Juni 30, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

NEGERI DALAM SANGKAR

6 min read

NEGERI DALAM SANGKAR

Di kaki bukit yang diselimuti embun pagi dan desir angin yang menyimpan rahasia, berdirilah sebuah kampung kecil yang seolah dilupakan peta. Di sanalah tinggal seorang pematung tua bernama Asnam. Lelaki ringkih berusia hampir tujuh puluh tahun itu hidup dalam sepi yang bersahabat, bersama potongan kayu, serpih batu, dan debu kenangan yang tak pernah sempat dibersihkan. Waktu seolah mengendap di sudut-sudut pondoknya, dan setiap benda di sana seperti menyimpan kisah yang hanya bisa dibaca oleh hati yang teduh.

Ia bukan penduduk asli kampung itu. Ia hanyalah bayang-bayang masa lalu yang singgah dan menetap. Konon, menurut cerita Angku Rasid—tokoh kampung yang disegani—Asnam datang dari Ibu Kota Negara, membawa luka yang tak pernah dijahit dan diam yang lebih nyaring dari jeritan.

Tak banyak yang tahu siapa dia sebelumnya. Penduduk kampung hanya melihat ia sering mengumpulkan kayu dan batu dari hutan, lalu mengukirnya dalam sunyi. Ia memahat bukan untuk dipamerkan, tetapi seolah sedang membebaskan jiwa-jiwa yang terperangkap dalam benda mati.
Di tangan Asnam, batu bisa menangis, dan kayu bisa bercerita.

Suatu petang, kabut turun perlahan seperti selimut rahasia yang menutupi bukit. Seorang mahasiswa muda mengetuk pintu pondok kayu Asnam. Namanya Rajudin, mahasiswa seni rupa yang baru menyelesaikan skripsinya tentang simbolisme dalam seni nasional. Ia datang membawa pertanyaan yang tak dijawab buku sejarah: Siapa sebenarnya pembuat Garuda Emas yang menjulang di jantung ibu kota?

Asnam menyambutnya dengan batuk menggigil, secangkir teh hangat, rokok Gudang Garam yang tak pernah jauh dari bibirnya, dan diam yang lebih dalam dari palung samudra.
“Jadi kamu ingin tahu siapa yang pertama mengukir sayapnya?” tanya Asnam lirih, seperti suara yang keluar dari celah retakan batu.

Rajudin mengangguk. Kali ini, dengan rasa bersalah yang samar.
“Saya… saya tumbuh dengan percaya pada simbol itu. Tapi sekarang saya merasa dibohongi,” katanya pelan.

Asnam mengamati wajah Rajudin. Mata pemuda itu menyimpan kelelahan. Bukan lelah fisik, tapi semacam kegamangan batin yang dialami generasi yang lahir setelah reformasi: dibesarkan oleh kebebasan yang dikurung dalam retorika.

“Kenapa kamu peduli?” tanya Asnam.

Rajudin terdiam sebentar, menunduk.
“Karena saya ingin percaya… bahwa seni bisa bicara lebih jujur daripada politik.”
“Saya ingin… menemukan kembali kebebasan di balik bentuk yang dipatungkan. Kalau tidak… buat apa saya belajar seni?”

Asnam tertawa pelan. Tawa yang terdengar seperti keluhan angin tua di sela pohon yang lapuk. Ia menunjuk ke sudut ruang, di mana sebuah cetakan kepala Garuda yang tak selesai tergeletak dalam debu.

“Aku pembuatnya. Tapi bukan pemiliknya.”

Tentu saja Rajudin tahu siapa pembuatnya. Kalau tidak, tak mungkin ia jauh-jauh datang dari Jakarta ke tempat terpencil ini. Ia hanya ingin mendengar kebenaran langsung dari mulut yang dulu mengukirnya.

“Kau tahu?” lanjut Asnam, menatap jauh ke luar jendela, seolah sedang melihat masa lalu yang belum juga usai. “Dulu aku membuat Garuda dengan kepala menengadah, sayap mengepak—simbol merdeka, jiwa yang tak bisa dijinakkan. Tapi saat dipresentasikan ke pihak istana, seorang menteri memintaku mengubah posisi sayap.”

“Mengapa?” tanya Rajudin cepat.

“Katanya… terlalu menantang. Terlalu bebas. Tak cocok untuk ‘kestabilan’.”

Asnam terdiam. Angin sore berdesir masuk dari celah dinding, membawa bau kayu basah dan kenangan yang tertimbun. Ia mengisap rokok dalam-dalam lalu berkata, “Sejak itu, aku tahu… yang kita junjung bukan lagi kebebasan. Tapi simbol kekuasaan yang dibalut emas dan dusta.”

Percakapan mereka berhenti setelah beberapa gelas kopi hitam habis dan bungkus rokok tinggal abu. Malam turun seperti menyelimuti pondok dan ingatan.


Keesokan paginya, Rajudin kembali ke kota. Tapi kali ini ia tidak hanya membawa catatan wawancara. Ia membawa kunci kecil, secarik peta, dan sebuah arsip tua yang diselipkan diam-diam oleh Asnam. Rajudin seolah mendapatkan warisan yang tak ternilai.

Di kamar kost yang sempit dan penuh buku, Rajudin membuka kertas lusuh itu. Di atasnya tertulis dengan tangan gemetar:

“Ada ruangan di dalam perut Garuda itu. Namanya Sangkar Emas. Tempat para penguasa merancang nasib rakyat dari balik marmer dan anggur impor.”

Sangkar Emas? Ironi yang membungkam: seekor burung yang seharusnya terbang bebas malah dikurung dalam kemewahan palsu.

Semakin dalam ia membaca catatan itu, semakin terasa absurditasnya: dokumen pengadaan mewah, ruang rahasia berteknologi canggih, dan catatan rapat yang diberi judul “Pengendalian Narasi Kemiskinan”. Seolah kemiskinan hanyalah cerita yang bisa disunting dan dikemas ulang, seperti berita pagi di televisi.

Pikiran Rajudin melayang seperti layang-layang putus, terseret angin kecewa. Ia membayangkan istana yang menjulang megah, sementara di luar gerbangnya rakyat mengantre gas bersubsidi, bensin oplosan, dan anak-anak berhenti sekolah karena “restrukturisasi anggaran”.


Malam itu, kota menjadi kanvas. Mural-mural muncul bagai suara yang enggan dibungkam. Di dinding-dinding tembok tua, seekor Garuda kecil dilukis: sayapnya patah, matanya kosong, dan tubuhnya duduk diam dalam sangkar emas. Di bawahnya tertulis:

“Tak semua yang berkilau berarti merdeka.”

Media menyebutnya vandalisme. Tapi mural itu muncul di lebih banyak tempat. Di tembok-tembok sekolah, halte, pasar, bahkan di pintu toilet gedung DPR.

Rajudin terbangun karena gedoran pintu pemilik kost yang menagih bayaran bulan ini. Rupanya ia bermimpi di siang bolong tentang mural-mural yang mengerikan dalam sunyinya.

Di hari ke-40 setelah wawancara itu, Asnam ditemukan tak bernyawa di bengkelnya. Wajahnya damai. Di pangkuannya tergenggam ukiran kayu kecil: seekor Garuda dengan mata basah dan paruh terkunci.
Berita kematiannya membuat Rajudin terpukul. Ia terbayang skripsinya yang mungkin tak akan selesai.
Tapi bukan itu yang membuatnya sesak.
Ia merasa telah kehilangan seseorang yang—dalam diamnya—mengajari arti keberanian dalam bentuk paling sunyi.
Asnam tidak berteriak di jalan, tidak memaki di media sosial. Ia hanya memahat, mencatat, dan mengukir sejarah dari sudut yang disembunyikan.

Rajudin mulai merasakan tanggung jawab yang asing. Ia tak lagi sekadar mahasiswa. Ia kini pewaris narasi yang ditolak negara.

Ia tak hanya membawa wawancara. Ia membawa api kecil—yang tak boleh padam.


Wawancara Rajudin dengan Asnan telah ia jadikan puisi naratif dan ia unggah ke blog pribadinya. Lalu viral. Banyak pembaca memuji. Banyak pula yang menyalin dan menyebarkannya ke beranda Facebook dan Instagram. Salah satu komentarnya menulis:

“Ini bukan sekadar puisi. Ini kesaksian zaman.”

Pemerintah menyebutnya “puisi hoaks.” Tapi rakyat tahu, kadang yang paling jujur justru karya sastra, bukan berita media kaca milik penguasa.

“…Dan di tengah kota, patung Garuda itu tetap berdiri. Gagah. Menunduk. Diam.
Apakah ia masih burung, atau hanya lambang yang telah kehilangan maknanya?”


Malam itu, Rajudin berdiri di seberang taman, menatap patung Garuda yang menjulang seperti dewa penjaga zaman. Lampu-lampu sorot memperjelas lekuk-lekuk sayapnya, tetapi tak satu pun orang tahu bahwa di dalam tubuh perunggu itu tersembunyi sesuatu yang lebih sunyi dari ruang sidang.

Ia menggenggam kunci kecil pemberian Asnam. Dinginnya menembus kulit. Di belakang patung, tersembunyi sebuah celah logam selebar buku yang tersamar di antara relief bulu-bulu sayap. Rajudin mendekat, menahan napas, dan memasukkan kunci. Sebuah bunyi mekanis terdengar, pelan namun dalam, seperti napas panjang dari masa lalu.

Satu panel terbuka perlahan. Tangga spiral logam muncul dari dalam perut Garuda. Gelap. Lembap. Seperti jalan masuk ke rahasia yang ingin tetap terkubur.

Rajudin turun perlahan. Langkahnya bergema. Di dinding tangga, tergantung foto-foto kabinet masa lalu, coretan konsep pembangunan, dan potret rakyat yang dimanipulasi jadi angka statistik. Seolah ia memasuki museum kekuasaan yang tak pernah dibuka untuk umum.

Tangga itu berakhir di sebuah pintu emas berlapis kaca bening. Tertulis: “Sangkar Emas – Ruang Kendali Strategis Nasional.”

Ia mendorong pintu itu perlahan.
Di dalamnya, ruang bundar terbentang. Lantai marmer. Lampu kristal tergantung diam. Di tengah ruangan, meja kaca besar bertuliskan: Topik Hari Ini: Narasi Inflasi dan Rasa Syukur.

Beberapa monitor menyala redup. Rajudin menekan salah satu tombol.
Rekaman rapat terdengar:
“Jangan biarkan grafik kemiskinan naik terlalu drastis, cukup naik samar. Tapi beri narasi positif: ‘Rakyat tetap tersenyum walau sulit.’”

“Sediakan kutipan tokoh nasional yang inspiratif. Kalau perlu, sewa influencer. Jangan biarkan kebenaran mendahului citra.”

Rajudin membeku. Ini bukan ruang rapat. Ini laboratorium untuk menyunting kenyataan.

Di rak besi di sudut ruangan, ia menemukan laci bertuliskan: “Prototipe Simbol Negara.”
Ia menariknya.
Model kepala Garuda berbagai ekspresi: tersenyum, marah, dan… buta.

Sebuah dokumen usang menarik perhatiannya:
“Revisi Makna – Tahun 1987”.
Instruksi jelas: ubah makna Garuda dari simbol kemerdekaan menjadi lambang stabilitas.

Rajudin merasa dadanya sesak.

Tiba-tiba, suara lirih terdengar dari pengeras suara:

“Pengunjung tak terdaftar. Identifikasi dalam proses…” suara pengeras suara itu mengulang ngulang kalimat yang sama.

Lampu ruangan berkedip. Rajudin buru-buru menutup laci, mematikan layar, lalu berlari naik tangga. Tepat sebelum panel logam menutup, ia menyelinap keluar dan jatuh di rerumputan basah.

Dalam kantong jaketnya: model kepala Garuda dengan mata buta.


Tiga hari kemudian, di halaman depan kantor berita nasional, seseorang meletakkan paket kecil tanpa nama.
Isinya: kepala Garuda dengan mata buta, dan secarik kertas bertuliskan:

“Simbol bisa dibungkam,
Tapi jiwa tak bisa dihapus.
Yang hilang hari ini,
Akan bicara dari mimpi kalian besok.”

Tidak ada satu pun media yang memberitakan peristiwa peletakan benda itu. Tak ada kamera CCTV yang menangkap siapa pelakunya.

Yang lebih misterius: Rajudin tak pernah muncul lagi. Kosannya kosong. Nomornya tak aktif. Blog-nya tak lagi diperbarui.

Yang tersisa hanyalah mural-mural burung Garuda dengan mata buta,
dan bisik-bisik tentang seorang mahasiswa yang lenyap setelah menyentuh jantung sangkar emas.

Selesai.
10 Juni 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *