Masyarakat Adat Tolaki Kecam Diskriminasi terhadap Tanah Adat Walaka
2 min readKonawe, suarapinggiran.com –
Masyarakat Adat Tolaki (MAT) belum lama ini mengeluarkan kecaman terhadap berbagai upaya teror dan intrik yang bertujuan menghilangkan hak-hak masyarakat adat atas Tanah Walaka Rumpun Ahli Waris H. Hasan / H. Puo-Puo di Ameroro Kabupaten Konawe, (09/11/24).
Diketahui, sekelumit persoalan dibalik pembangunan Bendungan Ameroro sebagai Proyek Strategis Nasional yang menetaskan dugaan kasus mafia tanah dalam penanganan dampak sosialnya belakangan semakin mengerucut.
Tak hanya itu, Komnas HAM RI bahkan telah menyurati Pemprov Sulawesi Tenggara dan Pemkab Konawe terkait dugaan pelanggaran HAM adat dalam proyek itu.
Bukan tanpa dasar, Lembaga Masyarakat Adat Tolaki (MAT) mengeluarkan pernyataan sikap itu. Selain sebagai upaya mendukung sepenuhnya Rekomendasi Lembaga Adat Tolaki (LAT) sebagaimana tercantum dalam Surat Rekomendasi Nomor 010/DPP-LAT/X/2024, hal itu juga merupakan sikap jujur dan tegas Masyarakat Adat Tolaki dalam menjaga martabat serta kehormatan adat yang masih eksis dalam kehidupan Masyarakat sejak dahulu hingga saat ini.
“Untuk diingat kembali, kami mengecam keras segala upaya diskriminatif oknum-oknum tertentu terhadap tanah Walaka Ngginiku milik H. Puo-puo sebagai orang tua dan ulama kita. Jadi kami akan mempertahankan marwah tanah tersebut sebagai tanah adat Masyarakat Tolaki” tegas Abdul Sahir, Ketua MAT Sultra kepada media ini kemarin, (09/11/24)
Melalui sekretaris jenderalnya, Adi Yusuf Tamburaka, MAT juga Meminta kepada DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara atas surat Nomor 100.1.4.2/1301 Tertanggal 1 Oktober 2024 yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri), untuk mengawal pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012.
Adi menegaskan keputusan MK tersebut bersifat final, mengikat, dan berlaku bagi semua pihak alias erga omnes. Ia menekankan kembali maksud dari putusan itu yang mengatakan bahwa tanah adat bukanlah bagian dari hutan negara.
“Kami menegaskan bahwa Putusan MK memiliki kekuatan hukum lebih tinggi dari Perda sehingga hak-hak adat tetap berlaku meskipun belum ada Perda khusus yang mengatur tanah adat di Kabupaten Konawe. Namun sepanjang itu diakui oleh Lembaga Adat, dan masyarakat adatnya, maka jelas hal ini berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Jumran, S.IP, Ketua Pusat Advokasi Konsorsium Hak Asasi Manusia (PoskoHAM) selaku pihak pendamping Rumpun Walaka meminta kepada pemerintah untuk mengintruksikan kepada seluruh jajarannya agar menghormati Putusan MK tersebut sebagai kewajiban konstitusional yang mesti ditegakkan setiap infrastruktur negara, baik infrastruktur politik maupun ninfrastruktur non-politik, dengan mengembalikan hak-hak tanah walaka kepada Pemilik tanah walaka yakni Masyarakat rumpun adat Walaka H. Hasan / H. Puo-Puo.
“Kami sampaikan pula bahwa kegagalan pemerintah daerah untuk mengeluarkan Perda Pengakuan Tanah Adat dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran konstitusi. Yang meski demikian tidak mengurangi eksistensi tanah adat Walaka yang telah diakui keberadaanya dalam konsep Adat Tolaki, berdasarkan Rekomendasi Lembaga Adat Tolaki (LAT)” terangnya.
Pernyataan sikap tersebut ditegaskan pihak Masyarakat Adat Tolaki sebagai bentuk komitmen dan dukungan penuh terhadap Rekomendasi Lembaga Adat Tolaki (LAT). MAT juga berharap adanya penegakan hukum dan keadilan yang semestinya bagi Masyarakat adat, khususnya Masyarakat Adat Tolaki.
Meski demikian, pihak Masyarakat Adat Tolaki mengaku tetap mendukung penuh setiap kebijakan pembangunan, baik nasional maupun daerah sepanjang itu tidak merugikan hak-hak masyarakat adat.(*)
Laporan : Nawir