LESTARI BUDAYA

Februari 15, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

Tersingkap, Dugaan Mafia Tanah pada Mega Proyek Bendungan Ameroro, Disebut Melibatkan Oknum Petinggi Pemerintahan

2 min read

Suara Pinggiran, Konawe

Diketahui, Bendungan Ameroro di Kabupaten Konawe mulai dikerjakan pada Desember 2020 dengan pembiayaan bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) senilai Rp 1,428 triliun.

Bendungan Ameroro yang berlokasi di Kecamatan Uepai ini dibangun guna menambah layanan daerah irigasi seluas 3.363 Ha yang mana sebelumnya hanya sebesar 1.903 Ha.

Selain itu, bendungan ini juga berperan sebagai pemenuhan air baku sebesar 511 liter per detik. Dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTM) sebesar 1.3 megawatt dan sebagai pengendali banjir di Kabupaten Konawe sebesar 443 m3/detik.

Meski telah rampung dikerjakan akhir tahun 2023 lalu, pelaksanaan ganti rugi dampak sosial atas pembangunan bendungan itu justru menyisakan persoalan serius. Proyek Bendungan Ameroro sebagai salah satu dari total 16 Proyek Strategis Nasional (PSN) itu diduga kuat menjadi modus tindakan oknum-oknum mafia tanah untuk mengeruk keuntungan dibaliknya.

Pasalnya, Mega proyek itu pada satu titik dibangun diatas lahan adat berupa dataran penggembala kerbau atau “Walaka Ngginiku” milik Almarhum H. Hasan atau yang lebih dikenal dengan nama H. Puo-Puo. 

Meski telah dilakukan proses ganti rugi tanaman tumbuh diatasnya, sejumlah penerima kompensasi itu disebut bukanlah ahli waris dan penerima hak yang sebenarnya. Dugaan Manipulasi itu dilakukan oleh dua oknum kepala desa setempat dengan modus Surat Keterangan Lahan Garapan.

“Padahal fakta yang sesungguhnya lahan tersebut adalah Walaka Ngginiku yang diakui keberadaannya sejak dahulu hingga saat ini, sehingga nama-nama yang dimasukkan dan diumumkan sebagai penerima konpensasi dampak sosial bukanlah pemilik lahan dan tanaman yang sesungguhnya” terang Muhammad Azhar, kuasa hukum ahli waris lahan Walaka Ngginiku kepada Suara Pinggiran (26/04/2024). 

Ia menegaskan, nama-nama penerima ganti rugi tersebut telah direkayasa dengan membuat keterangan palsu yang dikeluarkan oleh pemerintah desa dan turut diketahui resmi oleh beberapa pejabat terkait dan oknum petinggi Pemerintah Kabupaten Konawe. 

Lebih rinci, Muhammad Azhar juga menyebutkan batas-batas lahan Walaka Ngginiku tersebut dimana sebelah utara lahan penggembalaan tersebut berbatasan dengan kali, sedang sebelah selatan, barat dan timur masing-masing berbatasan dengan gunung dengan luasan kurang lebih 200 ha. 

Walaka Ngginiku tersebut lanjutnya, memiliki alat bukti berupa makam tua penjaga kebun H. Hasan atau H. Puo-Puo bernama We Oloho (Keluarga Bapak Rasyid) yang diketahui merupakan orang kepercayaan beliau. Pula terdapat rumah dan tanaman lainnya di lokasi tersebut sebagaimana ciri khas dari keberadaan tanah penggembalaan kerbau pada masyarakat Suku Tolaki. 

Selain itu, Walaka Ngginiku turut diperkuat dengan surat-surat berupa Surat Keterangan Kepemilikan Tanah Warisan Walaka Ngginiku Nomor 593/5/DA.1998 oleh Pemerintah Desa Ameroro Kecamatan Lambuya serta Surat Rekomendasi Nomor : 07/DPD-LAT/I/2016 oleh Dewan Pengurus Pusat Lemabaga Adat Tolaki (LAT) Sulawesi Tenggara.

Kepada suarapinggiran.com, Muhammad Azhar menerangkan pihak saat ini tengah melakukan pendalaman kasus untuk kepentingan tindakan hukum selanjutnya serta telah mengisi formulir pengaduan untuk dilayangkan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komanas HAM) Republik Indonesia melalui Pusat Advokasi Konsorsium Hak Asasi Manusia (POSKOHAM) Sulawesi Tenggara. 

“Saat ini kami sedang melakukan telaah guna tindakan hukum lebih lanjut atas berbagai indikasi perbuatan melawan hukum formil yang terjadi dalam pelaksanaan penanganan dampak sosial seputar mega proyek Bendungan Ameroro ini, kami juga akan mengirim pengaduan ke Komnas HAM melalui pihak PoskoHAM” Tutupnya. (*)

Laporan : Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *