Juli 1, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

Sastra, Suara yang Terpinggirkan

2 min read

Sastra, Suara yang Terpinggirkan
Oleh: Yoss Prabu

Aku menulis ini bukan di kafe ber-AC,
tapi di atas trotoar yang bau keringat para pemulung kata,
di antara klakson yang menampar telinga,
di antara wajah-wajah yang sudah lupa caranya bermimpi.
Katanya sastra itu candu bagi kaum intelektual,
tapi aku lebih sering menemukannya sebagai bangkai yang dibiarkan membusuk
di sudut pasar tradisional yang bau busuk kapitalisme.
Apa gunanya puisi jika hanya jadi hiasan di ruang tamu para elite?
Apa makna prosa jika cuma jadi pengantar tidur bagi orang-orang yang tak pernah bangun?

Mereka bilang kemanusiaan,
padahal yang mereka maksud hanya kemasan iklan,
dijual per kata di toko buku yang lebih mirip mal daripada rumah baca.
Filsafat sudah jadi tagline di seminar murahan,
diskon harga moral di tengah gelombang selfie
yang lebih banyak bicara soal follower
ketimbang perjuangan.

Sementara manusia yang lain
mengais remah kata-kata yang tak sempat dicetak,
dibuang ke laci kebudayaan yang berdebu.
Kata-kata pedas ini bukan sekadar umpatan,
tetapi luka yang disayat setiap hari,
di dada orang-orang yang menggantungkan harap
pada kata-kata yang seharusnya membebaskan,
tapi malah dijadikan komoditas.
Sastra kita hari ini terlalu sering dicabik-cabik
oleh birokrasi,
oleh sponsor,
oleh influencer yang lebih peduli followers daripada isi kepala.

Aku menulis ini bukan untuk membanggakan diri,
tapi untuk memaki kemunafikan yang dibungkus kata “kemajuan.”
Sastra Indonesia tidak lahir di gedung mewah,
ia lahir dari keringat petani yang tak pernah disebut di media,
dari darah aktivis yang diseret di tengah malam,
dari tangis ibu yang kehilangan anaknya
karena kebijakan yang penuh tipu muslihat.

Pendiam dan murung?
Biar saja.
Lebih baik menangis karena nurani daripada tertawa karena upeti.
Karena puisi yang sejati bukan sekadar kata indah,
tapi palu godam yang merobohkan tirani,
meski hanya satu kata.

Jadi mari kita menulis,
dengan tinta yang lebih merah daripada darah,
dengan suara yang lebih lantang daripada sirene penguasa.
Sastra Indonesia tidak boleh jadi mainan,
tidak boleh jadi pelacur bagi korporasi,
tidak boleh jadi catatan kaki di buku sejarah yang penuh kebohongan.
Sastra adalah rumah bagi yang terbuang,
bagi yang menolak dijinakkan,
bagi mereka yang percaya kata-kata bisa menjadi senjata,
bukan sekadar etalase di perpustakaan kota yang sepi.

Maka aku menulis ini,
untuk menampar wajah-wajah suci yang pura-pura peduli,
untuk menusuk dada mereka yang bersembunyi di balik kemeja rapi,
dan untuk menyelamatkan satu-satunya yang masih kita punya. Kebenaran yang menjerit dalam kata.

Dan jika itu terdengar terlalu tajam,
biarlah. Karena sastra Indonesia hari ini
lebih butuh senjata
daripada puisi manis
yang hanya meninabobokan nurani.
*
Jakarta, 07 Juni 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *