turun-temurun.

Demonstrasi Besar Menjelang Tahun 2000

Menjelang akhir 1999 dan memasuki tahun 2000, keturunan Anakia Ndonganeno Ambesea, Kolono, dan Moramo menggelar demonstrasi besar di kantor PT KII dan kantor gubernur Sulawesi Tenggara dan Kantor DPR provinsi Sulawesi tenggara

Mereka menuntut:

  1. Pengembalian tanah ulayat kepada pemilik adat,
  2. Pembatalan SHGU No. 1/1995,
  3. Pengakuan hak sejarah dan identitas adat Ndonganeno.

“Aksi itu melibatkan ratusan warga dari berbagai wilayah adat. Ketegangan meningkat ketika pihak tertentu menyebarkan isu bahwa susunan batu megalitik di makam leluhur bukan peninggalan lama, tetapi “buatan baru” untuk memperkuat klaim adat. Isu ini kemudian memicu polemik yang semakin besar.” Tambah Adi Yusuf.

Instruksi Wakil Gubernur: Makam Harus Dibuktikan

Untuk meredakan konflik, Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara kala itu, Brigjen Pol (Purn) Drs. H. Husein Efendi, SH, menginstruksikan pemerintah kabupaten, kecamatan, desa, dan tim provinsi untuk membongkar salah satu makam guna memastikan keasliannya.

Instruksi ini diambil sebagai langkah administratif sekaligus politik agar semua pihak memperoleh bukti nyata apakah makam itu benar situs leluhur atau hanya susunan batu tanpa jenazah.

Pembongkaran Makam Tahun 2000: Ketegangan dan Bukti Sejarah

Pembongkaran dilakukan pada makam berukuran kecil dari 12 makam yang ada. Penggalian dilakukan hati-hati:

  • Batu megalitik bagian atas dilepas,
  • Lapisan tanah digali perlahan,
  • Puluhan saksi menyaksikan dengan tegang.

Hingga pada kedalaman sekitar 60 sentimeter, tim menemukan kerangka manusia lengkap dalam posisi pemakaman tradisional. Temuan itu sontak membuat suasana hening.

Penemuan Kerangka: Membungkam Semua Tuduhan

Penemuan tersebut langsung mematahkan semua tuduhan bahwa makam itu “rekayasa” modern. Sebaliknya, bukti arkeologis itu menegaskan bahwa:

  • Makam tersebut benar peninggalan leluhur,
  • Susunan batu megalitik adalah tradisi Tolaki kuno,
  • Situs pemakaman memiliki usia ratusan tahun,
  • Wilayah Ambesea adalah tanah adat yang memiliki hubungan langsung dengan garis keturunan Anakia Ndonganeno.

Bagi masyarakat adat, temuan itu bukan hanya bukti sejarah, tetapi pemulihan martabat leluhur.

Makna Besar dari Peristiwa Tahun 2000

Pembongkaran makam Anakia Ndonganeno tahun 2000 menyisakan sejumlah makna penting:

  1. Mengonfirmasi keberlanjutan tradisi megalitik Tolaki.
  2. Menguatkan legitimasi masyarakat adat dalam sengketa tanah ulayat.
  3. Menutup ruang bagi upaya delegitimasi sejarah leluhur.
  4. Menjadi bukti fisik bahwa kawasan itu bukan tanah kosong, melainkan wilayah adat bersejarah.
  5. Mengembalikan kehormatan keluarga besar Ndonganeno setelah sekian lama dipertanyakan.
  6. Mencatatkan secara publik bahwa tanah itu adalah tanah warisan leluhur, bukan wilayah yang dapat dialihkan sepihak.

“Peristiwa itu merupakan bagian dari perjuangan panjang sejak 1984 hingga kini, ketika masyarakat adat Tolaki masih terus memperjuangkan hak atas tanah ulayat dan pelestarian jejak kebudayaan mereka” tutupnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *