Juni 30, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

TOPENG DI ATAS PANGGUNG

5 min read

Cerpen

TOPENG DI ATAS PANGGUNG
Remmy Novaris DM

Lelaki separuh baya itu menemukan sebuah topeng di atas panggung. Sebuah panggung yang sudah lama tidak lagi berfungsi sebagai tempat pertunjukan. Lelaki itu memperhatikan wajah topeng itu. Sebuah topeng putih polos tanpa karakter. Mulut dan hidung topeng itu tertutup dengan rapat. Hanya kedua matanya saja yang terbuka dan kosong.

Lelaki separuh baya itu mencoba menduga, apa sebenarnya alasan si aktor membuang topeng itu begitu saja. Ia menduga si aktor sudah terlalu bosan memainkan topeng yang polos itu. Mungkin sudah bosan karena terlalu mudah menciptakan sebuah peran dari topeng itu. Begitu mudah juga membunuh peran yang sudah diciptakannya. Tidak ada sebuah peran pun yang berani menentang atau berani memprotes apa yang dilakukannya, jika ia bukan Tuhan yang dengan sewenang-wenang menciptakan sebuah peran kemudian membunuhnya. Betapa otoriternya ia sebagai seorang aktor. Dan setiap kali si aktor diminta bertanggung jawab atas perbuatannya itu, maka ia dengan mudah melontarkan kesalahan itu pada sutradara. Tidak jarang pula jika ia katakana, jika hal itu ia lakukan atas kemauan produser. Bahkan ia tak jarang juga katakana, jika itu adalah kehendak para pengunjung yang menyaksikan pertunjukan itu.

Berbagai alasan itulah yang kemudian si aktor membuang topeng itu. Setidaknya itulah yang dipikirkan lelaki tambun itu. Ia pun berpikir, bahawa apa yang bisa didapat dengan mudah, maka dapat pula dibuang dengan cara yang sama.

Si lelaki tambun itu juga menduga jika si aktor itu sudah mencapai populeritas seperti apa yang diinginkan. Untuk itu si aktor mungkin tidak lagi memikirkan topeng yang pernah dimainkan itu. Apalagi membutuhkannya. Meskipun topeng itu sudah membuatnya mencapai puncak kariernya. Dan di puncak karier itulah si aktor dapat lebih banyak lagi memainkan berbagai jenis topeng, meskipun tanpa menggunakan topeng sama sekali, yang seringkali membuatnya sesak untuk bernapas.

Ya, dengan topeng di wajahnya sendiri, si aktor lebih bebas memainkan perannya, tanpa ada tuntutan yang tidak penting dan tidak perlu, apa lagi dengan perasaan bersalah. Kecuali menyalahkan dirinya sendiri, jika dengan perannya itu tidak dapat dimainkan secara maksimal, sehingga publik mengetahui watak dan karakter aslinya. Tapi ia selalu saja berhasil menutup kelemahan itu dengan cepat dan sama sekali tidak saja diduga oleh publik tapi juga rekan-rekannya sesama aktor. Hari ini ia bebas mengatakan apa yang diinginkannya, beberapa hari kemudian berlawanan atau bertentangan dengan sebelumnya. Maka dengan santai si aktor akan menjawab, jika teman-temannya sesama aktor, atau publik umumnya, keliru melakukan interpretasi apa yang disampaikannya. Tidak jauh berbeda ketika ia dahulu mendapat protes dari peran-peran topeng dimainkannya, jika itu kemauan sutradara atau produser dan juga penonton.

Ya, si lelaki tambun itu yakin sepenuhnya itulah alasan si aktor itu yang sebenarnya. Alasan lainnya, mengapa si aktor itu tidak ingin memainkan sebuah topeng yang sudah memiliki karakter, mungkin karena memainkan sebuah topeng yang berkarakter, si aktor bukan saja tidak merasa bebas tetapi harus membongkar sedalam-dalamnya karakter yang ingin dimainkannya itu. Jika si aktor tidak melakukan hal itu, bukan tidak mungkin dirinya yang akan ditenggelamkan oleh topeng berkarakter itu. Kalau hanya tenggelam mungkin masih bisa dimuncul kembali kepermukaan.

Kalau yang terjadi sebaliknya, karakrer pribadinya benar-benar lenyap tak bisa lagi naik ke permukaan, siapa yang dapat menolongnya selain dirinya sendiri. Apa lagi jika karakter itu sudah pernah simainkan oleh aktor-aktor lainnya dan mencapai puncak kesuksesan, sehingga publik, terutama para kritikus selalu mengacu pada kesuksesan pada para aktor yang memainkan karakter itu. Si aktor mau tidak harus menghancurkan karakter-karakrer itu yang sudah menjadi dalil atau rujukan. Apakah itu tidak menghancurkan kredebilitas dan reputasinya sebagai aktor. Haruskah sebagai aktor berjuang kembali dari bawah, hanya sebagai seorang pemain figuran, yang lewat di atas panggung begitu saja. Bahkan namanyan pun tidak terpampang di poster-poster pertunjukan. Juga tidak pernah muncul di layar televisi atau yutube.

Si lelaki tambun itu tersenyum memikirkan hal seperri itu. Baginya itu tentu sangat ironi, apalagi membayangkan kehidupan di belakang panggung yang begitu suram. Terbayang bagaimana perjalanan si aktor di sana, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari saja harus berhutang kiri-kanan. Untuk mendaparkan segelas kopi pun harus mendengar hujatan pemilik warung. Sedangkan untuk mendapatkan sebatang rokok saja, merupakan sebuah kemewahan yang melebihi sebuah pertunjukan mana pun yang mungkin pernah dimainkannya.

Sekilas terbayang juga oleh lelaki tambun itu, bagaimana perjuangan si aktor harus keluar atau melepaskan diri dari sebuah karakter yang sudah dimainkannya berulangkali. Bagaimana si aktor mencapai puncak putus asa dan ingin melakukan bunuh diri. Sebab topeng berkarakter itu tidak saja menguasai wajahnya tapi seluruh kehidupannya. Topeng karakrer itu meskipun sudah dilepasnya tetap saja melekat pada dirinya. Hingga ia tidak tahu lagi batasan mana dunia panggung dan dunia nyata. Hingga akhirnya dirinya harus dikirim ke rumah sakit jiwa. Di rumah sakit itulah si aktor bertengkar habis-habisan dengan karakter yang dimainkannya. Bahkan mereka berusaha saling membunuh untuk saling menguasai satu sama lain. Pertengkarsn mereka baru mereda setelah dokter memberi mereka benzodiazepin,obat penenang.

Sesaat si lelaki tambun itu menghela napas panjang, ketika beberapa orang lelaki berseragam putih memegang lengannya dan membawanya pergi dengan sedikit kasar, sahingga topeng putih polos yang di pegangnya terjatuh di tempat yang sama. teronggok dan perlahan-lahan diliputi debu.


Diselesaikan menggunkan tab dari Stasiun Cikini, sepanjang jalan di atas kereta dan selesai di rumah dengan music-musik cadas. Cerpen naratif, tanpa dialog. Tumben trans nih aku nulisnya. Ga perduli suasana di sekitar. Tak perduli kereta penuh sesak. Terus nulis ga berenti. Hehehe

Dari Cikago menuju L A. 2025

(Cikini-kali pasir- gondangdia _ Lenteng Agung)

Biodata Penulis :
Remmy Novaris DM, lahir di kota Bandung Menulis di berbagai media cetak nasional. Peserta forum Penyair Muda 1987 Dewan Kesenian Jakarta. Peserta sastra Asean di Johor Malaysia tahun 1996. Ketua penyelenggara Forum nasional “Mimbar Penyair Abad 21” yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Anggota panita humas Kongres Kesenian 1 di Hotel Aryadutha Jakarta. Peserta Kongres Kesenian di Bandung 2015. Peserta Musyawarah Sastrawan (Munsi) 1 dan 2. Juri FLS2N tingkat nasional di Manado 2016. Juri FLS@N pembacaan puisi tingkat nasional melalui on line 2021. Pendiri Teater Pass dan Nol Satu. Anggota Bengkel Sastra Ibukota 1980. Anggota Kelompok Kecil Jakrta 1980. Penggagas Masyarakat Kesenian Jakarta. Pelaksana berbagai program panggung terbuka di Taman Ismail Marzuki: PKJ-TIM (Panggung ulang tahun dan peringatan Chairil Anwar setiap tahun), Pangung Selaci (Seni Lapak Cikini selama 6 bulan di TIM). Pendiri Komunitas Dapur Sastra Jakarta sejak tahun 2011 sampai sekarang) Pendiri Koperasi Dapur Sastra Jakarta. Pimpjnan Penerbit PT Teras Budaya Jakarta. Pimpinan Majalah Apresiasi Sastra. Penggagasan Forum Diskusi Meja Panjang setiap bulan di PDS HB Jassin, tahun 2023-2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *