GELANGGANG SENIMAN MERDEKA
4 min read
GELANGGANG SENIMAN MERDEKA
Nama Chairil Anwar mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun 1943. sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan baru dalam puisi. Karena sifatnya yang invidual dan bercorak ke Barat, ia banyak mengejek seniman – seniman di kantor pusat kebudayaan pada zaman Jepang.
Chairil Anwar lahir di Medan (Sumatera Utara) 26 Juli 1922, ). Sejak kecil ia
sudah menampakkan diri sebagai siswa yang cerdas dan berbakat menulis serta
menguasai tiga bahasa asing yaitu Belanda, Inggris, dan Jerman secara aktif. Dan kelak, penguasaanya terhadap tiga bahasa asing itulah yang mengantarkan Chairil pada karya-karya sastrawan dunia sebagai referensi yang berhasil disadur dan diterjemahkan.
Keberhasilannya menyadur dan menerjemahkan karya puisi atau cerpen Andre Gide, Jhon Steinbeck, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway, WH Auden, Conrad Aiken, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Archibal Macleish, Willem
Elsschot, H. Marsman, Edgar du Perron, J. Slauerhoff, dan lain-lain telah menyudutkan Chairil sebagai plagiator, penyadur, atau penerima pengaruh berat dari karya-karya itu.
Tiga kumpulan puisi Chairil, yaitu Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas Putus (1949), atau Tiga Menguak Takdir (1950) — kumpulan
puisi bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Apin — merupakan sejumlah puisi yang selama bertahun-tahun hidup dan memompakan antusiasme dalam sejarah sastra Indonesia, sekaligus referensi, yang telah memasuki lubuk teks dunia pendidikan dan bidang kajian penelitian sastra. Chairil juga menjadi bagian tersendiri dalam kajian atau penelitian mengenai sastra yang ditulis sastrawan.
Dia telah mampu mengilhami kita untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan estetika dalam bahasa Indonesia yang penuh tenaga. Puisi pertama yang ditulisnya berjudul “Nisan” yang dibuat saat ia usia dua puluh dua tahun. Adapun puisi tersebut berbunyi,
“Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaan menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta”
Puisi ini dibuat saat Chairil menghadapi kematian neneknya. Menurut Arief
Budiman, bagi Chairil kematian yang datang mendekat melalui neneknya ini membuat dia melihat tidak berdayanya manusia menghadapi sang maut. Hal itu membuat Chairil melihat kehidupan dalam warna yang lain. Kematian tampaknya
harus dihadapi sebagai seorang individu yang sendirian.
Kepenyairan Chairil ditutup dengan puisi “Derai-derai Cemara”. Puisi ini merupakan semacam kesimpulan yang diutarakan dengan sikap yang sudah mengendap, yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari gejolak masa lampau. Adapun lengkapnya puisi ini
sebagai berikut :
“cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah lama bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tidak bisa diucapkan sampai akhirnya kita menyerah”
Terjemahan puisinya ke dalam bahasa Inggris adalah Selected Poem of Chairil
Anwar (1962) dan The Complete Poems of Chiril Anwar (1970) oleh Burton Raffel, The Complete Poem of Chairil Anwar (1974) oleh Liauw Yock Fang, dan dalam
bahasa Jerman Freur und Asche oleh Walter Karwath.
Chairil sempat bekerja menjadi redaksi majalah Gema Suasana (1948). Ia
hanya bertahan selama tiga bulan di sana (Januari—Maret ), kemudian ke luar dan bekerja di mingguan Berita Siasat. Di sana ia menjadi anggota redaksi ruang
kebudayaan Gelanggang bersama Ida Nasoetion, Asrul Sani dan Rivai Apin. Dia
salah seorang pemikir yang memberi kontribusi pada lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang.
Selepas merdeka ia banyak mengumumkan puisi-puisi yang menurut Ajip Rosidi memberikan sesuatu yang baru dan bernilai tinggi. Sajak-sajaknya tidak
seperti sajak Amir Hamzah, penyair yang berasal dari generasi sebelumnya yang
dikenal “Raja Penyair Pujangga”. Akan tetapi berbicara kebaruan ini pula yang membuat Chairil ditentang dan ditolak kehadirannya oleh beberapa pihak termasuk Sutan Takdir Alisjahbana. Ia menulis bahwa pada dasarnya tidak terdapat perbedaan angkatan-angkatan sebelum dan sesudah perang.
Dengan kata lain, STA tidak mengakui adanya perbedaan antara Angkatan Pujangga Baru dan angkatan dikemudian hari dikenal sebagai Angkatan 45. Pendapat ini didukung oleh Sanusi Pane yang mengatakan bahwa Angkatan 45 hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh Angkatan Pujangga Baru.
Namun, setelah mengumumkan karya-karyanya segera Charil mendapatkan pengikut, penafsir, pembela dan penyokong. Dalam bidang penulisan puisi muncul para penyair seperti Asrul Sani, Rivai Apin, Dodong Djiwapradja, S. Rukiah, Waluyati, Harjadi S. Hartowardoyo, Muh. Ali dan lain-lain. Dalam bidang penulisan prosa, Idrus memperkenalkan gaya menyoal baru yang segera pula mendapat pengikut yang luas.
Pertengahan 1942 atas usaha Chairil Anwar bertemulah sejumlah seniman antara lain Asrul Sani, Baharudin, Basuki Resobowo, Henk Ngantung, Rivai Avin, M. Akbar Djuhana, Mochtar Apin, dan M. Balfas, untuk merealisasikan pendirian
perkumpulan kebudayaan (kunstrkring) Gelanggang Seniman Merdeka. Pada 19
November 1946, lahirlah preambul Gelanggang. Perkumpulan ini kemudian
mengklaim diri sebagai Generasi Gelanggang dan memiliki rubrik “Gelanggang” di majalah Siasat yang dipimpin Rosihan Anwar.
Dalam preambul Anggaran dasarnya itu, dinyatakan bahwa Generasi Gelanggang lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Preambul tersebut dipertegas dengan terbit antologi puisi yang diterbitkan oleh Chairil Anwar, Rivai Avin, dan Asrul Sani yang berjudul Tiga Menguak Takdir (1949). Kumpulan puisi tersebut menolak konsep Sutan Takdir Alijahbana yang cenderung menatap Barat secara membabi buta.
Melihat kenyataan-kenyatan tersebut banyak orang menganggap telah lahir
angkatan Baru. Rosihan Anwar dalam majalah Siasat edisi 9 Januari 1949 mengenalkan isitilah angkatan 45 kepada generasi gelanggang tersebut. Nama – nama lain yang ditawarkan berbagai pihak adalah Angkatan Kemerdekaan,
Angkatan Charil Anwar, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Pembebasan, dan
Generasi Gelanggang.
Konsep kepengaranganan mereka di rumuskan dalam surat terbuka yang diberi nama Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) disusun oleh Asrul Sani 18 Februari 1950, setahun setelah kematian Chairil Anwar.