LESTARI BUDAYA

Februari 15, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

Gadis Kecil yang Mengintip di Jendela

3 min read

Suara teriakan melengking terdengar dari rumah panggung di seberang jalan. Sebuah pintu tertutup dan digembok terlihat jelas dari seberang jalan. Rain tengah duduk di teras rumah milik temannya. Saat melintas, tiba-tiba turun hujan disertai petir. Rain berniat berteduh dan saat berhenti dia berdiri tepat di depan halaman rumah temannya.

“Luni, ini rumah kau?”

“Hei, kau Rain. Ke mari, hujan mulai deras.”

Rain sedikit berlari menghindari hujan. Saat Rain sudah duduk, di sanalah suara teriakan itu berasal. Gadis kecil berambut pendek sedang mengamatinya dari balik jendela kaca. Rain enggan bertanya, tapi rasa penasaran membuatnya gelisah.

“Apa kabar, Rain? Kedatanganmu selalu diikuti hujan.” Kata Luni.

“Entahlah, mungkin aku yang mengikuti hujan. Seperti aku selalu tanpa sengaja menemuknmu.”

Rain tersenyum hambar, sudah delapan tahun mereka tidak bertemu. Setelah perpisahan menyakitkan yang terjadi di antara mereka.

Gadis di balik jendela itu mengintip lagi, kali ini dengan teriakan lebih keras. Suara dinding kayu yang dipukul dan diketuk berulang kali.

“Gadis itu gila.” Kata Luni.

“Ah, benarkah. Apa dia benar gila atau hanya autis?” tanya Rain.

“Mungkin, karena keluarganya tidak pernah membawanya periksa ke dokter. Sekarang malah ditinggalkan di dalam rumah sendiri. Kadang dikunjungi sekadar diberi makan, kadang juga tidak.” Kata Luni sambil menatap iba.

“Lalu, mandi dan kakusnya bagaimana?”

“Kakus ada di rumah bagian bawah. Dia tidak mungkin bisa ke luar sendiri jika dikunci dari luar.”

Dada Rain seketika terasa sesak. Dibalik sakit hatinya saat berpisah dari Luni. Di seberang jalan sana seorang gadis bertahan hidup sendiri. Mungkin saja dia lebih merasakan sakit daripada yang dirasakan Rain.

“Dibiarkan begitu saja, orang tuanya ke mana?” tanya Rain. Memeriksa lebih jauh apa yang terjadi.

“Mereka pindah ke rumah yang lama. Anak itu sendirian, padahal dibiarkan saja kalau belum ajalnya anak itu tidak mungkin mati begitu saja.”

“Apa!”

Rain tersentak, bersamaan dengan gelegar petir di langit. Hujan semakin deras. Suara gadis itu terdengar lebih sayup terbawa angin.

Rain tidak menyangka akan melihat pemandangan mengiris hati setelah pulang mengambil gambar indah di tempat yang lain.

“Ibunya menjual di pasar, tapi sewa lost yang makin mahal membuatnya kehilangan banyak penghasilan. Mungkin bagi mereka meninggalkan satu beban hidup tida apa-apa.”

Mata Luni berkaca-kaca, Rain melihat rasa pedih di sana serta tidak berdaya.

“Luni, setauku sewa lost di pasar tidak semahal itu.”

“Kau tidak tau apa-apa tentang perubahan di tempat ini. Delapan tahun itu tidak singkat bukan?”

Rain terdiam, dulu dia masih aktif, menangani permasalahan umum di masyarakat. Semenjak putus dengan Luni dia tidak bisa lagi bekerja sosial. Luka di hatinya sangat menyakitkan hingga dia harus mengalihkan perhatian ke hal lain. Mengunjungi tempat-tempat menarik dan menyenangkan. Sejauh ini dia tidak begitu berhasil tapi hal itu membuatnya lebih baik. Tidak lagi sembunyi di sudut kamar gelap.

“Mengapa bukan kau yang membuat petisi. Kita dulu sering melakukannya, bukan? tanya Rain menembak pemikiran buntu di antara mereka.

“Aku lelah, tidak ada uang yang bisa aku hasilkan dari bekerja sosial, Rain.”

“Lalu, jadilah orang kaya Kini, kekayaanmu bisa membantu banyak orang.” Desak Rain lagi.

“Hmm, kaya, bahkan untuk makan hari ini saja kita harus bekerja lebih dulu.”

Rain kehabisan kata, dia tidak mungkin bertanya di mana suaminya, atau bahkan seperti apa kehidupannya sekarang setelah mereka berpisah. Yang jelas Rain tahu sedikit dari wajah Kini bahwa keadaannya tidak baik. Pun juga dengan gadis itu.

Wajah-wajah politisi berjejeran dan berwarna-warni di pinggir-pinggir jalan tapi tidak ada satupun yang mengetuk pintu rumah warga lalu duduk dan menanyakan bagaimana keadaan kalian. Jika mereka mendatangi rumah-rumah, mereka akan tahu ada anak kecil kelaparan tanpa makanan dan orang tua. Ada seorang janda kesulitan membayar sewa lost pasar. Ada petani kesulitan mendapatkan subsidi pupuk padahal itu hak mereka. Ada nelayan yang kehilangan perahu karena buruknya cuaca.

Bagi Rain semua itu tidak bisa dikerjakan oleh mereka berdua yang buka siapa-siapa. Semua itu harus didudukkan bersama oleh orang-orang yang memangku kebijakan. Bagaimana membuat tempat tinggal bagi mereka yang di buang keluarganya. Bahkan hewan saja dibuatkan tempat penangkaran agar mereka lestari, tapi kenapa manusia bahkan dibiarkan mati dalam kelaparan, kesedihan, dan kegilaan. Rain menduga merekalah yang gila, gila akan kekuasaan, akan harta, dan jabatan tanpa peduli dengan keadaan di sekitar rumahnya.

“Rain, hujan sudah reda”, kata Kini menyadarkan lamunan Rain.

” Ah, iya benar. Aku akan pulang Luni. Mari kita berusaha membuat situasi ini lebih baik. Berjuanglah dengan caramu sebagai tetangganya dan seorang perempuan. Aku akan berjuang di tempat lain dengan gambar dan pena milikku.”

Rain menjabat tangan Luni erat. Rasa nyeri menyeruak kembali di dadanya. Lagi, mereka berdua harus berpisah. Kali itu bukan delapan tahun lagi, mungkin akan selamanya.(*)

Cerpen : Kartika

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *