Juni 30, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

Regulasi CSR Berbasis HAM: Paradigma Baru Tata Kelola Korporasi di Sulawesi Tenggara

4 min read

Regulasi CSR Berbasis HAM: Paradigma Baru Tata Kelola Korporasi di Sulawesi Tenggara

Opini oleh : Jumran, S.IP, Ketua Pusat Advokasi Konsorsium Hak Asasi Manusia, (POSKOHAM) Indonesia.

Di tengah riuh rendah pembangunan yang kerap melaju tanpa jeda, dan di sela desah napas bumi yang mulai sesak oleh ambisi industri, kesadaran baru perlu dibangun, bahwa kemajuan sejati bukan hanya soal pertumbuhan angka, tetapi tentang penghormatan pada harkat manusia. Di sinilah regulasi tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (CSR) di Indonesia termasuk di Sulawesi Tenggara perlu direvisi. Kami menimbang, perlunya simpul baru atas pengelolaan CSR yang ada; dari sekadar etika moral menjadi instrumen hukum yang bernyawa keadilan.

Namun, dalam pembacaan yang lebih dalam terhadap jalinan regulasi dan norma HAM, tampak kekosongan yang menganga—sebuah kekosongan paradigmatik. CSR selama ini lebih banyak berkelindan dalam ranah filantropi dan laporan-laporan formal, namun abai mengakar pada prinsip-prinsip HAM yang seharusnya menjadi nadi dari setiap praktik bisnis yang bermoral dan beradab.

Dari pengamatan terhadap regulasi seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, tampak bahwa kewajiban CSR memang hadir secara legal, namun belum menjejakkan pijakan kokoh pada prinsip HAM sebagai fondasi etik dan hukum. Di sisi lain, Standar Norma dan Pengaturan Komnas HAM Nomor 13 Tahun 2023 memberi arah—seperti cahaya dari mercusuar—yang membimbing korporasi dalam menghormati, melindungi, dan memulihkan hak-hak masyarakat yang terimbas geliat industri.

Begitu pula, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Dalam Negeri Tahun 2012, bersama Permenkumham Nomor 16 Tahun 2024, hadir sebagai fondasi konseptual dan operasional untuk merangkai benang merah antara regulasi daerah dan nilai-nilai HAM yang universal.

Oleh sebab itu, gagasan yang menurut kami mendesak untuk diwujudkan adalah: regulasi CSR berbasis HAM. Sebuah regulasi yang bukan hanya mencatat kewajiban perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan sebagai catatan administratif, melainkan menjadikannya janji hukum yang sahih—yang berpihak pada keadilan, partisipasi, non-diskriminasi, transparansi, dan akuntabilitas.

Gagasan ini berdiri tegak di atas tiga pilar utama, yakni Kewajiban Negara (duty to protect) sebagai penjaga gerbang, negara bertugas mengatur dan mengawasi aktivitas korporasi agar tidak mencederai hak asasi manusia. Tanggung Jawab Korporasi (corporate responsibility to respect) – sebagai pelaku utama, korporasi wajib mencegah, memitigasi, dan memulihkan dampak yang ditimbulkan dan akses terhadap Pemulihan (access to remedy)– sebagai jembatan keadilan, masyarakat harus diberi jalan untuk menggugat dan menuntut haknya yang dirampas.

Regulasi CSR berbasis HAM bukan hanya memperluas spektrum tanggung jawab, tetapi juga mentransformasikan jantung etika bisnis. HAM tak lagi diletakkan di pinggir sebagai tambahan dekoratif, melainkan sebagai roh yang menghidupi seluruh gerak tanggung jawab sosial perusahaan.

Pelanggaran HAM oleh Korporasi: Urgensi Regulasi CSR Berbasis HAM

Gagasan ini tak hadir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari luka-luka yang tercatat di tubuh bangsa. Dari tanah yang direbut, dari suara yang dibungkam, dan dari hak-hak yang terkikis oleh mesin-mesin industri yang berderu tanpa nurani.

Lihatlah kasus Masyarakat Adat Tolaki. Tanah leluhur Walaka Ngginiku tak lagi utuh, digerus oleh proyek strategis nasional. Di balik pembangunan Bendungan Ameroro di Konawe, terselip cerita tentang tanah yang hilang, identitas yang mengalami pengaburan, dan hak yang tak kunjung didengar. Perusahaan konstruksi-konstruksi itu melegitimasi kebijakan pembangunan yang melanggar HAM masyarakat adat dengan menjadi instrumen legal penggerusan tanah dan sumber-sumber penghidupan rakyat. Juga terdapat kasus Sawit di Kalimantan dan Papua, Hutan yang dulu rindang, kini terpangkas sunyi. Korporasi masuk tanpa persetujuan bebas dan diinformasikan sebelumnya (FPIC), dan masyarakat adat hanya menjadi penonton dari kehancuran tanah warisannya sendiri.

Tak hanya itu, Hak Buruh di Kawasan Industri Morosi salah-satunya, di balik produk yang mengisi pasar global, tersimpan kisah kerja lembur tanpa bayaran layak, upah yang tak cukup menyambung hidup, dan hak berserikat yang terus ditekan. Juga dalam kasus Tambang dan Lingkungan, di Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat, sungai berubah menjadi racun. Warga kehilangan akses pada air bersih, pada udara yang segar, pada tanah yang dulu menumbuhkan pangan. Ini bukan sekadar pelanggaran lingkungan, ini adalah perampasan masa depan.

Getirnya, pada salah satu perusahaan sawit di Kabuapten Konawe, tanggung jawab sosial lingkungan perusahaannya disulap sedemikian rupa agar menutupi fakta kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM buruh di dalamnya. CSR yang hanya mengejar pelaporan di atas meja kantor justru menciderai penghormatan terhadap hak-hak asasi buruh dan HAM masyarakat terdampak dibaliknya. Alih-alih mengalokasikan CSR yang akuntabel, adil dan transparan, kriminaslisasi justru terjadi dengan menuntut ganti rugi puluhan miliar kepada siapapun yang menuntut haknya.    

Karenanya, tanpa kerangka hukum yang menempatkan HAM sebagai poros, regulasi CSR akan terus menjadi kosmetik—hiasan manis yang menutup luka, namun tak pernah menyembuhkannya. Maka, dibutuhkan regulasi yang memaksa perusahaan untuk tak hanya menghitung apa yang diberikan, tetapi juga mempertanggungjawabkan apa yang telah dihindari, dicegah, atau diperbaiki.

Untuk diketahui, beberapa tahun terakhir, korporasi semakin sering dilaporkan ke Komnas HAM karena dampak negatif operasionalnya, mulai dari pencemaran lingkungan, perampasan tanah, persoalan ketenagakerjaan seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Sepihak, Pemotongan Upah, Pelarangan Pendirian Serikat Pekerja hingga pelanggaran hak pekerja lainnya (Data Komnas HAM RI). Ini menunjukkan pentingnya isu Bisnis dan HAM sebagai perhatian utama perusahaan-perusahaan itu.

Dengan HAM sebagai peta moral dan hukum, setiap studi kelayakan bisnis harus dimulai dari pertanyaan: siapa yang bisa terdampak, dan bagaimana hak-haknya dilindungi? Maka keadilan tak lagi menjadi wacana, melainkan praktik nyata yang berpijak di bumi, menyentuh manusia.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *