Bedah Karya : “GAZALUKA YANG KALIAN ABAIKAN”
4 min read
Bedah Karya
“GAZA
LUKA YANG KALIAN ABAIKAN”
Ilhamdi Sulaiman
Oleh: Rizal Tanjung
Ilhamdi Sulaiman, dikenal sebagai aktor dan deklamator tangguh di dunia seni pertunjukan, memperlihatkan bahwa kemampuan bersuara dan bertindak tidak terbatas pada panggung atau layar, tetapi juga menjangkau ruang batin kolektif kemanusiaan. Puisinya, “Gaza adalah Luka yang Kalian Abaikan”, bukan sekadar teks sastra, melainkan manifestasi dari rasa malu atas diam yang berkepanjangan terhadap tragedi kemanusiaan di Palestina.
Tema dan Makna
Puisi ini mengangkat tema utama: kemarahan moral terhadap ketidakadilan global dan kebungkaman dunia terhadap penderitaan rakyat Gaza. Kalimat “Aku hanya ingin menjadi manusia yang memanusiakan manusia” menjadi deklarasi paling penting dalam puisi ini. Ia mengandung penolakan terhadap narasi militeristik dan propaganda politik yang menjadikan manusia sekadar pion.
Struktur dan Gaya Bahasa
Puisi dibangun dengan gaya naratif-retoris. Kalimat seperti “Jangan paksa aku menyandang Ak.” adalah bentuk elipsis yang menggambarkan penolakan terhadap kekerasan—“Ak” (singkatan dari AK-47) di sini digunakan sebagai simbol perang. Gaya tanya retoris hadir kuat dalam bagian:
“Bagaimana kami melawan / jika kami punya hanya batu / sedang kalian punya besi / dan Kekuasaan?”
Bagian ini menjadi kritik langsung terhadap ketimpangan kekuatan antara Palestina dan pihak penindas.
Metafora sangat kuat pada baris:
“Malam kami adalah layar gelap berkilat rudal, guncangan tanah dentuman meriam.”
yang menggambarkan realitas tragis bahwa malam bukan lagi waktu untuk istirahat, tapi medan kehancuran.
Simbolisme dan Kritik Sosial
Sajak ini sarat simbolisme. “Ibu tak memanggul senjata, di punggung mereka mengendong harapan” menegaskan bahwa korban adalah manusia biasa, bukan milisi atau ekstremis seperti kerap dituduhkan. Baris ini penting dalam resensi karena menolak stigmatisasi global terhadap rakyat sipil Palestina.
Demikian pula dengan kalimat:
“Kami tak butuh simpati, kami butuh keberanian kalian untuk menyebut ini kejahatan.”
Kalimat ini menggeser harapan dari sekadar empati pasif menuju aksi dan keberpihakan moral.
Penguatan oleh Kutipan Religius
Ilhamdi menyisipkan kutipan dari QS Al-Hujurat: 13 sebagai fondasi moral dan spiritual puisi ini. Kutipan ini bukan untuk mendakwahkan agama, melainkan untuk mengingatkan universalitas pesan: bahwa manusia diciptakan untuk saling mengenal, bukan saling membunuh.
“Tapi kalian malah saling membunuh, tanpa sempat mengenal wajah satu dari saudara lainnya.”
Inilah bait yang menghubungkan kegagalan etika global dengan tragedi Gaza.
Judul sebagai Afirmasi dan Tuduhan
Judul puisi, “Gaza adalah Luka yang Kalian Abaikan”, adalah tuduhan kolektif kepada dunia, termasuk kepada pembaca itu sendiri. Kata “luka” menandakan penderitaan yang belum sembuh; sedangkan “kalian abaikan” menunjukkan dosa bersama atas kelalaian, kemunafikan, atau ketidakpedulian.
Catatan pengarang: Konteks Emosional dan Historis
Dalam catatan pengarang, Ilhamdi menegaskan bahwa puisinya bukan lahir dari keheningan, tapi dari “jeritan yang tak terdengar”. Kalimat:
“Aku menulis ini bukan karena aku penyair, tapi karena aku manusia.”
menjadi pernyataan kuat bahwa puisi ini bukan karya estetik semata, tapi tindakan etis.
Puisi ini bukan hanya layak dibaca, tapi juga dihidupi.
Ilhamdi Sulaiman menunjukkan bahwa peran seorang aktor dan deklamator bisa menjadi suara untuk yang tak terdengar. Kalimat-kalimat dalam puisinya mencerminkan penderitaan yang personal sekaligus universal. Ia tidak mengajak untuk bersimpati, tapi untuk bertindak dan berpihak.
Kalimat-kalimat Kunci dalam Resensi:
“Aku hanya ingin menjadi manusia yang memanusiakan manusia.”
“Bagaimana kami melawan jika kami punya hanya batu sedang kalian punya besi dan Kekuasaan?”
“Ibu tak memanggul senjata, di punggung mereka menggendong harapan.”
“Kami tak butuh simpati kami butuh keberanian kalian untuk menyebut ini kejahatan.”
“Gaza bukan angka algoritma. Gaza adalah luka yang kalian abaikan.”
“Aku menulis ini bukan karena aku penyair, tapi karena aku manusia.”
Sumatera Barat,2025.
Bionarasi Rizal Tanjung
Rizal Tanjung, seniman dan budayawan kelahiran Padang, 5 Februari 1959, merupakan sosok penting dalam dunia teater dan kebudayaan Sumatera Barat. Menyelesaikan pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Padang, Rizal memulai perjalanan kesenian sejak tahun 1975, dan pada 1979 mendirikan grup teater Moeka, yang kemudian bertransformasi menjadi Old Track Teater pada tahun 2004. Di bawah arahannya sebagai sutradara, lebih dari 60 judul naskah drama telah dipentaskan di berbagai provinsi Indonesia, menegaskan kiprahnya sebagai motor penggerak teater daerah yang berpijak pada akar budaya namun terbuka pada pembaruan.
Selain sebagai sutradara, Rizal juga dikenal sebagai penulis aktif di berbagai media lokal dan nasional, menghasilkan karya berupa naskah lakon, cerpen, cerbung, puisi, artikel kebudayaan, hingga makalah pengembangan kesenian tradisional dan kontemporer. Beberapa karya lakon ciptaannya yang menonjol antara lain Sandiwara Sandiwara, Minus I, Minus Adab, Melody, Kaco Batuang, Sutan Lanjuangan, Harimau Agam di Negeri Cina, Trilogi Asal Usul Danau Maninjau, Syair dan Melody, Sang Pemimpin, Ruang Hampa, serta sebuah kaba berjudul Cinto Dilarai dek Kurambiak.
Kiprahnya juga meluas dalam bidang kelembagaan seni. Ia menjabat sebagai ketua Teater Moeka Padang, ketua Lembaga Kesenian Old Track, ketua Lembaga Pendidikan Sekapur Sirih, ketua Forum Komunikasi Media Tradisional (FK-METRA) Padang, serta pengurus Lembaga Bumi Kebudayaan. Ia juga pernah menjadi bagian dari Dewan Kesenian Sumatera Barat dan Dewan Kesenian Padang.
Sebagai narasumber, dewan juri, pengamat, dan kurator, Rizal Tanjung kerap bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintah seperti Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan, Dinas Kominfo, UPTD Taman Budaya, hingga perguruan tinggi dan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK). Karya dan dedikasinya menjadikan Rizal Tanjung sebagai salah satu tonggak kebudayaan Minangkabau kontemporer yang konsisten merawat tradisi, sembari terus menggali kemungkinan-kemungkinan estetika baru dalam dunia seni pertunjukan Indonesia.