Serakahnomics – Korupsi dan Vonis Ringan
3 min read
Oplus_0
Serakahnomics – Korupsi dan Vonis Ringan
Di negeri yang baru saja merayakan kemerdekaan ke-80 tahun, masih ada satu penyakit lama yang tak kunjung sembuh adalah korupsi. Ia menjelma menjadi kanker kronis yang menggerogoti sendi-sendi bangsa. Namun yang lebih menyakitkan, penyakit ini justru dipelihara oleh sebuah sistem yang disebut sebagai serakahnomics yang di ucapkan oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto.
Dalam kerangka serakahnomics, vonis ringan terhadap koruptor menciptakan lingkaran setan yang tak ada hentinya yakni Korupsi → Tertangkap → Vonis ringan → Bebas → Kembali berkuasa → Korupsi lagi pada akhirnya Hukum yang seharusnya menjadi pagar justru berubah menjadi pintu putar ekonomi korupsi. Untuk itu Reformasi mental aparat hukum, agar tidak terjebak dalam logika “serakahnomics” itu sendiri.

Ketidakadilan Sosial – Rakyat kecil semakin merasa hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas, Bila hukuman tidak tegas, masyarakat akan menganggap korupsi sebagai hal biasa, bagian dari “aturan main”.
Investasi yang Menguntungkan adalah Korupsi
Di dalam logika serakahnomics, korupsi dianggap sebagai investasi. Para pejabat dan elit politik mengeluarkan “modal” besar untuk menduduki kursi kekuasaan. Modal itu harus dikembalikan, dan cara tercepat adalah dengan menyalahgunakan jabatan. Uang rakyat menjadi bancakan, proyek negara dijadikan ladang basah, sementara rakyat jelata hanya menerima kisah dan cerita.
Lebih ironis lagi, ketika korupsi terbongkar, hukum yang diharapkan menjadi alat keadilan justru sering kali berbalik menjadi alat perlindungan para pelaku korup.
Vonis Ringan antara Hukuman atau Hadiah ?
Rakyat kecil mencuri ayam bisa divonis 2 tahun penjara, seorang ibu mencuri beras demi anaknya bisa dipenjara 3 bulan, tetapi koruptor yang merugikan negara miliaran rupiah hanya dihukum 2–3 tahun, bahkan sering bebas sebelum waktunya karena remisi dan fasilitas istimewa.
Vonis ringan inilah yang menjadikan korupsi seolah kejahatan kelas istimewa. Pesan yang sampai ke publik sangat jelas: “korupsi itu berisiko kecil, tetapi hasilnya besar.” Alih-alih memberi efek jera, vonis ringan justru menciptakan iklan gratis bahwa menjadi koruptor adalah pilihan rasional dalam serakahnomics.
Lingkaran Setan Serakahnomics
Fenomena vonis ringan bagi para pelaku Serakahnomics ini melahirkan lingkaran setan seperti
Pejabat korupsi karena merasa hukuman tidak seberapa.
Jika tertangkap, jalur hukum masih bisa dinegosiasikan.
Vonis ringan membuat mereka cepat kembali ke panggung politik atau bisnis.
Dan siklus pun berulang.
Sehinga Korupsi bukan lagi aib, melainkan strategi bertahan hidup di dalam sistem ekonomi kerakusan ini.
Apakah Hukum masih pada kiblatnya ?
Kepercayaan publik terhadap hukum runtuh ketika hukum hanya keras pada rakyat kecil dan lunak pada pejabat. Fenomena ini memperkuat persepsi ketidakadilan struktural. Rakyat jelata semakin sinis: “Untuk apa taat hukum, jika hukum hanya mainan mereka yang berkuasa?”
Padahal, dalam teori negara hukum (rechtstaat), prinsip utama adalah equality before the law—semua orang sama di hadapan hukum. Kenyataannya, yang berlaku adalah selective justice – siapa punya kuasa, dialah yang bernegosiasi dengan hukum.
Bagaiamana Menghancurkan Serakahnomics
Jika bangsa ini ingin keluar dari jebakan serakahnomics, maka ada beberapa langkah mendasar yang harus ditempuh ;
Reformasi sistem peradilan yaitu Vonis korupsi harus tegas, tanpa celah remisi berlebihan.
Penguatan lembaga antikorupsi yaitu Tidak boleh ada intervensi politik yang melemahkan KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dan institusi pengawas lainnya.
Transparansi public yaitu Persidangan korupsi harus terbuka dan dapat dipantau rakyat, agar tidak ada ruang kompromi gelap.
Pendidikan integritas yaitu Budaya antikorupsi harus ditanam sejak dini dengan pelibatan Lembaga adat didaerah agar generasi mendatang tidak terjebak dalam logika kerakusan.
Serakahnomics bukan sekadar teori sinis, melainkan realitas pahit negeri ini. Selama korupsi masih dianggap kejahatan yang menguntungkan dan vonis ringan menjadi tradisi, maka kita sedang berjalan menuju negara gagal.
Sudah waktunya hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika tidak, rakyat akan terus kehilangan harapan, dan kemerdekaan yang sudah berumur 80 tahun ini hanya tinggal slogan kosong bagaikan merdeka di atas kertas, tetapi terjajah oleh kerakusan.
“Money is power in the eyes of the law” bahwa uang dapat memberikan keunggulan dalam sistem hukum.
Kendari, 20 Agustus 2025
Ketua Forum Komunikasi Pemberantasan Korupsi Sulawesi Tenggara
Adi Yusuf Tamburaka