Sawit, Janji Kesejahteraan atau Pemiskinan?
3 min readsuarapinggiran.online_ Tren ekspansi kelapa sawit masih menjadi jawara. Tidak tanggung-tanggung, Indonesia saat ini telah memproduksi lebih dari 85% minyak sawit global, dengan total lahan perkebunan gabungan mereka mencapai lebih dari 14 juta hektar. Hutan primer yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas lebih dari 10% deforesasi di Indonesia. Sekitar 600.000 – 1.000.000 hektar kawasan hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya, dengan luas 8 juta hektar saat ini dan konon, akan ditingkatkan menjadi 13 juta hektar pada tahun 2020.
Dampak lingkungan dan sosial dari ekspansi ini tak henti-hentinya menuai banyak protes dari masyarakat luas tidak terkecuali di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (DN KPA) melalui Kisran Makati, terus berkampanye dan membeberkan akibat-akibat dari kebijakan pemerintah yang dinilai sebagai bentuk ketidak adilan dan ketidak berpihakan kepada kepentingan pelestarian lingkungan ini.
Deforesasi atau kerusakan hutan yang menurutnya semakin gencar telah merajalela di provinsi ini diikuti dengan hilangnya keanekaragaman hayati, polusi air, erosi tanah, penipisan nutrisi, peningkatan emisi karbon serta konflik horizontal terbukti selalu melekat pada pengembangan dan pemprosesan kelapa sawit ini.
“Kami sejak dulu menolak investasi sawit, karena merupakan cikal bakal konflik horizontal dan kerusakan hutan, masuknya sawit itu tidak saja merusak lingkungan dalam perkebunan sawit itu, tapi juga diluar lokasinya, anak-anak sungai ditimbun dan dicemari, karena kita tau sawit menggunakan pupuk dan pestisida yang berlebihan yang mengandung racun dan mengakibatkan pencemaran” cetusnya saat diwawancarai SuPi belum lama ini.

(Doc : Suara Pinggiran)
Pelanggaran terhadap hak-hak hidup dan hak produksi lahan masyarakat dan komunitas lokal sendiri kerap terjadi, padahal secara turun-temurun mereka telah menggantungkan hidup di hutan untuk kebutuhan sehari-hari guna mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga. Seringkali pula, pemilik hak sesungguhnya ini tidak diajak bicara atau tidak diberikan cukup informasi terkait proyek konversi lahan mereka menjadi lahan perkebunan oleh pemerintah atau investor.
“Ekspansi sawit tidak saja menghilangkan hak hidup masyarakat, serta hak kesehatan, tetapi juga menghilangkan hak-hak produksi masyarakat terhadap lahan. Lahan dipastikan tidak akan berproduksi dengan baik, karena bisa jadi lahan telah dimabil secara sepihak oleh perusahaan dengan skema plasma inti” ungkapnya lagi.
Sistematisnya pemiskinan dan pembodohan terhadap masyarakat disinyalir terbungkus rapi didalamnya. ketika janji kerja atau keuntungan ekonomi diberikan kepada komunitas lokal, hal ini seringkali tidak diprioritaskan atau direalisasikan. Selain itu, perlakuan terhadap lahan masyarakat yang dianggap kosong, ‘lahan tidur’, atau terdegradasi sering kali menyesatkan. Pada kenyataannya, Sebagian besar area target untuk pengembangan kelapa sawit adalah lahan pertanian dan lahan masyarakat, yang kemudian malah digadai oleh oknum tertentu.
“Selama ini setiap perusahaan yang masuk, selalu mereka mengiming-imingi masyarakat akan kesejahteraan dan tenaga kerja itu selalu mimpi besar yang digencarkan oknum pemerintah dan perusahaan, tetapi sebetulnya di dalamnya adalah pemiskinan yang sangat sistematis, pembodohan didalamnya yang paling nyata, tidak benar-benar serius setiap peusahaan akan merektut tenaga kerja, dan tidak benar juga perusahaan akan melaksanakan skema plasma inti. Yang terjadi didalamnya adalah tanah-tanah masyarakat itu dijadikan modal, dijadikan agunan ke bank, selanjutnya uangnya diputar di daerah lain, kabupaten lain atau provinsi lain, atau di Negara lain. yang terjadi itu tanah masyarakat digadai. Sesungguhnya perusahaan itu adalah perusahaan bangkrut yang hanya mencari modal di masyarakat” imbuhnya.

Pola kemalangan lainnya adalah bahwa produksi minyak sawit terlihat telah mendorong penyerapan tenaga kerja dengan upah yang rendah sekaligus dengan proteksi hak pekerja yang buruk. Kondisi kerja yang eksploitatif dan maraknya hubungan monopsoni antara petani kecil dengan perusahaan kelapa sawit juga telah mengakibatkan pelanggaran HAM dan hak buruh, meliputi kerja pelunasan hutang dan pekerja di bawah umur.
“Mereka juga dijadikan tenaga atau buruh dengan upah yang murah, yang paling kelihatan itu yang terjadi di Kabupaten Konawe Utara, terutama di lokasi Wiwirano, Langgikima oleh beberapa perusahaan sawit. Potret buram ini dipastikan yang akan dan telah terjadi di Kabupaten Konawe juga” ungkapnya Kisran lagi
Menurut kisran, petaka ini dipicu oleh regulasi yang cukup liberal. Akibatnya, peluang investasi terbuka secara lebar untuk investasi. Terlebih setelah makin dipercepatnya proses pembuatan isin oleh pemerintah. Skema politik kekuasaan antara penguasa dengan pengusaha memilki peran penting disini. Walhasil, setiap momen pilkada adalah momen barter pertukaran kepentingan. Sumbangsi investor kepada calon kepala daerah dihargai dengan keharusan memberikan isin usaha dan isin lokasi kepada pihak investor. Petani kecillah yang kemudian membayarnya, dengan kemiskinan dan penderitaan anak cucu nantinya. (jm)