Negara, Adil pada Investor Namun Lalai pada Petani
5 min read
Tanah sebagai kebutuhan dasar manusia adalah sesuatu yang fundamental jika diuraikan secara sosiologi bagaimana sebuah tanah menjadi sebuah kebutuhan pokok dalam kehidupan kelompok atau pun dalam keluarga. Tanah menjadi penting karena beberapa faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah tanah menjadi tempat membangun rumah, bercocok tanam, tanah juga tempat dimana tubuh manusia ketika mati akan dikubur. Tanah juga menjadi kehidupan bagi manusia pada umumnya di bidang pertanian atau perkebunan selama ber abad-abad. Sebenarnya secara tidak langsung, ada ikatan antara tanah dan manusia itu sendiri yang tak bisa dipisahkan.
Jika kita lihat dari sejarah perkembangan masyarakat yang dimulai dari komunal primitif, mata pencaharian mereka adalah berburu dan bercocok tanah. Namun komunal primitif ini bersifat tidak menetap. Mereka berpindah jika ditempat mereka tinggal tersebut tidak lagi produktif.
Pada masyarakat komunal primitif kelompok masyarakat ini tidak bisa sepenuhnya mengelolah tanah sebagai sumber kehidupan. Kelompok ini hidup bergerombol, mereka hidup mencari makan bersama, berburu bersama, mengumpulkan buah-buahan bersama, hasilnya sebagai milik bersama, dan dibagi bersama sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Hingga saat kelompok itu semakin besar, mulailah terdapat pembagian kerja, dimana laki-laki bertugas untuk berburu sedangkan perempuan bercocok tanam. Fase ini merupakan fase pertanian dalam rumah tangga.
Kemudian lahirlah fase Perbudakan atau Kepemilikan Budak. Jika difase komunal primitif dalam keluarga mereka bisa menentukan sendiri apa yang akan ditanam dan diproduksi pada tanahnya, difase ini masyarakat justru menjadi buruh yang dapat dijual dan tak bisa berbuat atas tanahnya sendiri. Mereka dipekerjakan pemilik modal atau tuan tanah dan diberikan alat produksi. Mereka kemudian mengelolah tanah dan tidak merasakan hasil kerja keras mereka sepenuhnya. Hanya beberapa saja yang mempunyai tanah pribadi dari fase itu.
Difase selanjutnya, fase feodalisme, petani tak lagi menjadi buruh yang dirantai dan yang dijual, melainkan dikontrol oleh hasil tanah yang kemudian diserahkan kepada tuan. fase ini terus berkembang kearah yang lebih halus bentuk penindasaanya, sehingga muncullah era baru kapitalisme dimana sistem produksi terus berkembang dan mengorbankan banyak hal dari masa terdahulu. Kapitaslisme era baru ini penindasannya tanpa ampun. Masyarakat menjadi tempat kompetensi bagi sesamanya, keuntungan lebih dikedepankan dari pada kebersamaan.
Seperti kita ketahui, tanah adalah hal yang paling pokok dalam pembangunan, mulai dari jalan raya, rumah sakit, kantor-kantor, sekolah, rumah ibadah, hotel, industri, gedung-gedung tinggi bahkan juga pertambangan. Pada titik ini, Kapitalisme itu pun selalu dekat dengan kata pembangunan. Atas nama pembangunan itulah kapitalisme menjalar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Atas nama pembangunan bandara pesawat tanah warga digusur, atas nama pembangunan pasar pedagang-pedagang kecil warga digusur, atas nama industri tanah warga dirampas. Itulah sikap negara yang menganut paham kapitalisme, pembangunan adalah nomor satu dan mesti diprioritaskan dalam hal apapun bahkan jika itupun berbenturan dengan kepentingan rakyat. Pembangunan haruslah diutamakan sehingga rakyat mestinya membuat sebuah gerakan akar rumput, tidak untuk melawan negara melainkan untuk setidak-tidaknya mempertahankan hak yang ada sebelum negara mengambilnya atas nama pembangunan.
Sejak hadirnya Hindia Belanda pada tahun1602-1800 abad ke-17 dan 18, tanah tidak dikuasai secara langsung pemerintah Belanda, namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta. Hadirnya belanda dengan lembaga ekonomi VOC, membuat rakyat nusantara tidak saja mengalami diskriminasi dan kesengsaraan namun juga berbagai penindasaan, diantaranya ialah dengan usaha pemerintah hindia belanda mengambil tanah dari rakyat dengan menerbitkan Undang-Undang Agraria 1870.
Usaha terbitnya undang-undang itu adalah upaya mengambil tanah rakyat dan juga upaya menghadirkan perusahaan swasta milik belanda beroperasi di nusantara. Perusahaan tersebut mengeksploitasi tanah, hutan dan tenaga rakyat jawa dan sebagainya yang hadir pada saat itu. Usaha-usaha yang dilakukan belanda dengan memanfaatkan rakyat nusantara dan kekayaan alam tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menstabilkan perekonomian mereka.
Sejarah panjang itu kemudian melahirkan suatu kemerdekaan bagi seluruh rakyat indonesia tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Ir Soekarno sebagai Bapak kemerdekaan Indonesia kemudian menasionalisasi aset belanda dan menjadikannya milik indonesia dengan membuat undang-undang pokok agraria Nomor 5 Tahun 1960. Sebuah usaha untuk mendistribusikan tanah kepada rakyat atau reforma agraria, dengan maksud agar setiap rakyat dapat berdaya terhadap tanahya sendiri.
Namun usaha tersebut berubah drastis setelah Ir Soekarno tak lagi menjadi presiden dan digantikan oleh Soeharto. Soeharto kemudian menghadirkan perusahaan asing di Indonesia dan kembali mengusasi kekayaan alam Indonesia sepanjang kekuasaannya. Hingga pada masa Ir Jokowi Dodo, belum ada aturan signifikan yang berbicara tentang tanah dan untuk kesejatraan rakyat dan mengelolah sendiri tanahnya. Bahkan, dalam 2019 ini rancangan UU Pertanahan kembali ditolak karena dinilai oleh beberapa organisasi sipil dan para Aktivis agraria memihak kepada kepentingan swasta dibanding kepada rakyat.
Rangkain diatas dapat kita lihat bahwa dari periode-periode sejak Ir Soekarno belum ada kepemimpinan yang benar-benar serius menangani konflik agraria. Jokowi membagi-bagikan sertifikat berupa selembar kertas. Namun kertas tetaplah kertas. Upaya penyelamatan tanah mestinya dengan melihatnya secara langsung apakah ia masuk dalam hal yang sah atau justru masuk dalam konflik.
Pertanyaan yang timbul, mengapa tanah tak begitu diprioritaskan negara hanya untuk rakyat?. Pertanyaan itu mendapat jawaban beragam jika kita ajukan kepada beberapa orang misalnya. Karena tanah milik negara, karena ada yang lebih penting dari kebutuhan rakyat, karena industri, atau karena pertambangan lebih penting untuk didahulukan ketimbang rakyat. Padahal, ada hal yang lebih fundamental dari soal itu jika saja kita mampu memahami titik persoalanya.
Di negara berkembang, konflik Agraria merupakan salah satu yang paling rentan karena orentasi negara berkembang adalah membangun dan membangun. Politisasi tanah di negara berkembang sangat banyak merebut tanah rakyat, memanipulasi, mengkriminalisasi petani, membuat aturan yang jauh dari kepentingan rakyat, sehingga disinyalir tanah justru bukan menjadi hak rakyat, melainkam hak negara.
Paradigma itu kemudian menjadi rentetan konflik dan terus meningkat di dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Tanah tidak lagi milik rakyat. Lantas bagaimana lagi rakyat kecil yang tak punya pendidikan akan mencari butir-butir kehidupan jika tanah meter per meter akan diambil oleh industri. Pasar-pasar tradisional mulai hilang digantikan oleh pasar modern dengan sewa kios yang cukup mahal sementara disisi lain pedagang-pedagang di samping jalan mulai diusir karena alasan mengganggu pemandangan kota dan bertentang dengan tata ruang kota.
Rakyat sangat jarang dilatih negara untuk mengembangkan sektor perkebunan atau bagaimana membuat usaha-usaha kecil sesuai perkembangan zaman. Seketika itu, pola pikir masyarakat berubah dan beranggapan bahwa jika terus mengelola tanahnya yang tak begitu menghasilkan keuntungan, maka anak-anak dan kelurganya tidak akan memiliki harapan untuk esok. Akhirnya, petani yang tak mempunyai tanah, yang tak mempunyai keahlian berwirausaha dan mengelola tanah di bidang pertanian, pelan-pelan akan tergusur oleh industri atau lalu menjual tananya dengan alasan biaya hidup.
Maka dibutuhkan sebuah gerakan akar rumput, yang tidak saja menolak kapitalisasi tanah namun juga membuat suatu gerakan petani yang kuat, sebagai tempat berhimpun sekaligus berwirausaha. Sangat perlu pula agenda penyadaran didalamnya agar petani dapat melawan dan bertahan pada zaman modren tanpa harus menjual tanah.
Tanah dan rakyat merupakan salah satu yang tak dapat dipisahkan. Maka itu, negara seharusnya memberikan kedaulatan tanah kepada rakyat bukan pada industri kapitalis tanpa mesti menimbulkan konflik. Pandangan saya, yang memperpanjang konflik adalah negara, dan sudah seharusnya negara menjadikan tanah sebagai prioritas untuk rakyat sesusuai amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 2 (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hidup rakyat bersama tanahnya … !!!
Penulis : Iskandar Wijaya (Aktivis GMNI UHO Kendari)