LESTARI BUDAYA

Oktober 6, 2024

SUARA AKAR RUMPUT

Melihat dari Dekat Deklarasi JAKER Konawe

6 min read

Pengunjung masih hitung jari ketika acara deklarasi Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) Konawe dimulai, pada Jumat 21 Agustus 2020 di Mbakoy Coffee, Unaaha, Konawe, Sulawesi Tenggara. Pemandu acara membukanya dengan salam, standard umum dalam sebuah pagelaran, di mana pun saya kira.

Semula, saya tak banyak berharap deklarasi itu akan berjalan ramai, hiruk pikuk–atau apalah, untuk sebuah alasan sederhana bahwa, terutama, hingga pukul delapan malam, tempat itu masih juga demikian melompong. Ngaret, tampaknya, masih jadi budaya yang khas buat Indonesia, atau setidaknya di wilayah Timur-nya. Beberapa memang datang lebih awal, tetapi kawan-kawan belaka dari komunitas budaya, seni dan sastra di Kendari. Rumah Andakara, salah satunya.

Dan demikianlah satu-dua pengunjung berdatangan, memenuhi kursi kosong, persis ketika bagian paling menyebalkan dalam sebuah acara berjalan: sambutan-sambutan.

Pembentukan Jaker Konawe ini pada mulanya diikhtiari oleh Kamerad Jum, demikian saya memanggilnya setengah bercanda. Ia pemilik situs ini, “Suara Pinggiran”–tempat Anda sekarang membaca “Melihat dari Dekat Deklarasi Jaker Konawe”.

Buat saya, Jum orang yang ulet, cekatan dan sabar, sekalipun di sekali waktu Anda bisa menemukannya mengeluh tentang banyak hal. Tapi lebih sering menyangkut hilangnya kepekaan orang-orang di sekitar ihwal yang berbau kemanusiaan, budaya dan sastra. Untuk soal ini, saya menyimpulkan ia terlalu keras kepala untuk menerima bahwa alam semesta tidak pernah bergerak atas kehendak seorang manusia, apalagi kehendaknya belaka.

Meski saya se-Kabupaten (Kabupaten Konawe) dengannya, Jum, perjumpaan kami pertama kali justru dijembatani media sosial. Bermula komentar-komentar pendek, seperti dua sejoli muda-mudi, hingga saling bertukar nomor ponsel. Demikianlah suatu ketika ia membicarakan perihal Jaker Konawe ini.

Terus terang, saya ogah awalnya. Membayangkan mengasuh organisasi yang kesekian kali di usia yang telah “segini”, saya merasa sudah bukan waktunya, terutama di fase ketika saya sedang terlena memimpikan masa depan yang bagus biar calon Ibu Mertua tak pandang sebelah mata, sekalipun sesungguhnya yang saya kerjakan lebih banyak istirahat dan sedikit bekerja. Pada titik ini, Jum berupaya meyakinkan saya. Dan entahlah, sesungguhnya saya tak begitu mengerti apa motivasinya sebagaimana saya tak mengerti mengapa akhirnya menyatakan diri terlibat.


Yang Awal, Singkat

Jaringan Kerja Kesenian/Kebudayaan Rakyat dibentuk pada tahun 1993 oleh nama-nama yang tak lagi asing terdengar. Widji Thukul, Moelyono, Semsar Siahaan, dkk. Sebab keberadaan dewan-dewan kesenian di kota besar tidak cukup, untuk tidak menyebutnya sebagai ketaksanggupan, dalam menjawab tuntutan kekaryaan pekerja seni di kampung-kampung, itulah yang kemudian menjadi agenda utama dari keberadaan Jaker.

Minat utama Jaker adalah sastra, seni, filsafat, agama dan budaya tentu saja, baik dalam pemikiran-cipta, maupun dalam karya-cipta.

Pembentukan Jaker ini tentu saja lebih karena dipengaruhi oleh situasi perekonomian rakyat yang kian mencekik. Tahun-tahun itu adalah masa-masa terkelam bagi Indonesia persis di sepanjang rezim Orde Baru.

Di masa-masa yang mencekik itu, ketika semua elemen mulai melibatkan diri dalam panggung-panggung kritik, baik mahasiswa maupun kaum miskin kota, seniman atau pekerja seni justru masih terlibat dalam kesibukan hariannya berkarya secara individu.

Kegelisahan inilah mulanya. Kesadaran kolektif kemudian digalakkan di antara para seniman dan pekerja seni. Membangun kerja-kerja secara masif dan solid. Peristiwa Kudatuli, atau “Sabtu Kelabu” pada 27 Juli 1996, menyeret Jaker sebagai dalang kerusuhan. Untuk alasan itulah, panggung-panggung kritik dijalankan dari bawah tanah. Poster, paper dan selebaran terus disebar.

Selepas pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998, Jaker akhirnya kembali menampilkan diri secara terang-terangan. Perjuangan rakyat tertindas tentu saja tidak berhenti. Panggung-panggung kritik tetap dihelat di banyak tempat, terutama demi memastikan budaya demokrasi tetap pada jalurnya sebagaimana amanat konstitusi. Dan hingga sekarang, Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat telah tersebar di banyak kota di Indonesia.


Tiga hari menjelang deklarasi, Selasa 18 Agustus 2020, kami menghelat rapat dengan kesimpulan akan diadakan sejenis pergelaran kecil, di antaranya penampilan sastra lisan Moanggo dan Kinoho–khas dari etnik Tolaki, suku terbesar yang bertempat di semenanjung tenggara bagian Sulawesi. Keduanya akan dibawakan langsung oleh Ketua Komunitas Masyarakat Adat Wonua Ndinudu, Ajemain Suruambo, dan Ketua Komunitas Masyarakat Adat Wonua Ndiniso, Abdul Sahir.

Moanggo, atau Anggo, pada hakikatnya adalah sebuah teks sastra lisan (sejenis kidung?) yang dilantunkan penuturnya. Ketika melantunkan, penutur akan melihat pada situasi apa ia bertutur. Maka tema yang ia angkat adalah situasi yang terjadi tersebut. Bagi seorang penutur, untuk menyanyikan sebuah anggo, tidak mutlak harus menghapal lebih dulu syair-syair yang hendak dilantunkan. Anggo mengalir sendiri disesuaikan dengan keadaan atau situasi yang sedang dikerjakan. Misalnya saat membuka lahan baru, atau mosalei (Rahmawati, 2007:131).

Seperti halnya Moanggo, Kinoho juga adalah sebentuk sastra lisan dalam khazanah bangsa Tolaki. Dalam Nilai dan Makna Moanggo pada Orang Tolaki di Sulawesi Tenggara, penelitian Sitti Amminah, ia menyebutkan, Kinoho adalah pantun yang disampaikan dalam berbagai kesempatan. Kinoho menggambarkan pujian, cemoohan, dan sindiran yang ditujukan kepada seseorang, baik lawan jenis di kalangan muda-mudi maupun di kalangan orang-orang tua.

Ini persis apa yang disampaikan Ajemain Suruambo dalam menampilkan Kinoho-nya. Ia menyebutkan Kinoho adalah jalan lain untuk menyampaikan sindiran, pujian maupun cemoohan melalui kendaraan pantun, kinoho itu.

Pertanyaan sederhana, apa yang hendak disampaikan Jaker melalui pergelaran kecil itu– penampilan sastra lisan Moanggo dan Kinoho? Yang utama, saya kira, di semua bangsa-bangsa di Indonesia, tradisi kelisanan hampir pasti mengalami dekadensinya, untuk tidak menyebutkan sebagai tanda kematiannya.

Keadaan ini memang mengkhawatirkan. Bukan menaruh kesalahan di satu pihak sebagai penyebab fenomena ini terjadi, tetapi fakta bahwa tidak adanya “badan pemerintah” yang, katakanlah menjaga eksistensi budaya, saya kira tak salah untuk mengatakan bahwa kemunduran ini akan selalu menyeret nama kekuasaan.

Ada banyak jalan menuju Roma. Memang, dan itulah satu dari upaya yang Jaker Konawe lakukan, dan juga sekian dari kegelisahan awal hingga Jaker Konawe memutuskan segera mendeklarasikan diri. Tentu saja upaya ini terdengar kecil. Atau anggaplah ia hanya akan jadi sejenis seremonial belaka. Tapi, saya kira, bukankah optimisme harusnya tetap ditumbuhkan sekalipun di ladang yang telah tergusur?

Apa setelah Deklarasi?

Tentu saja banyak hal yang Jaker mimpikan, bicarakan, sebagaimana Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat ini memang meminati banyak hal, pada filsafat, seni, sastra, agama dan tentu saja budaya.

Sulit, memang, untuk melaksanakannya satu-satu secara berkala dan tanpa hambatan. Terutama karena kerja-kerja kebudayaan adalah kerja-kerja yang tidak gampang. Artinya, akan ada banyak hal yang dikorbankan, terutama perasaan. Apalagi, sebagai individu, tentu saja ada keinginan yang sekali waktu pasti bertabrakan dengan kepentingan organisasi.

Yang terdengar gampang tetapi sesungguhnya sulit dari menjalankan roda organisasi tentu saja memastikan penopangnya kuat: kepeng. Bagaimanapun, seideal-idealnya sebuah mimpi, kecil maupun besar, pada akhirnya ia akan bersentuhan dengan kepeng. Sebuah hal yang tak terhindarkan bukan saja menyangkut kerja-kerja organisasi.

Tentu saja, atas kesadaran itu, dengan kecerdikan yang ada, pelan-pelan, sebagai langkah awal terutama, Jaker membuka jasa kaus lukis. Beberapa kaus telah selesai dan disebar. Sebagian pemesan meminta gambar-gambar tertentu. Tapi yang utama ditawarkan Jaker adalah tokoh-tokoh publik. Pahlawan nasional maupun daerah dan beberapa aktivis yang hilang.

Kaus lukis ini, tentu tidak sesederhana sebagai wacana pencarian kepeng belaka. Di baliknya, ada propaganda budaya tanding (kedaerahan dan keIndonesiaan) terhadap keberlimpahan karya kapitalis yang sedikit demi sedikit mengusai segala sektor. Dari budaya, tradisi hingga produk atau brand tertentu.

Kita tahu, budaya yang kian tergerus ini, selain dari absennya “badan pemerintah” sebagaimana yang saya maksud di muka, juga dipengaruhi oleh sikap kita yang “terlalu terbuka” terhadap brand-brand ternama yang dikendarai kapitalisme. Meminjam istilah yang sering diucapkan Kamerad Jum, sebagai akibat dari “asimilasi budaya”.

Sikap itu, bagaimanapun, selain menggerus eksistensi kebudayaan juga dapat menihilkan kemungkinan tercapainya Trisakti Bung Karno, “Berdaulat dalam politik”, “Berdikari di bidang ekonomi”, dan “Berkepribadian dalam kebudayaan”. Kita tentu tahu bahwa, bagaimanapun, budaya itu tidak menetap. Ia berkembang. Tapi melihat budaya sendiri dilindas “gaya baru” tanpa berupaya merawatnya dengan jalan, apa pun itu, rasa-rasanya kita sedang merayakan satu kemunduran dengan gaya yang baru pula.

Selain memastikan kepeng–sebagai modal awal untuk menjalankan kerja-kerja organisasi–Jaker Konawe juga mulai membangun komunikasi dan jejaring pada kelompok dan komunitas-komunitas serta individu. Tak ada batasan. Jauh daripada itu, Jaker Konawe bermaksud untuk hadir sebagai “panggung” bagi siapa pun, terutama rakyat di pelosok yang tak tersentuh elite-elite kebudayaan dan kesenian di kota-kota besar.

Selama ini, terutama berkhidmat pada sejarah pendirian Jaker, keberadaan dewan-dewan atau elite-elite kesenian dan kebudayaan sesungguhnya tak pernah menyentuh hingga ke lapisan terbawah. Tak ada upaya untuk meradikalisasi kebudayaan dan kesenian menjadi milik semua.

Keberpihakan Jaker Konawe pada akhirnya memang akan terlihat. Bukan pada kelas-kelas besar, tentu saja. Juga bukan pada kelompok dan “aliran” tertentu. Jaker Konawe sekali lagi berikhtiar untuk hadir sebagai “panggung” terbuka untuk siapa pun. Seperti yang diucapkan penyair Jerman, Bertolt Brecht, “Setiap orang adalah seniman, setiap tempat adalah panggung”.

Konawe, 21 Agustus 2020
Pangga Rahmad, Ketua Jaker Konawe

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *