Juni 22, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

Hak Asasi atas CSR: Ketika Regulasi Daerah Abai terhadap HAM

4 min read

Oplus_131072

Hak Asasi atas CSR: Ketika Regulasi Daerah Abai terhadap HAM

Oleh: Jumran, S.IP, Ketua PoskoHAM Indonesia

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional. Dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, serta berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ini adalah mandat yang tidak dapat dinegosiasikan. Namun, di tengah kenyataan sosial dan kebijakan daerah, hak ini kerap diabaikan, bahkan oleh produk hukum yang semestinya melindungi warga.

Salah satu contoh paling mencolok adalah dalam penyusunan peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (CSR). Banyak regulasi daerah yang mengatur CSR tidak disusun dengan pertimbangan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Padahal, CSR seharusnya tidak hanya dipahami sebagai kewajiban perusahaan untuk menyumbang atau membangun sarana fisik, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab korporasi terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemulihan hak-hak masyarakat yang terdampak aktivitas usaha mereka—terutama hak atas lingkungan hidup yang sehat.

Tanpa perspektif HAM, regulasi CSR di tingkat daerah cenderung mengakomodasi kepentingan korporasi alih-alih memperkuat posisi masyarakat. Akibatnya, pelaksanaan CSR sering kali tidak menyentuh akar persoalan struktural, seperti pencemaran lingkungan, konflik agraria, atau hilangnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam.

Salah satu kelompok yang paling rentan terhadap dampak buruk ini adalah petani. Hak asasi petani atas tanah, air, dan lingkungan yang sehat kerap terabaikan dalam kebijakan CSR yang tidak partisipatif. Padahal, bagi petani, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan sumber kehidupan dan identitas sosial. Ketika lahan-lahan produktif dialihfungsikan untuk kepentingan investasi tanpa persetujuan petani, atau ketika limbah industri mencemari sumber air pertanian, maka yang terlanggar bukan hanya hak atas lingkungan hidup, tetapi juga hak atas pangan, pekerjaan, dan kelangsungan hidup komunitas petani itu sendiri. Oleh karena itu, kebijakan CSR yang berkeadilan harus secara eksplisit melindungi dan memberdayakan petani sebagai penjaga ketahanan pangan dan pelestari lingkungan.

Kami di PoskoHAM memandang bahwa hal ini adalah bentuk pengingkaran terhadap tanggung jawab negara dalam menjamin dan memenuhi HAM warganya. Ketika Perda tentang CSR tidak memasukkan prinsip-prinsip HAM—seperti partisipasi bermakna, transparansi, non-diskriminasi, dan akses terhadap pemulihan—maka regulasi itu menjadi tumpul dalam menjawab persoalan di lapangan.

Hak atas lingkungan hidup yang sehat adalah hak dasar yang menopang pemenuhan hak lainnya, termasuk hak atas kesehatan, pangan, air bersih, dan kehidupan yang layak. Ketika lingkungan rusak akibat aktivitas korporasi, dan negara melalui pemerintah daerah tidak menghadirkan regulasi yang kuat dan adil, maka hak-hak masyarakat menjadi korban. Termasuk di dalamnya adalah petani kecil yang kehilangan akses produksi dan penghidupan mereka akibat degradasi lingkungan dan ketimpangan akses terhadap sumber daya.

Oleh karena itu, kami mendesak agar seluruh perencanaan regulasi daerah, khususnya yang mengatur CSR dan pengelolaan lingkungan, wajib disusun dengan merujuk pada Undang-Undang HAM. Regulasi tidak boleh lagi disusun dalam ruang hampa nilai. Ia harus menjawab kebutuhan perlindungan hak, keadilan ekologis, dan kesejahteraan masyarakat.

Tanpa memasukkan pertimbangan HAM dalam regulasi daerah, kita sedang membiarkan perusahaan bebas bertindak tanpa kontrol, dan membiarkan masyarakat terus menanggung dampaknya tanpa perlindungan. Sudah waktunya pemerintah daerah memposisikan CSR sebagai bagian dari tanggung jawab hak asasi, bukan sekadar formalitas laporan tahunan.

Perjuangan melindungi lingkungan dan hak-hak warga adalah perjuangan untuk keadilan yang sesungguhnya. Regulasi yang tidak memuat HAM dalam naskahnya, akan melahirkan ketidakadilan dalam pelaksanaannya.

Sebagai Ketua PoskoHAM, kami memandang bahwa salah satu tantangan besar dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia di tingkat lokal adalah lemahnya sinergi antara sektor swasta dan pemerintah daerah. Padahal, potensi dana Corporate Social Responsibility (CSR) sangat besar jika dikelola secara adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan warga.

Pemerintah daerah memegang peran strategis dalam menjamin hak dasar warga, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kerangka ini, kepala daerah—khususnya bupati—memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peraturan yang mengarahkan penggunaan dana CSR secara akuntabel dan tepat sasaran.

Selain itu, Peraturan Bupati sebagai turunan Perda yang mengatur CSR semestinya juga tidak sekadar menjadi dokumen administratif, tetapi menjadi instrumen nyata pemenuhan HAM. Isinya harus mencerminkan kebutuhan riil masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas, petani kecil, dan masyarakat miskin. CSR harus diarahkan untuk menjawab persoalan ketimpangan akses pendidikan, layanan kesehatan, air bersih, hingga pemulihan lingkungan.

Sudah waktunya pemerintah daerah tidak hanya menjadi fasilitator antara perusahaan dan masyarakat, tetapi juga menjadi pengarah dan pengawas pelaksanaan CSR agar selaras dengan rencana pembangunan daerah dan prinsip-prinsip HAM. Perlu ada forum komunikasi rutin, basis data kebutuhan warga, serta sistem pelaporan yang transparan kepada publik.

Kami di PoskoHAM mendorong semua kepala daerah untuk menjadikan Peraturan Bupati tentang CSR sebagai alat transformasi sosial. Tidak cukup hanya dengan slogan “berbasis masyarakat”, tetapi perlu diwujudkan dalam tindakan nyata yang menempatkan hak asasi manusia sebagai landasan kebijakan pembangunan.

Jika kita serius ingin mewujudkan keadilan sosial di tingkat lokal, maka pengelolaan dana CSR yang berpihak pada HAM bukanlah pilihan—melainkan kewajiban moral dan konstitusional.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *