Alunan Tua, Dari Para Tetua
2 min readNada itu mengalun lembut, sesaat senja di kampung ini serasa berjalan mundur ke ribuan tahun yang lalu. Membuka lembar-lembar kehidupan para tetua di dalam gua.
Dimba-Dimba Nggowuna, demikian alat musik tradisional ini diberi nama. Berbahan batang bambu yang berukuran kurang lebih 40 cm hingga oleh kreatifitas tangan-tangan nenek moyang itu kemudian terdengarlah nada-nada unik dan khas dari petikan di antara sembilu-sembilunya.
Belum jelas sejak kapan alat musik tradisional ini digunakan di lingkungan masyarakat adat Tolaki di jaman dahulu, namun dari bentuknya diduga alat musik yang dikenal dengan sebutan Dimba-dimba Nggowuna ini digunakan ketika terdapatnya kultur Neolitikum yang berkembang di nusantara sampai pada awal penanggalan modern. Karenanya, besar perkiraan alat musik ini merupakan bagian dari relik pra-hinduisme dalam kebudayaan nusantara, sekitar abad ke 12 sampai 16 sebelum masehi.
“Diperkirakan alat musik ini adalah alat musik tertua yang berumur sekitar kurang lebih 500 tahun sebelum masehi, dan alasannya cukup jelas, sebab pada masa itu para leluhur belum mengenal tembaga atau sejenisnya untuk dijadikan senar atau dawai seperti pada gambus atau kecapi” tukas Ajemain Suruambo, Ketua Komunitas Adat Wonua Ndinudu kepada Suara Pinggiran beberapa waktu lalu (02/03) di Parauna, Kabupaten Konawe.
Dilihat dari bentuknya, Dimba-dimba Ngowuna ini menyerupai alat musik tradisional Jawa Barat yakni Celempung dan Kerinding yang terbuat dari hinis bambu dan dimainkan dengan cara dipukul. Seperti pada kedua alat musik itu, petikan pada hilis bambu akan menghasilkan resonansi bunyi. Alat musik Dimba-dimba ini dimainkan dengan cara dipetik pada dua alur hilis secara bergantian tergantung pada ritme dan suara yang diinginkan serta diolah dengan telapak tangan kiri yang berfungsi mengatur besar kecilnya suara yang keluar pada liang bambu.
Sayangnya, seperti apa yang dikeluhkan Abdul Sahir, Ketua Komunitas Adat Wonua Ndiniso Parauna, alat musik tradisional khas suku Tolaki ini belakangan hampir dikatakan punah. Pasalnya, kebudayaan modern telah dengan perlahan menggerus kebudayaan dan kearifan lokal yang sarat dengan manfaat dan kemuliaan.
“Budaya modern atau budaya barat sudah membuat kebudayaan lokal kita tenggelam, padahal nenek moyang kita telah menitipkan pesan-pesan arif dan bijaksana untuk kita bisa hidup dengan lebih tenang disaat sekarang dan nanti” ujarnya, sembari sesekali memetik alat musik petik tua itu untuk didengarkan kepada jurnalis SUPI.
Melalui komunitas adat yang digagas bersama dengan komunitas adat Wonua Ndinudu Meluhu itu, Abdul Sahir yang juga pengrajin miniatur rumah adat tolaki ini berharap generasi muda dapat tersentuh hati untuk melestarikan budaya Tolaki dan mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan diri dimanapun berada, terlebih bagi mereka yang berada dalam komunitas ini. Sebab modernisasi yang saat ini terus berjalan, ternyata juga menyisakan ancaman bagi kepunahan kebudayaan lokal. Tidak terkecuali Kebudayaan Suku Tolaki.(*jm)