Lekra dan Pemikiran Realisme Sosialis
4 min read
Oleh : Herry Tany (Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat)
Sejarah pemikiran realisme sosialis yang berkembang di kalangan seniman dan sastrawan Indonesia tahun 1950-1965. Realisme sosialis berkembang di bawah organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang terbentuk pada 17 Agustus 1950.
Pemikiran tersebut hilang dan dilarang semenjak tahun 1965 sebagai dampak dari peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Tujuan penelitian ini adalah untuk menelusuri kembali perkembangan realisme sosialis sebagai pemikiran yang lahir dari konteks sosial-politik Indonesia tahun 1950-1965.
Hal ini disebabkan pandangan umum tentang realisme sosialis telah dipersamakan sebagai doktrin ideologi komunisme di bidang kesenian dan kesusasteraan. Penelitian ini menggunakan metode historis dengan kerangka analisis teori poskolonialisme. Teori poskolonialisme digunakan untuk menganalisis kondisi sosial seniman dan sastrawan Indonesia setelah merdeka dalam merespon unsur-unsur kolonialisme.
Teori poskolonialisme dalam kajian sejarah berguna untuk melihat bagaimana kecenderungan masyarakat pasca-kolonial dalam mendefinisikan identitas mereka sebagai bangsa yang merdeka. Sumber-sumber yang mendukung penelitian ini adalah sumber-sumber tertulis berupa esai-esai di majalah maupun surat kabar sezaman. Sumber lain yang mendukung penelitian ini adalah film dokumenter dan video wawancara para mantan seniman dan sastrawan Lekra.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran realisme sosialis berkembang dalam suatu kondisi dimana adanya anggapan di kalangan seniman bahwa Kebudayaan Indonesia belum lepas dari penjajahan. Anggapan ini muncul dimasa revolusi (1945-1949) dimana perjuangan fisik dan diplomasi untuk mempertahankan kedaulatan politik Indonesia tidak terlepas dari perjuangan di bidang kebudayaan.
Berdirinya STICUSA, lembaga kerja sama budaya antara Indonesia dan Belanda pada tahun 1948 membuat para sebagian seniman membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) untuk memperjuangkan Kebudayaan Indonesia dari penjajahan.
Sebagai landasan teoritis bagi kerja-kerja perjuangan kemerdekaan Kebudayaan Indonesia, realisme sosialis dianggap tepat oleh seniman dan sastrawan Lekra karena membantu menampilkan keadaan sosial rakyat Indonesia dan memiliki keberpihakan terhadap sebuah perubahan sosial lewat seni dan sastra. Seniman dan sastrawan Lekra juga melihat keberadaan negara-negara asing dengan kebudayaan yang maju antara Uni Soviet dan Tiongkok yang juga menjadikan realisme sosialis sebagai landasan yang bersifat teoritis kesenian dan kesusasteraan.
Realisme sosialis dalam kesenian dan kesusasteraan merupakan landasan untuk menempuh perubahan sosial demi meraih kemerdekaan seutuhnya bagi rakyat Indonesia. Kekecewaan terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia yang akan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia semakin jelas di masa demokrasi liberal (1950-1957).
Ketidakstabilan politik, kesejahteraan yang hanya menguasai beberapa kelas sosial, Masih bercokolnya kekuatan asing di bidang ekonomi dan praktik korupsi yang merajalela membuat para seniman Lekra semakin yakin bahwa kemerdekaan Indonesia belum sepenuhnya diraih. Oleh karena itu, ketika Soekarno mengutarakan konsepsinya tentang demokrasi yang terpimpin, para seniman Lekra mendukung konsepsi tersebut.
Dukungan ini terus berlanjut hingga dicetuskannya Dekrit Presiden 1959 yang bertujuan untuk melanjutkan kembali revolusi Indonesia. Di masa demokrasi terpimpin inilah realisme sosialis bukan hanya menjadi panduan bagi seniman dan sastrawan Lekra untuk melakukan perubahan sosial, melainkan juga menjadi pandangan yang mendukung politik kebudayaan pada tahun 1959-1965.
Kajian ini membahas tentang sejarah gagasan realisme sosialis yang berkembang di kalangan seniman dan sastrawan di Indonesia pada tahun 1950-1965. Realisme sosialis tumbuh subur di bawah organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang dibentuk pada 17 Agustus 1950. Ide realisme sosialis dilarang sejak tahun 1965 akibat peristiwa Gerakan 30 September (G30S).
Tujuan penelitian ini adalah menelusuri kembali perkembangan realisme sosialis sebagai gagasan yang lahir dari konteks sosial politik Indonesia pada tahun 1950-1965. Sebab, pandangan umum realisme sosialis telah disederhanakan menjadi doktriner ideologi komunisme dalam bidang seni dan sastra. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan kerangka analisis teori pascakolonial.
Teori pascakolonial digunakan untuk menganalisis kondisi sosial seniman dan sastrawan Indonesia pasca kemerdekaan dalam menyikapi unsur kolonialisme. Teori pascakolonial dalam kajian sejarah berguna untuk melihat bagaimana kecenderungan masyarakat pascakolonial dalam merumuskan jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka.
Sumber yang mendukung penelitian ini adalah sumber tertulis berupa karangan di majalah dan surat kabar sezaman. Sumber lain yang mendukung penelitian ini adalah dokumenter dan video wawancara mantan seniman dan penulis LEKRA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gagasan realisme sosialis berkembang menjadi suatu kondisi dimana seniman menganggap bahwa kebudayaan Indonesia belum lepas dari kolonialisme.
Anggapan ini muncul pada masa revolusi (1945-1949) dimana perjuangan fisik dan diplomasi untuk mempertahankan kedaulatan politik Indonesia tidak dibarengi dengan perjuangan di bidang kebudayaan. Berdirinya Sticusa sebagai lembaga kerjasama kebudayaan antara Indonesia dan Belanda pada tahun 1948 memanfaatkan sebagian seniman dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) untuk memperjuangkan kebudayaan Indonesia dari penjajahan.
Sebagai landasan teori budaya kerja perjuangan kemerdekaan Indonesia, realisme sosialis dianggap tepat oleh seniman dan sastrawan LEKRA karena membantu menunjukkan situasi sosial masyarakat Indonesia dan mempunyai bias terhadap perubahan sosial melalui seni dan sastra.
Seniman dan sastrawan LEKRA juga melihat kehadiran negara asing dengan kebudayaan yang berkembang antara Uni Soviet dan Tiongkok juga menjadikan realisme sosialis sebagai landasan teori seni dan sastra. Realisme sosialis dalam seni dan sastra menjadi landasan untuk mengupayakan perubahan sosial guna mencapai kemerdekaan penuh bagi masyarakat Indonesia.
Kekecewaan terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia yang akan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia semakin nyata pada masa depan demokrasi liberal (1950-1957). Ketidakstabilan politik, kesejahteraan hanya menguasai sebagian kelas sosial, kekuatan asing masih mengakar dalam perekonomian dan maraknya korupsi membuat para seniman LEKRA semakin yakin bahwa kemerdekaan Indonesia belum sepenuhnya tercapai.
Oleh karena itu, ketika Sukarno mengutarakan konsepsi demokrasi terpimpin, para seniman LEKRA mendukung konsepsi tersebut. Dukungan ini terus berlanjut hingga lahirnya Dekrit Presiden tahun 1959 yang bertujuan untuk melanjutkan revolusi Indonesia.
Pada masa realisme sosialis demokrasi terpimpin tidak sekedar menjadi pedoman bagi seniman dan penulis LEKRA untuk melakukan perubahan sosial, tetapi juga menjadi pandangan yang mendukung politik budaya pada tahun 1959-1965.(*)