Juni 22, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

PKT Mekongga Gelar Diklat ke-9 : Seruan Kuat untuk Keadilan Masyarakat Adat Tolaki

2 min read

PKT Mekongga Gelar Diklat ke-9 : Seruan Kuat untuk Keadilan Masyarakat Adat Tolaki

Kolaka, suarapinggiran.com –

Organisasi masyarakat adat Tolaki, Panglima Kapita Tamalaki (PKT) Mekongga, menggelar pendidikan dan pelatihan (Diklat) ke-9 pada Sabtu, 24 Mei 2025. Kegiatan ini dilaksanakan di kawasan Permandian Air Panas Ulu Kolaka, Mangolo, dengan melibatkan 30 peserta muda-mudi terbaik dari suku Tolaki Mekongga.

Diklat dibuka dengan doa bersama dan salat berjamaah sebagai bentuk pengharapan agar setiap langkah yang diambil dalam pelatihan ini senantiasa mendapat perlindungan dan petunjuk dari Tuhan. Spirit spiritualitas ini juga menjadi pondasi dalam menanamkan nilai-nilai adat kepada para peserta.

Ketua PKT, Irfan Konggoasa, menjelaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar pelatihan fisik dan mental, melainkan juga sarana memperkuat identitas budaya Tolaki, termasuk pemahaman atas sistem hukum adat yang diwariskan turun-temurun.

“Ini tidak hanya berfokus pada penguatan kapasitas anggota, tetapi juga sebagai media pembentukan karakter serta pemahaman mendalam tentang eksistensi hukum adat Tolaki” tukas Irfan kepada media ini.

Sebagai bagian dari seremoni pembukaan, prosesi adat Mombesara Mondotambe digelar untuk menghormati kehadiran Ketua Masyarakat Adat Tolaki Sultra, Abdul Sahir, yang didampingi oleh Sekretaris Jenderal MAT Sultra, Adi Yusuf Tamburaka. Prosesi tersebut menjadi simbol penyambutan sekaligus sarana internalisasi nilai adat kepada generasi muda.

Sekjen MAT, Adi Yusuf Tamburaka Menegaskan nilai-nilai kultural, seperti penghormatan, kesopanan, dan tata krama dalam hubungan sosial dalam prosesi Mombesara tersebut. 

Ia juga menjelaskan, Mombesara bertujuan mentransmisikan identitas budaya kepada generasi muda dan pihak luar, agar adat-istiadat tetap hidup dan dihormati. Juga menandai dimulainya kegiatan penting yang berkaitan dengan adat, budaya, atau kepemimpinan.

“Dengan demikian, Mombesara bukan hanya seremoni simbolis, tetapi juga sarat makna sosial dan kultural dalam sistem adat Tolaki” jelas Adi Yusuf Tamburaka 

Lebih lanjut, Ketua PKT juga menyinggung sejarah panjang keberadaan suku Tolaki di wilayah Mekongga dan Konawe yang telah berlangsung sejak abad ke-5 sebelum Masehi. Dikenal sebagai masyarakat yang hidup harmonis dengan alam, mereka menggantungkan hidup dari berburu, meramu, menangkap ikan, dan sistem pertanian berpindah.

Namun, sejak tahun 1968, wilayah adat Tolaki mulai terdesak oleh aktivitas pertambangan nikel. Irfan menyoroti ketimpangan yang terjadi, di mana masyarakat adat kerap tersingkir dari tanahnya sendiri tanpa mendapatkan hak yang layak.

“Banyak dari kami dikriminalisasi hanya karena membela tanah leluhur. Kami tidak sedang menuntut lebih, kami hanya ingin negara melindungi hak kami sebagaimana mestinya,” kata Irfan dengan nada tegas.

Sebagai bentuk advokasi, PKT Mekongga tengah merancang aksi damai di depan Istana Negara guna menyuarakan langsung aspirasi kepada Presiden Prabowo Subianto. Mereka menuntut agar hukum adat Tolaki—yang berlandaskan sistem Kalosara—diakui dan dilindungi oleh negara. Selain itu, mereka meminta agar hutan adat yang telah dimanfaatkan tanpa pelibatan masyarakat adat dikembalikan kepada komunitas aslinya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *