“Kiri Elus Tangan, Kanan Tanda Tangan”
3 min readKasus tentang tanah memang tidak pernah ada habisnya. Jaman kolonial sampai reformasi menjadi saksinya. Apa yang kemudian dikenal dengan istilah Konflik Agraria yang menyeret banyak peluh dan duka di wajah rakyat jelata itu semkin menjadi di tengah pusaran pertarungan politik dan kekuasaan.
Bukan tentang regulasi yang kurang atau tidak dilaksanakan, ketentuan yang mengatur tentang tanah dan redistribusi tanahnya bagi rakyat, itu justru semakin menumpuk di meja-meja para pemangku. Menjadi sekedar macan kertas.

Foto : KPA Wilayah Sultra
“Saya merasa dihina oleh negara, terlebih oleh pemerintah daerah. Bukan hak kami tentang tanah saja yang dikebiri, hak kesehatan, hak pendidikan untuk kami itu tidak ada. Pemerintah daerah sudah dua tahun sejak menjanjikan sampai detik ini tidak merealisasikan. Tidak ada keadilan untuk kami” Keluh Ujang Uskadiana, warga transmigrasi UPT Arongo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, dalam kegiatan telaah kritis Perpres No 86 tahun 2018, kemarin (03/05) di Kendari.
Demikian faktanya, Seorang Petani yang juga adalah Ketua Serikat Tani Konawe Selatan itu bercerita. Gambaran tentang konflik agraria yang dialimi warga trans lantaran lokasi pertanian mereka yang di klaim perusahaan sawit PT Merbau Indah Raya Group. Pencarian keadilan agraria itu bahkan sampai ke istana negara. Sayangnya ibarat menggantan asap, percuma dan hanya menetaskan kecewa.
Lihatlah lagi yang terjadi di Kabupaten Konawe. Seperti yang diungkap Direktur Rumah Tani Indonesia Kabupaten Konawe, Jumran, sejak tahun 2013 terdapat banyak kasus HGU salah satu perusahaan sawit justru terbit diatas lahan-lahan pertanian warga yang bersertifikat. Bukan rahasia, kecenderungan pemerintah membiarkan itu berlalu bertahun-tahun begitu saja hanya memaksa petani untuk sekedar mengurut dada dan pasrah. Helni setiawan, Kepala Badan Litbang RTI Konawe itu juga menambahkan, bahwa faktanya konflik agraria seperti itu ternyata juga menyisakan penderitaan yang sangat bagi kaum perempuan.
Di empat tahun terakhir, Provinsi Sulawesi Tenggara menyumbang kasus konflik agraria di Indonesia sebanyak 20 kasus dari total 410 konflik. Data ini hanya yang tercatat saja di Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sultra. Tidak termasuk kasus-kasus yang terdapat di lembaga atau institusi lain. Keseluruhan itu, adalah benturan masif yang dialami warga petani dengan perusahaan yang tentu saja melibatkan pemerintah mereka sendiri.
“Yang terjadi adalah itu, pemerintah ini, Kiri Elus Tangan, Kanan Tanda Tangan, warga disuruh sabar tapi isin untuk IUP ditanda tangan” Ujar Ahmad, Warga Desa persiapan Matabondu Kecamatan Laonti, Konawe Selatan, saat mengisahkan kasus sengketa tanah ditempatnya karena diklaim sepihak pula oleh PT Tiran Sulawesi. Betapa tidak mesti harus diperjuangkan bahkan sampai ke Kementerian Lingkungan Hidup, Kantor Staf Presiden, DPR RI, Oumbustman dan Badan Pertanahan Kementerian ATR/BPN, tanah itu adalah tanah ulayat, satu-satunya warisan leluhur mereka dengan bukti kuat.

Foto : KPA Wilayah Sultra
Karenanya, perjuangan panjang reforma agraria sampai benar-benar dirasakan hasilnya oleh rakyat terlebih mereka para petani mesti dengan konsolidasi yang lebih terintegrasi sampai ke desa-desa dengan mendirikan kelompok-kelompok tani, serikat petani dan koperasi tani. Selain itu, menurut Torop Rudendi, Kordinator Wilayah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sultra, reforma agraria tidak cukup dengan regulasi, tetapi juga kemauan politik pemerintah yang kuat mesti menjadi lebih diutamakan.
“Kita butuh kemauan politik yang kuat dari pemerintah, kita juga harus mengkaji muatan-muatan regulasi dan politik, menyatukan diri element pergerakan petani dan mahasiswa untuk konsolidasi dalam rangka mendorong pelaksanaan undang-undang agraria dan Perpres No 86 tahun 2018 ini” tegasnya. (*jm)