FKPK Laporkan Dugaan Mafia Lahan dan Perampasan Tanah Adat Bendungan Ameroro ke Kejati, Siap Tempuh Jalur PTUN
2 min read
FKPK Laporkan Dugaan Mafia Lahan dan Perampasan Tanah Adat Bendungan Ameroro ke Kejati, Siap Tempuh Jalur PTUN
Kendari, suarapinggiran.com (15 Agustus 2025) –
Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Ameroro di Kabupaten Konawe kembali menjadi sorotan tajam. Forum Komunikasi Pemberantasan Korupsi (FKPK) Sulawesi Tenggara melalui Kepala Biro Investigasi, Syaiful Junaid, resmi melaporkan dugaan praktik korupsi, mafia lahan, dan perampasan tanah adat ke Kejaksaan Tinggi Sultra.
Menurut Syaiful, laporan ini bukan sekadar tuduhan, melainkan disertai bukti dokumen, kesaksian warga, dan kronologi yang mengarah pada keterlibatan oknum penyelenggara negara dalam memanipulasi pembayaran ganti rugi lahan APL (Area Penggunaan Lain) dan kawasan hutan, serta menguasai tanah adat Masyarakat Adat Tolaki rumpun Walaka Ngginiku.
Kronologi: Dari SK Gubernur ke Dokumen Bermasalah
Syaiful membeberkan bahwa masalah bermula sejak terbitnya SK Gubernur Sultra Nomor 649 Tahun 2019 sebagai acuan lokasi lahan terdampak. Menjelang pembayaran ganti rugi pada 27 Desember 2024, muncul dokumen Surat Keterangan Lahan Garap (SKLG) yang diterbitkan oleh Kepala Desa Tamesandi, Mido Lasurua, SH., MH. Dokumen tersebut dipakai untuk mengklaim lahan masyarakat di APL dan kawasan hutan, meski bertentangan dengan SK Gubernur.
Lebih jauh, tim terpadu yang mendukung kepala desa menyatakan adanya perubahan batas desa berdasarkan Perbup Konawe No. 70 Tahun 2021. Syaiful menegaskan, perubahan ini tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat atau kepala desa lain, serta bertentangan dengan Perda Konawe No. 4 Tahun 2021 yang masih berlaku.
“Kami melihat indikasi kuat permainan mafia lahan dengan memanfaatkan celah regulasi untuk mengalihkan hak tanah masyarakat,” ujar Syaiful.
Dugaan Perampasan Tanah Adat Walaka Ngginiku
FPKP juga memasukkan dugaan perampasan tanah adat Masyarakat Adat Tolaki rumpun Walaka Ngginiku dalam laporannya. Lahan ulayat tersebut disebut diklaim sepihak sebagai milik negara tanpa proses Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), disertai dugaan pemalsuan dokumen, intimidasi, dan pengusiran warga.
Menurut Syaiful, tindakan ini bukan hanya pelanggaran administrasi, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia dan hukum adat.
Langkah Hukum Ganda: Kejati & PTUN
Selain melapor ke Kejati Sultra, Syaiful mengungkap bahwa FPKP juga akan menempuh jalur gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan ini ditujukan untuk membatalkan keputusan atau peraturan daerah yang dinilai cacat hukum, termasuk Perbup No. 70 Tahun 2021 yang menjadi dasar perubahan batas desa.
“Kami akan memaksa uji materi di PTUN untuk memastikan regulasi yang dipakai mafia lahan ini dibatalkan. Kalau tidak, praktik seperti ini akan terus berulang,” tegasnya.
Potensi Kerugian Negara
FPKP menduga kerugian negara akibat pembayaran ganti rugi yang salah sasaran mencapai miliaran rupiah. Pembayaran dilakukan kepada pihak yang tidak berhak karena manipulasi dokumen dan peta batas desa, sementara pemilik sah lahan kehilangan kompensasi.
Desakan FPKP
Dalam laporannya, FPKP mendesak Kejati Sultra untuk:
* Membentuk tim penyelidik khusus guna memeriksa dokumen, peta batas desa, dan daftar penerima ganti rugi.
* Memanggil semua pihak yang terlibat, termasuk pejabat BWS Sulawesi IV Kendari, Kepala Desa Tamesandi, dan anggota tim terpadu.
* Mengamankan dokumen asli SK Gubernur No. 649 Tahun 2019 dan Perda No. 4 Tahun 2021 sebagai bukti pembanding.
Hingga berita ini dirilis, Kejati Sultra belum memberikan tanggapan resmi. Sementara itu, FPKP memastikan akan mengawal kasus ini di dua jalur: pidana melalui Kejati dan administrasi melalui PTUN, demi membongkar dugaan mafia lahan yang membelit proyek strategis nasional tersebut.
Laporan : Redaksi