“Raja Ampat Terancam Rusak”
2 min read
“Raja Ampat Terancam Rusak”
karya: Kol (Purn) dr. Farhaan Abd. Sp.THT-KL,
(Puisi Satire untuk Raja Ampat yang Nyaris Digadaikan)
Di ufuk jauh timur,
di ujung matahari yang pertama kali membuka kelopaknya,
terbaringlah sepotong surga,
Raja Ampat —
bukan sekadar gugusan batu dan ombak,
tetapi kitab kehidupan yang dibisikkan alam
dengan bahasa karang dan ikan-ikan kecil
yang bersujud dalam simfoni cahaya.
Namun kini,
dalam sidang sunyi ruang demokrasi yang diduduki oleh jas-jas kelaparan,
ada tangan-tangan kotor menjilat tambang nikel
seperti ular yang minum dari sumur suci,
sambil berseru,
“Ini untuk pembangunan bangsa!”
Apakah bangsa berarti
sekelompok pemilik saham yang tertawa dari balik lensa gelap?
Apakah pembangunan berarti
membuldozer doa rakyat yang terucap dari sasi adat dan air mata nelayan?
O, Raja Ampat!
Engkau dibaptis ulang
oleh tinta korporasi dan sidik jari oligarki,
sementara demokrasi berdiri di podium,
membaca puisi tentang kemerdekaan
yang ditulis di atas kertas konsesi tambang.
Ada 550 jenis karang yang kini
menunggu nasib seperti suara pemilu —
tercatat tapi tak terdengar,
ada ribuan spesies ikan
yang kini berenang di antara serpihan harapan
dan air mata yang asin bukan lagi karena laut,
tapi karena janji-janji yang teroksidasi oleh logam ambisi.
Mereka datang,
dengan dasi merah putih
dan bendera yang dibordir janji emas 2045,
menancapkan bendera di karang
seperti Columbus yang mabuk kekuasaan,
dan berkata,
“Ini milik negara! Demi rakyat!”
Lalu mengantongi hasilnya untuk rumah kaca dan vila rahasia.
Dan raja terakhir dari Ampat pulau pun bertanya dalam diam:
“Di mana suara rakyat dalam demokrasi yang katanya suci itu?”
Tapi jawabannya tertutup gemuruh alat berat
dan notulen rapat yang disembunyikan dari publik.
Mereka bilang,
“Ini sudah sesuai AMDAL.”
Tapi mereka lupa,
alam tak pernah menandatangani perjanjian itu.
Bapak Presiden kedelapan,
jika engkau mendengar,
bukan dengan telinga militer atau kursi kekuasaan,
tapi dengan dada rakyat kecil yang dipenuhi batu-batu karang,
maka hentikan ini:
pemerkosaan atas tubuh Ibu Pertiwi yang
berlangsung atas nama kemajuan.
Karena jika ini terus terjadi,
Indonesia Emas 2045
tak lebih dari dongeng untuk anak investor,
sementara rakyat cuma jadi figuran dalam narasi
yang disutradarai oleh tukang tambang dan makelar kebijakan.
Hentikan!
Sebelum surga berubah menjadi neraka
yang dijual dalam bentuk saham dan statistik pertumbuhan palsu.
Hentikan!
Sebelum karang-karang itu menulis elegi terakhir
dengan darah ikan-ikan kecil
dan doa-doa yang tercebur dalam air laut yang tumpah hitam.
Hentikan!
Sebelum demokrasi kehilangan akarnya,
dan menjadi pohon tanpa daun yang ditanam di istana pasir.
Salam dari Raja Ampat,
yang kini menjadi istana dalam permainan catur nikel,
di mana raja tak punya mahkota,
dan ratu tak punya suara,
hanya anak-anak kecil yang bertanya:
“Ayah, kemana perginya ikan warna-warni itu?”
Padang, 6 Juni 2025.