74 Tahun, Petani Sopi Belum Merdeka – Apa Kabar Negara ?
4 min readPerdebatan Sopi di maluku Ibarat perempuan Gila, yang menerobos gedung istana, wilayah – wilayah suci yang tidak boleh dikotori orang berdosa, secara implisit menunjukan bagaimana kita terjebak dalam pemikiran sempit, dengan memahami Sosok yang disembah ada berdiam dalam ruang secara fisik, bukan pada manusia- manusianya.
Selama ini kalangan elit dan masyarakat tertentu menghakimi Sopi sebagai penyebab masalah, gaduh di lingkungan masyarakat, pertanyaan yang muncul bagi saya sebegitu kejikah Sopi Maluku sampai harus dihakimi dianggap sebagai satu-satunya miras penyebab masalah, ricuh, mengapa sopi yang harus dihukum bukan manusianya ? Facta empirisnya rata- rata yang konsumsi dan menjual Sopi adalah masyarakat, petani kecil yang tidak mampu membeli minuman sekelas Vodka, Wiskey, dan wine, bahkan rata-rata masyarakat yang menjual sopi adalah mereka yang tidak punya mata pencaharian tetap, saya kembali bertanya apakah Sopi dilarang karena mengganggu kehadiran Vodka, Wisky Wine dll yang selalu jadi minuman para elit dimaluku ? Dimanakah negara untuk masyarakat kecil ?
Kebiasaan melihat dampak negatif dari satu sisi ,parsial tanpa melihat sisi lain yakni sebab musabab mengapa orang mengkonsumsi sopi dengan “motivasinya adalah mabuk” padahal mungkin saja si A yang mengkonsumsi sopi secara berlebihan itu dikarenakan kemiskinan yang membuatnya frustrasi, kemudian negara melalui pemerintah dan pihak keamanan menghakimi Sopi. Pemerintah mestinya lebih inklusif dalam berpikir untuk mengkaji secara holistik. sebab Sopi meruapakan komoditas local yang didalamnya tersirat Local Wisdom bukan benda. Sopi dalam ritual masyarkat adat dimaluku sebagai juga bagian dari simbol konsensus. Mengapa ?
Hal sederhana yang ingin saya kemukakan bahwa kalau trend masyarakat Middle Class dan elit kelas atas dalam sebuah pertemuan resmi, privat biasanya minuman dengan label tertentu menghiasi meja sebagai pelengkap yang turut memberi pengaruh, hingga menghasilkan keputusan- keputusan penting, relasi pun terbangun. Pasti ada yang bertanya apakah Sopi juga demikian ?
Sopi ada sebelum Indonesia merdeka
Sopi hadir sebelum negara mestinya diakui bahwa negara terbentuk dengan berbagai produk politik dan hukum positif sebagaimana pandangan Locke merupakan State of Nature dalam pandangan ini, negara dalam masyarakat mula- mula hidup begitu damai, dan tentram (Life) individu dalam masyarakat bebas (Liberty) dan punya hak atas apa yang dimiliki (Property). negara ada karena dibentuk atas dasar perjanjian, sebelum negara hadir masyarakat dengan segala kehidupanya sudah ada, dengan hak- haknya sebagaimana saat ini Hak Asasi Manusia (HAM). kehadiran negara adalah untuk menjamin ketentraman dan melindungi warga negara dengan segala haknya.
Perdebatan legal tidak legal seharusnya sudah tidak lagi, tanpa dilaglkan pun Sopi akan selalu ada sebagai bagian dari proses – proses membangun konsolidasi Politik dalam mencapai concensus, penyelesaian konflik pada masyarakat adat Maluku. Indonesia baru merdeka tahun 1945 sedangkan kehidupan manusia Maluku dan adat –istiadat telah berjalan jauh sebelum Indonesia lahir. dengan demikian Sopi tidak butuh legitimasi formal sebagai prasyarat dari negara berkaitan dengan keberlangsungan eksistensi Sopi di Maluku. sopi memiliki legitimasi Etis yang didalamnya terdapat nilai- nilai Endogenoues, sosial budaya, adat- istiadat yang perlu rawat sebagai bagian dari indetitas yang juga bermanfaat secara ekonomi.
Narasi dibalik Sopi tentang kehidupan masyarakat petani kecil dipulau- pulau kecil, terluar, tertinggal terkebelakang (3T),bahwa disana ada sebagaian besar dari masyarakat yang menghidupi keluarganya, ada kaum perempuan berstatus ibu rumah tangga yang terbantukan dari penghasilan Sopi untuk memenuhi kebutuhan sehari hari dan biaya pendidikan anak- anaknya, ada sebagian besar perempuan Maluku dari keluarga berprofesi Petani penghasil Sopi yang berhasil mengenyam pendidikan Tinggi dengan hasil Sopi. meskipun ini harus kita jujur bahwa belum ada riset ilmiah yang menunjukan persentase secara kuantitas jumlah masyarakat kecil Maluku yang menjadikan sopi sebagai mata pencaharian, namun itu bukanlah point utama untuk dipertanyakan.
Sebaliknya berbicara tentang merdeka, apakah petani penghasil Sopi sudah merdeka ? jawabanya bahwa petani “Belum Merdeka”. Secara De yure indonesia sudah merdeka, tapi secara De Facto, substansi kemerdekaan sejati itu masih terlampau jauh dari yang diharapkan. Merdeka bukan hanya bebas atas Colonialism bangsa luar. Tetapi merdeka yang diharapkan saat ini oleh masyarakt kecil lebih pada bagaimana menghargai manusia dengan segala keberadaannya, adat istiadat sebagai kesatuan yang utuh dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wujud Kehadiran negara mestinya menjalankan fungsinya sebagai pengatur, melindungi, hak- hak masyarakat petani kecil, melalui perpanjangan tangan pemerintah tangan pusat didaerah sebagaimana tujuan dari desentralisasi, dalam konteks Sopi dimaluku seyogianya kewenangan itu untuk mengatur hulu- hilir dari proses produksi distrubusi, hingga konsumsi bahkan sanksi jika ada pelanggran. Dengan demikian negara melalui alat- alatnya (pihak keamanan) berhak memberi sanksi jika proses produksi distribusinya dipasar tidak sesuai aturan yang berlaku, disitulah negara dapat hadir sebagai satu- satunya institusi yang berhak atas penggunaan kekerasan(Force) sekalius mengusahakan kesejahtraan bagi warganya.
Harapan bahwa Kehadiran negara memang untuk mengatur melindungi hak – hak kaum kecil dan kepentingan petani penghasil Sopi itu terwujud di negeri tempat bersemayam para raja. jika kelas menengah dan elit kelas atas menjadikan minuman dengan label tertentu sebagai bagian yang turut mewarnai pertemuan resmi, maupun sebagaimana diungkapkan diatas. Hal yang sama terjadi pada masyarakat adat di belahan bumi tanah raja- raja melaksanakan ritual dan prosesi adat menggunakan Sopi, bukan untuk mabuk- mabukan tapi Sopi menjadi bagian penting dari lahirnya satu keputusan, perjanjian pela gandong. (*)