LESTARI BUDAYA

Oktober 5, 2024

SUARA AKAR RUMPUT

Perintah Presiden ini Diharap Tidak “Menguap”

3 min read

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengapresiasi perintah Presiden Joko Widodo dalam Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) pada 3 Mei 2019 di Istana Negara, Jakarta. Sebagaimana diberitakan, dalam Ratas tersebut presiden memerintahkan percepatan penyelesaian masalah pertanahan dan sengketa lahan (konflik agraria) di Indonesia; konflik rakyat dengan perusahaan swasta, perkebunan negara (BUMN), maupun konflik agraria antara rakyat dengan pemerintah. Termasuk perintah penertiban konsesi-konsesi yang bermasalah dengan rakyat.

“Kami berharap, hasil Ratas dan perintah Presiden ini tidak menguap. Sebab, kami mencatat dalam bulan Februari, Maret dan di awal Mei Presiden memimpin Ratas dengan pembahasan yang hampir serupa” Ujar Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di melalui siaran pers di Jakarta (04/05)

Artinya, telah beberapa kali Presiden memberikan perintah-perintah semacam seperti itu sejak awal tahun 2019, dan menurut KPA, jajaran kementerian terkait seperti Kementerian ATR/BPN, KLHK dan Kementerian BUMN justru menghindari langkah penyelesaian konflik agraria bersama. KPA menilai, jajaran-jajaran itu hanya kerja bussines as usual, dimana masalah konflik agraria dengan rakyat justru dipandang sebagai problem adminsitrasi hukum semata, bukan sebagai problem keadilan sosial.

Selanjutnya, komitmen Ratas ini juga akan menguap kembali jika para pimpinan daerah (gubernur dan bupati) tidak diperintahkan untuk mengambil langkah yang sejalan dengan agenda ini. KPA mengingatkan kembali bahwa tuntutan penyelesaian konflik agraria di seantero Tanah-Air selalu dinyatakan gerakan masyarakat sipil di setiap babak pemerintahan.

KPA mencatat, satu dekade Pemerintahan SBY telah mewariskan konflik agraria yang ditunjukkan dengan 1.770 kejadian konflik agraria yang dialami 926.700 kepala keluarga, disertai penangkapan 1.534 petani dan masyarakat adat di banyak tempat di Indonesia. Dengan warisan semacam itu, saat Pemerintahan Jokowi-JK mulai memimpin, masalah konflik dan ketimpangan agraria menjadi pekerjaan rumah yang ditunggu penyelesaiannya oleh masyarakat luas, utamanya petani, penggarap, buruh tani, dan masyarakat adat.

“Namun, langkah pemerintah kami pandang belum serius. Dalam 4 tahun terakhir ini, para menteri terkait enggan menyentuh wilayah-wilayah konflik agraria yang bersifat struktural untuk diselesaikan dalam kerangka reforma agraria” tegasnya.

Sejak 2015 – 2018, terjadi 1.769 kejadian konflik agraria di seluruh provinsi (Catatan Akhir Tahun KPA, 2018). KPA mengkritisi unit-unit penyelesaian konflik dan sengkreta agraria yang ada di ragam kementerian dan lembaga negara (pusat dan daerah) karena terbukti tidak sanggup berbuat banyak. Sebab konflik agraria adalah problem lintas sektor pemerintahan, sehingga unit tersebut tidak dapat menyelesaikan konflik agraria lintas sektor secara tuntas dan berkeadilan.

Karenanya, menurut KPA diperlukan langkah korektif yang cepat dan sistematis, yang langsung dipimpin dan diawasi oleh Presiden untuk menyelesaian konflik agraria di Indonesia. Presiden memimpin dan mengawasi secara berkala langkah-langkah penyelesaian konflik agraria sesuai dengan perintah dalam Ratas lalu. Bahkan, Presiden Jokowi seharusnya menggunakan kecepatan dan ketepatan penyelesaian konflik agraria sebagai langkah melakukan evaluasi kinerja para menteri.

Sebenarnya, terdapat beberapa langkah untuk mempercepat proses ini. Presiden dapat segera memerintahkan para menteri terkait untuk membuka data konsesi-konsesi perusahaan (perkebunan, kehutanan, tambang, properti); HGU, HTI, HGB, Perhutani/Inhutani, ijin tambang) yang telah menyebabkan ketimpangan dan konflik agraria; merugikan dan melanggar hak-hak masyarakat. Segera overlay data-data konsesi tersebut dengan data-data wilayah hidup rakyat yang telah dilaporkan dan diusulkan berulangkali kepada pemerintah (pusat-daerah) untuk diselesaikan dalam kerangka reforma agraria.

Dengan demikian, Menurut KPA, presiden dapat mengganti acara-acara penyerahan sertifikat melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan acara pelepasan dan pengeluaran desa-desa, kampung-kampung, sawah, kebun masyarakat, ladang pengembalaan, tambak, fasilitas umum dan fasilitas sosial masyarakat dari klaim tanah (hutan) negara, HGU dan konsesi lainnya.

“KPA mengingatkan langkah ini hanyalah permulaan dari agenda kebangsaan kita yang belum dilaksanakan, yaitu melaksanakan reforma agraria sejati sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan Tap MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam” Tutup Dewi menyikapi hasil Ratas, agar menjadi perhatian para pihak, untuk secara sungguh-sungguh menuntaskan konflik agraria dan menertibkan konsesi-konsesi perusahaan penyebab ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *