November 8, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

PT. Marketindo, Wajah Lama Perampasan Tanah Berkedok Investasi?

3 min read

“PT. Marketindo, Wajah Lama Perampasan Tanah Berkedok Investasi”

PT. Marketindo kembali mempertontonkan keserakahan dan arogansi korporasi. Hari ini, perusahaan tersebut melakukan penggusuran paksa terhadap lahan keluarga almarhum Djubar Makati di Desa Lamooso, Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan, lahan warisan yang telah dikelola turun-temurun dan menjadi sumber kehidupan keluarga petani lokal.

Lahan yang hanya seluas 60 are ini digusur menggunakan alat berat. Di atasnya tumbuh sekitar 70 pohon pala, 200 pohon lada/merica, dan 15 pohon cengkeh, serta 7 pohon rumpun sagu yang kini terancam punah akibat pengerusakan tersebut.
Penggusuran dilakukan tanpa dasar hukum, tanpa dialog, dan tanpa hati nurani.

“Ini bukan soal luas tanahnya, tapi soal harga diri kami sebagai pewaris sah tanah ini. Kami tidak akan tinggal diam ketika perusahaan berupaya memutus hubungan kami dengan tanah leluhur kami,” tegas Sudiran, salah satu ahli waris keluarga Djubar Makati.

Menanggapi peristiwa ini, Didi Hardiana, Koordinator Hukum dan HAM – PUSPAHAM Sulawesi Tenggara, menyatakan bahwa PT. Marketindo telah melanggar hukum dan keadilan agraria selama lebih dari tiga dekade.

Kebun Merica, Cengkeh, dan Pala Digusur PT. Marketindo Selaras
Kamis, 6 November 2025 | Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara

“Selama lebih dari 30 tahun, PT. Marketindo beroperasi tanpa memiliki Hak Guna Usaha (HGU) yang sah. Legalitas usahanya kabur, sementara dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang digunakan diduga kuat manipulatif dan tidak kredibel,” ujar Didi.

Perusahaan ini merupakan kelanjutan dari rangkaian perusahaan bermasalah, mulai dari PT. SMB, PT. BMP, hingga PT. Marketindo, yang seluruhnya beroperasi tanpa konsultasi publik, tanpa sosialisasi, dan tanpa persetujuan masyarakat.

PT. Marketindo juga secara sepihak mengalihkan fungsi lahan dari perkebunan tebu menjadi kelapa sawit, tanpa izin sosial (social license) dari warga. Pola seperti ini menegaskan praktik lama: perampasan ruang hidup masyarakat melalui legalitas semu dan kekuasaan modal.

Ironisnya, perusahaan yang diduga jaringan bisnis besar milik Tommy Winata justru membeli tanah sekecil ini secara bawah tangan, tanpa mempertemukan keluarga pemilik sah dengan pihak penjual. Akibatnya, masyarakat yang kehilangan tanah kini dipaksa menjadi buruh murah di atas tanah sendiri, menjadi korban dari kebijakan negara yang membiarkan kesewenang-wenangan korporasi.

Namun, kasus di Lamooso bukan satu-satunya. Di atas lahan seluas ±1.300 hektare yang tersebar di delapan desa sekitar, masyarakat kini melakukan reaklaiming (pengambilalihan kembali) karena lahan tersebut juga dikuasai tanpa dasar hukum yang sah dan telah lama terbengkalai.

Situasi ini menunjukkan bahwa konflik antara PT. Marketindo dan warga bersifat sistemik, bukan insiden tunggal.

Peringatan Keras untuk ATR/BPN dan Pemerintah Daerah

PUSPAHAM Sulawesi Tenggara menegaskan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus berhati-hati dan tidak serta-merta menerbitkan usulan HGU bagi PT. Marketindo.

Pemberian izin baru kepada perusahaan dengan rekam jejak pelanggaran agraria yang panjang bukan hanya bertentangan dengan asas keadilan agraria, tetapi juga akan memperpanjang rantai perampasan tanah dan penderitaan rakyat.

Tuntutan Masyarakat

  1. Pemerintah pusat dan daerah segera menghentikan seluruh aktivitas PT. Marketindo di seluruh wilayah izin yang bermasalah.
  2. Kementerian ATR/BPN melakukan audit legalitas hukum dan penertiban lahan atas seluruh wilayah yang dikuasai PT. Marketindo.
  3. Kementerian Lingkungan Hidup melakukan verifikasi dan audit lingkungan terhadap dugaan pelanggaran dokumen AMDAL serta dampak penggusuran di lapangan.
  4. Penegak hukum menindak tegas setiap bentuk pelanggaran yang telah merugikan masyarakat dan lingkungan selama puluhan tahun.

Tanah bukan sekadar aset – tanah adalah identitas, sejarah, dan sumber kehidupan masyarakat tani. Penggusuran hari ini menambah daftar panjang luka sosial akibat kerakusan korporasi yang dibiarkan tanpa kendali. Demikian ujar Didi dengan tegas.(*)

Laporan : Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *