Duka Mega Industri Konawe
4 min readTergusur, Terjual dan Menangisi.
Kecamatan Morosi adalah kecamatan yang berdiri berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Konawe No. 2 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kecamatan Dalam Wilayah Kab. Konawe yang ditetapkan 18-7-2014, wilayah Kec. Morosi sebelumnya adalah dari Kec. Bondoala. Namun sejak adanya Perda No. 2 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kecamatan Dalam Wilayah Kab. Konawe Kecamatan Morosi resmi definitif dengan luas wilayah 10.950 Ha dan jumlah penduduk sebanyak 8.872 jiwa yang terdiri dari 10 Desa dengan potensi daerah antara lain: pertanian, perkebunan, pertambangan (pasir), energi (PLTU) dan industi pengelolahan (mega industri Konawe).
Selain Kecamatan Morosi, ada juga kecamatan lain yang berada pada wilayah lingkar tambang morosi, Kecamatan Bondoala dan Kecamatan Kapoiala yang berada di wilayah pesisir laut dan kali konaweeha. Yang mayoritas masyarakat menggantungkan hidup sebagai nelayan dan petani tambak.
Kawasan Mega Industri Konawe, Morosi lokasi VDNI merupakan bagian dari proyek strategis nasional sebagaimana diamanatkan dalam Perpres Nomor 58 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, yang diresmikan oleh Mentri Perindustrian kala itu bapak Airlangga Hartarto pada tanggal 25 Februari 2019.
Namun sejak kehadirannya, perusahan tersebut telah memicu banyak konflik/ gelombang masalah. Mulai dari persoalan TKA, upah pekerja, perekrutan tenaga kerja, pengelolahan limbah B3, kecelakaan kerja dan lain sebagainya. Mulai konflik dengan pihak perusahaan itu sendiri ataupun konflik antara masyarakat sekitar lingkar pertambangan/ masyarakat pendatang.
Selain kasus penyegelan kendaraan berat oleh pihak kepolisian terkait penambagan di kawasan hutan produksi yang diduga tanpa mengatongi izin pinjam pakai kawasan hutan, terdapat pula kasus pidana lingkungan hidup, kehutanan, dll.
Petaka dari konflik-konflik diatas setidaknya telah meninggalkan duka bagi masyarakat sekitar lingkar area Mega Indusri Konawe, seperti penghasilan yang menurun drastis dari usaha perikanan dan juga pencemaran lingkungan yang berdampak dari pembangunan Mega Industri Konawe.—– meningkatnya perekonomian dan kesejateraan masyarakat sepertinya perlu ditinjau kembali. Terkadang proyek starategis nasional hampir selalu menaruh luka bagi rakyat kecil…!!
Contoh lain misalnya, pembuatan jalan hauling bagi perusahaan setidaknya telah mengikis peluang petani untuk sejaterah, betapa tidak. Pembuatan jalan holing tersebut setidaknya telah menutup sebagian besar tambak masyarakat setempat, lewatnya kendaraan perusahaan tersebut juga telah menyebabkan debu yang mencemari tambak, dan juga lumpur jalanan pada musim hujan yang menyusuri tambak menjadi sebeb pendangkalannya.
Di sisi lain dalam hal perekrutan tenaga kerja local dinilai tidak transparansi dimana dalam hal ini banyaknya permainan calo dalam perekrutan tenaga kerja local terebut, hingga pemerintah daerah pun mengambil bagian dalam hal perekrutan tenaga lokal tersebut.
Dalam hal ini perusahaan yang terkait tersebut mungkin merasa senang hati karena pemerintah daerah dalam hal ini Pemda Konawe mau membantu perekrutan tenaga kerja lokal tersebut. —— Namun yang menjadi pertanyaan entah sampaikapan kah Pemerintah Daerah mau ikut campur dalam urusan perusahaan misalnya urusan perekrutan tenaga kerja lokal, seharusnya pihak perusahaan lebih mengevaluasi lagi sistem perekrutan tenaga kerja lokal, dan upaya menindak para pelanggar sudah sampai mana.——– Siapakah yang ikut bermain didalam proses perekrutan tenaga kerja lokal dengan memakai jasa calo?. apakah ada campur tangan pihak perusahaan itu sendiri ataupun campur tangan pihak pemerintah setempat, ataupun ada oknum lain yang memanfaatkan situasi tersebut?
Terlepas dari sistem perekrutan tenaga kerja lokal oleh campur tangan Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe. Beberapa waktu belakangan sempat terjadi gelombang masa yang amat besar tepatnya pada tanggal 14 Desember 2020 yang dilakukan oleh Aliansi Serikat dan Federasi Pekerja/ Buruh Kabupaten Konawe, yang mulanya unjuk rasa tersebut akan terjadi dalam 3 hari yaitu mulai tanggal 14 sampai 16 Desember 2020. Namun di hari pertama unjuk rasa tersebut telah terjadi bentrokan antara pihak keamanan perusahaan dan massa aksi.
Namun jauh sebelum aksi unjuk rasa yang berakhir bentrok tersebut, telah terjadi beberapa kali aksi serupa namun tuntutan massa aksi pun belum juga terpenuhi bahkan sempat terjadi perundingan yang dimedia oleh Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Konawe, namun pihak perusahaan menolak perundingan tersebut.
Massa aksi buruh yang menggeruduk kantor Pemurnian nikel itu mempertanyakan kejelasan Perjanjian Kerja Waktu Terentu (PKWT) pekerja/ karyawan PT VDNI karena banyak pekerja/ buruh yang jangka waktu bekerjanya lebih dari 36 bulan (3 tahun) itu belum memiliki kejelasan status menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Selain itu, buruh juga menuntut kenaikan upah bagi pekerja/ buruh yang sudah lebih dari 1 tahun bekerja, karena tidak sesuai lagi dengan Peraturan pemerintan (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan pasal 42.
Namun dari kedua tuntutan massa aksi tersebut tak ada satupun yang diterima oleh pihak perusahaan, imbasnya pun diduga mengakibatkan terjadinya bentrokan dari kedua belah pihak antara pihak keamanan perusaahan dan massa aksi hingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Selain itu terlihat pula dugaan kriminalisasi pada pihak massa aksi yaitu buruh dengan tudingan sebagai Provokator.
Pasca ditetapkannya beberapa tersangka yang terlibat dalam aksi demostrsi di PT VDNI, kiranya telah mendapat berbagai penolakan dan pengecaman dari berbagai kalangan atas tindakan pihak kepolisian yang menetapkan utamanya 5 (lima) orang yang diduga kuat sebagai penghasut yang kenakan pasal 160 dan 216 KUHP. Namun karena tindakan tersebut justru membuat kalangan tertentu mengecam dan menolak dengan tegas menyatakan sikap. #StopKriminaliasiAKTIVIS #StopKriminaliasiBuruhMOROSI
Penulis : Fian Andriawan (Pemerhati Sosial Sultra)