Juli 19, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

Krisis Integritas di Tubuh Inspektorat Daerah

3 min read

Krisis Integritas di Tubuh Inspektorat Daerah

Opini oleh : Adi Yusuf Tamburaka, S.Sos,. MH, Analisis Kebijakan Ahli Madya Prov. Sulawesi Tenggara

Korupsi telah benar benar menggurita di negeri ini. Berbagai kasus korupsi terjadi disemua sendi kehidupan bangsa Indonesia. Belum lama ini, kita dihebohkan dengan penangkapan tangkap tangan kepala inspektorat daerah kota bau bau yang dilakukan oleh tim Kejaksaan Negeri Bau-bau yang mana Kepala Inspektorat selaku aktor utama dalam OTT tersebut. Belum lagi di Kolaka Timur, 16 pegawai inspektorat termasuk kepala inspektorat divonis bersalah oleh hakim PN Kolaka atas laporan kasus pencemaran nama baik sesama pegawai inspektorat.

Di Konawe Selatan, salah satu pegawai inspektorat mendapat perlakuan kurang baik yang dilakukan oleh Kepala Inspektorat disaat yang bersangkutan telah mendapat surat tugas untuk mengikuti pelatihan di Makassar, namun tiba-tiba di batalkan yang berujung pelaporan ke aparat penegak hukum. Selain itu ada pula kasus korupsi yang melibatkan mantan kepala inspektorat Kota Kendari disaat menjabat Sekda Kota Kendari yang saat ini masih dilakukan persidangan di PN Tipikor Kendari. Yang pastinya, hampir semua daerah di negara ini terjadi seperti diatas, semua ini dapat dijadikan refleksi bagi pemerintah dalam mengevaluasi regulasi dan rekrutmen pegawai inspektorat daerah.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Inspektorat Daerah sejatinya adalah pengawal integritas pemerintah daerah. Mereka digaji oleh negara untuk mencegah dan menindak pelanggaran, terutama dalam tata kelola keuangan dan kebijakan publik. Namun belakangan, berbagai kasus korupsi justru melibatkan pejabat inspektorat itu sendiri. Pengawas menjadi bagian dari yang diawasi. Lalu di mana letak salahnya?

Ironi Lembaga Pengawasan

Fungsi Inspektorat Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang diperkuat dengan Permendagri No. 107 Tahun 2017. Namun secara struktural, inspektorat berada langsung di bawah kendali kepala daerah, nah Di sinilah letak paradoks itu bermula.

Bagaimana mungkin pengawas bisa bekerja objektif bila penilaiannya bergantung pada mereka yang diawasi? Celah inilah yang kemudian melahirkan praktik kompromistis, transaksi kepentingan, hingga keberpihakan yang menyimpang.

Benarkah Regulasi yang Lemah ?

Masalah utamanya bukan sekadar pada individu pejabat inspektorat yang khilaf, tapi pada sistem yang memungkinkan pengawasan dimonopoli oleh satu tangan kekuasaan dan Regulasi kita gagal menciptakan mekanisme “pengawasan atas pengawas” disebabkan Tidak adanya sistem audit silang atau supervisi independen terhadap kinerja inspektorat itu sendiri.,  disisi lain Pengawasan yang dilakukan BPKP atau Kemendagri cenderung administratif, bukan investigatif. Sementara peran KPK terhadap inspektorat masih bersifat pembinaan, bukan pemantauan langsung. Padahal, inspektorat bukan hanya organ pelapor, tapi aktor strategis dalam memastikan pencegahan korupsi berjalan maksimal, dan Jika pejabatnya ikut bermain dalam sistem korup, maka seluruh fondasi pencegahan runtuh.

Apakah benar benturan Kepentingan dan Budaya di inspektorat itu terjadi selama ini ?  

Fakta di lapangan menunjukkan banyak inspektur daerah diangkat berdasarkan kedekatan, bukan kompetensi. Laporan pelanggaran sering berakhir di meja kompromi. Laporan temuan audit bisa diubah, ditahan, atau “dibersihkan” asalkan ada imbalan. Tak jarang pula, staf inspektorat yang ingin bersikap jujur justru ditekan atau dimutasi. Tidak ada mekanisme whistleblower yang aman. Hal Ini memperjelas bahwa sistem kita tidak hanya lemah secara teknis, tapi juga membiarkan kejahatan terjadi melalui pembiaran budaya.

Apa yang harus dilakukan dan Bagaimana Solusinya ? 

Sudah waktunya Negara mengatasi permasalahan yang terjadi di inspektorat, sejumlah langkah strategis harus segera dapat diambil dengan cara Pisahkan inspektorat dari struktur kepala daerah, Jadikan lembaga pengawasan ini independen seperti Ombudsman atau Komisi Yudisial, dengan pengangkatan berdasarkan merit dan uji publik. Perkuat supervisi eksternal dengan pelibatan KPK atau BPK secara aktif dalam mengevaluasi dan menindak penyimpangan di tubuh inspektorat. Digitalisasi sistem pengawasan melalui Audit manual yang rawan manipulasi serta Pengawasan berbasis elektronik secara transparansi dan data publik harus menjadi suatu keharusan. Lindungi pelapor internal dengan cara pemberian jaminan hukum dan perlindungan terhadap pegawai inspektorat yang berani melaporkan pelanggaran di institusinya sendiri. Reformasi total perekrutan pegawai inspektorat melalui psikotes integritas, kemudian tes kompetensi, dan audit latar belakang sebelum seseorang dapat menjabat sebagai pengawas.

Ketika inspektorat menjadi bagian dari masalah, bukan solusi, maka rusaklah sistem dari dalam. Regulasi kita tidak bisa terus-menerus bersandar pada moralitas individu semata. Diperlukan reformasi struktural, pengawasan yang saling mengawasi, dan kemauan politik untuk menjadikan integritas bukan sekadar jargon, tapi dasar dari setiap kebijakan publik.

Negara ini tidak akan maju bila pengawas justru ikut bermain dalam kegelapan. Sebab, yang berbahaya bukan hanya korupsi itu sendiri, tapi sistem yang membiarkan korupsi menjadi kebiasaan.(*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *