LESTARI BUDAYA

Desember 7, 2024

SUARA AKAR RUMPUT

Petani, Buruh Lokal dan Kapitalisme Global

3 min read

Pembangunan. Saking seringnya disebut-sebut, sampai begitu lucu jika tidaklah merupakan hal memalukan untuk dijadikan bahan pembicaraan di sudut-sudut ruang dan waktu. Sebab juga bukan sekedar pandangan subjektif, ketika ternyata apa yang substansi dalam persoalan fungsi formal pemerintahan seperti itu justru sangat sakral lantaran harus adanya pihak tertentu yang menjadi tumbal.

Faktanya tidak begitu rumit, bahkan cukup sederhana bagi orang awam sekalipun untuk memahaminya. Dimulai dari latar belakang pemikiran, proses perencanaan sampai pada tahap implementasi apa yang diartikulasikan sebagai bentuk kebijakan itu, justru hanya melegalkan para desainer dan pelaku kekuasaan, pelayan masyarakat (katanya) dan para kroni-kroninya, berada pada posisi yang sangat kontradiktif dengan fungsi kedudukannya.

Posisi itu menunjukkan wilayah yang paling strategis untuk membodohi sekaligus merampok hak rakyat dengan legalitas jabatan. Sebuah realitas yang refresentatif seperti apa yang disebut-sebut sebagai praktek hegemoni.

Petani Tambak di Morosi

Posisi ini juga mutlak membatasi zona para oportunis dengan rakyat jelata yang tidak begtu paham dengan persoalan politik pembangunan. Antara penguasa dengan yang dikuasai, antara yang berwenang dengan yang diperintah, dan akhirnya antara yang kaya dengan yang miskin.

Alih-alih mengantarkan rakyat pada kesejahteraan, pembangunan disinyalir malah menurunkan harkat dan derajat rakyat dengan memaksa mereka terus bersabar dan berlapang dada menerima fakta kemiskinan dalam penjara ketidak-adilan. Fakta ini, justru berada di tengah-tengah gencarnya kampanye dan proyek pembangunan. Mulai dari pragmatisme, sakralisasi kedudukan dan kewenangan, sampai pada pendekatan yang berorientasi sesaat, malah menjadikan pembangunan membunuh dirinya sendiri. Nilai-nilai idealnya hanya cukup memoles retorika, konsep dan program-program agar terlihat humanis dan partisipatif.

Sebut saja soal kebijakan pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya alam atas nama percepatan pertumbuhan ekonomi, bukan malah menorehkan sedikit senyuman rakyat kecil dari derita kemiskinan di lingkar kawasan, optimalisasi itu justru mengoptimalkan ketidakberdayaan rakyat dihadapan pemangku kepentingan, di depan korporasi-korporasi besar, bahkan dimata “intelek-intelek” musiman itu. logika dan praktek yang disebut-sebut kebijakan itu justru sangatlah memalukan untuk disebut-sebut sebagai sesuatu yang pada dasarnya adalah bijak.  

Pembangunan Industri Morosi

Meski sangatlah samar, lantaran kurang begitu jelinya media mengintip persoalan kemiskinan dalam pemberitaan seputar isu pertambangan maupun perkebunan skala besar, dampak eksploitasi itu sangatlah telat mengenai jantung kehidupan rakyat yang berada dibawah garis kemiskinan. Tidak saja soal output apa yang dapat diterima dari pengerukan atau alih fungsi lahan korporasi misalnya, tetapi juga menyangkut metode formal tertutup yang telah lebih dahulu melukai rakyat di awal perencanaan proyek-proyek itu.

Kawasan Industri Morosi Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara, dari sekian bentuk praktek eksploitasi pertambangan, deretnya adalah sejajar ketika persoalan ditarik dari persfektif kritis atas dampaknya bagi ekonomi pertanian masyarakat setempat. Alih fungsi lahan adalah menjadi biangnya. Sebab bukan hal yang asing, ketika ribuan hektar tanah garapan dan tambak petani mesti ditukar dengah lembaran-lembaran rupiah hanya untuk persoalan turut serta mendukung program pembangunan industri-industri dari pemerintah lalu menunggu bukti janji setelahnya.

Kawasan Tambak di Morosi

Tak terhitung pula pranata budaya yang perlahan runtuh setelah porak-porandanya faktor-faktor produksi pertanian masyarakat setempat. Kemiskinan petani ditengah pusaran industrialisasi, digerus semakin dalam karena pudarnya solidaritas kebudayaan lokal. Bersambut, saratnya kearifan dan gotong royong didalamnya, tertukar begitu saja oleh paradigma pragmatis bawaan agenda kapitalisme, Individualis sekaligus Hedonis.

Sejatinya, hal yang sama juga terjadi di negara-negara agraris lainnya setelah kasus yang akhirnya jadi fenomena ini terlebih dahulu terekspansi di daerah-daerah. Profesi penghidupan keluarga dari hasil garapan ladang atau pula tambak, terintegrasi secara perlahan ke dalam kamp-kamp pekerja pabrik-pabrik raksasa. Petani, menjadi buruh-buruh lokal kapitalisme global.(*)

Penulis : Fidel Muhammad (Pemerhati Sosial Politik Pertanian Konawe)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *