Agustus 18, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

KADO HUT RI 80 : Skandal Bendungan Ameroro, Jejak Korupsi Triliunan Hantui Konawe

2 min read

KADO HUT RI 80 untuk Kejagung, KPK dan Presiden RI ; Skandal Bendungan Ameroro, Jejak Korupsi Triliunan Rupiah yang Menghantui Konawe

Kendari, suarapinggiran.com (17/08/2025) –

FKPK Sultra Bongkar Dugaan Mega Korupsi Proyek Strategis Nasional

Bendungan Ameroro di Kabupaten Konawe yang semula digadang-gadang sebagai proyek penyelamat pertanian dan penyedia air baku di Sulawesi Tenggara, kini justru berubah menjadi ladang subur dugaan korupsi. Forum Komunikasi Pemberantasan Korupsi (FKPK) Sultra mengungkap dugaan adanya aliran dana triliunan rupiah yang diduga dinikmati segelintir pejabat dan oknum aparat desa.

Proyek Raksasa, Uang Rakyat yang Disalahgunakan

Pada tahun 2020, Kementerian PUPR melalui Dirjen Sumber Daya Air menggelontorkan anggaran fantastis Rp1,9 triliun untuk pembangunan Bendungan Ameroro. Dana jumbo ini dialokasikan ke lima pos: pembangunan fisik, ganti rugi lahan, tanaman tumbuh, konstruksi bendungan dan kompensasi genangan air.

Namun, investigasi FKPK Sultra menemukan kejanggalan sejak tahap awal. Penetapan Desa Tamesandi melalui Perda Konawe No. 4/2020 dan Perbup No. 70/2021 disebut sarat rekayasa, menjadi pintu masuk praktik kongkalikong antara pejabat daerah dan Kepala Desa Tamesandi.

“Pendirian Desa Tamesandi hanyalah akal-akalan untuk menguasai lahan adat Walaka Ngginiku di Ameroro. Semua ini bermula dari kepentingan segelintir elit daerah untuk memperkaya diri,” ungkap Syaiful Junaid Biro Investigasi FKPK Sultra.

Tim Satgas Bayangan dan Klaim Fiktif

Tahun 2021 hingga 2023, Pemerintah Provinsi Sultra menerbitkan tiga kali Surat Keputusan tentang Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Pembangunan Bendungan Ameroro. Alih-alih memastikan keadilan bagi warga, tim ini justru dinilai membuka ruang besar praktik korupsi.

Menurut temuan FKPK, pengukuran lahan dan tanaman tumbuh tidak pernah dilakukan di lapangan. Data verifikasi diduga dibuat di atas meja oleh Kepala Desa Tamesandi, dengan bantuan oknum pegawai BPN Konawe dan Dinas Kehutanan. Dokumen palsu inilah yang kemudian digunakan untuk mengajukan klaim ganti rugi miliaran rupiah ke Balai Wilayah Sungai (BWS) IV Kendari.

Lebih parah lagi, pembayaran dilakukan tanpa standar jelas: ada yang menerima Rp 1 miliar per hektare, sementara yang lain hanya Rp87 juta untuk lahan tujuh hektare.

“Pembayaran klaim ini bukan untuk rakyat pemilik sah tanah Walaka Ngginiku. Kami menduga Justru kroni Kepala Desa yang menerima, lalu menyetorkannya kembali kepada sang kepala desa,” tegasnya lagi.

Masyarakat Adat Tersingkir

Ironisnya, pemilik sah tanah adat Walaka Ngginiku justru tak tersentuh ganti rugi. Berdasarkan dokumen SKT tahun 1998, lahan seluas 100 hektare milik almarhum Supu Hasan—anak kandung mantan Kepala Distrik Uepai tahun 1946—tak pernah dibayarkan.

“Ini bentuk perampasan hak adat yang dilegalkan lewat aturan yang dibuat pemerintah daerah. Korupsi tidak hanya merampok uang negara, tapi juga menghancurkan martabat masyarakat adat,” ujar Wiwin Anata, Biro Advokasi FKPK Sultra pada kesempatan yang sama.

Desakan FKPK: Usut Tuntas!

FKPK Sultra menegaskan bahwa label Proyek Strategis Nasional (PSN) tidak bisa dijadikan tameng kebal hukum. Laporan resmi telah dilayangkan ke Kejaksaan Tinggi Sultra, dengan rekomendasi pemeriksaan terhadap:
• Kepala Desa Tamesandi,
• Pejabat BWS IV Kendari,
• Kepala BPN Konawe
• Serta Sekda Provinsi Sultra selaku Ketua Tim Terpadu.

“Ini bukti permulaan yang cukup. Uang rakyat senilai Rp1,9 triliun tidak boleh dibiarkan menguap di tangan mafia anggaran. Kejati harus bergerak cepat sebelum bukti-bukti lenyap,” tutup Wiwin dengan nada keras.(*)

Laporan ; Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *