Pesan Kearifan Dalam “Mombatani”
2 min readsuarapinggiran.online_ Kearifan lokal daerah, banyak tersirat dari kebiasaan dan adat istiadat etnis tertentu.
Warisan budaya leluhur itu memberikan gambaran penting tentang nilai-nilai ideal yang mesti selalu dijunjung tinggi dalam kehidupan. Upaya pelestariannya juga dilakukan masyarakat dengan berbagai metode, termasuk tarian.
Di Kabupaten Konawe dengan berbagai etnis di dalamnya, Pelestarian Budaya melalui tarian itu digelar pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk memicu kepedulian dan kreatifitas generasi muda. Meski tidak begitu rutin, event event ini setidaknya mengambil peran positif untuk kepentingan itu.
Mombatani, salah satu tarian tradisional dari etnis Tolaki misalnya, sering menjadi tarian yang selalu diperlombakan. Mombatani adalah tarian yang bercerita tentang aktivitas petani sawah ladang dengan tahapan-tahapan bercocok tanam yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan sekitar.
“Tarian Mombatani itu bercerita tentang petani sawah ladang, didalamnya ada tahapan-tahapan yang biasa dilakukan orang tua dulu dalam menjalankan aktifitasnya sebagai petani” ungkap Drs. Tanggapili, Kepala Sekolah SMAN1 Amonggedo yang melatih siswa- siswinya hingga menjuarai lomba tarian dibeberapa event.
Dalam wawancara dengan SUPI di Ruangannya (20/5) beberapa waktu lalu, Tanggapili menjelaskan detail gerakan tarian ini sesuai kebiasaan leluhur dalam bertani sawah ladang. Dimulai dengan ritual untuk meminta isin dan tolak bala, kemudian “Mondau” atau membersihkan lahan, “Motasu” atau menugal dan terakhir “Modinggu” atau menumbuk biji padi, kesemuanya disatukan dalam sebuah tarian.
Di tempat berbeda, Nasrun,S.Sos, Pimpinan Yayasan Media Kalosara Indonesia lebih jauh becerita tentang hal ini dalam wawancara di ruang kerjanya (25/5). Menurutnya, leluhur memiliki tingkat penghargaan yang sangat kental terhadap lingkungan. Hutan tidak begitu saja dirusak untuk kepentingan sesaat pribadi atau sekelompok orang. Dalam kebiasaan berladang itu juga, pendahulu tidak begitu saja menebang pohon kecuali masih berumur muda, dan untuk menghindari kerusakan atau gundulnya hutan setelah ladang itu digunakan, mereka kemudian menanaminya dengan tanaman jangka panjang.
“pendahulu kita dulu sangat arif terhadap lingkungan, lingkungan dihargai sama seperti kehidupan lainnya, pohon-pohon di hutan tidak begitu saja ditebang kecuali masih berumur muda dan memang untuk kepentingan bersama mayarakat setempat, setelah panen ladang itu ditanami tanaman jangka panjang seperti kelapa, pohon durian, pohon pinang, semacam reklamasi” ujarnya.
Nasrun juga begharap, tarian-tarian yang berkisah tentang kebiasaan pendahulu ini tidak hanya dinikmati dan dimaknai secara estetis saja, tetapi dapat juga dijadikan referesi kebudayaan yang memberikan sumbangan terhadap pengetahuan dan pengalaman untuk menjalani kehidupan dan mengelola lingkungan secara lebih bijak. (*JA)