VINA DAN KRITIK SOSIAL
2 min readOleh: Meiska (Penulis fiksi dan Pembaca Berita Kriminal) –
Disclaimer: Tulisan ini adalah opini yang disertai data-data yang diperoleh dari internet. Mungkin saja terjadi kesalahan dalam penyebutan nama, tempat, tahun, dsb.
Beberapa saat lalu dunia perfilman diramaikan dengan sebuah film berjudul Vina: Sebelum 7 Hari. Film ini diangkat dari kisah nyata kasus pembnhan brutal terhadap seorang gadis berusia 16 tahun di Cirebon pada tahun 2016. Meskipun menuai berbagai kritik dan kontroversi, nyatanya film ini berhasil menembus 3.5 juta penonton dalam waktu sembilan hari tayang. Sayangnya—dari kaca mata pribadi saya—film ini memilih genre horor dan mengangkat isu klenik dibanding menonjolkan sisi psikologis dan humanis.
Pasca film ini ramai dibicarakan netizen, konon kasus Vina kembali dibuka dan pencarian terhadap 3 orang pelaku yang masih berstatus DPO kembali dilakukan. Namun, entah sampai berapa lama penyidikan akan dilakukan. Apakah bila nanti masyarakat telah ‘lupa’ maka berkas-berkasnya akan kembali masuk ke dalam lemari dan terlupakan?
Saya lantas teringat dengan sebuah film berjudul Silenced (2011) yang mampu menggerakkan publik di Korea Selatan. Film yang diangkat dari novel, yang juga terinsipirasi kisah nyata pelecehan sksual anak-anak tuli dan bisu di sebuah sekolah khusus di Gwangju. Gong Ji-cheol (akrab dikenal sebagai Gong Yoo) membaca sebuah novel berjudul The Crucible yang ditulis oleh Gong Ji-young dan hatinya tersentuh. Setelah selesai menjalani wajib militer, Gong Yoo kemudian membuat film itu dan berhasil mengentak publik. Masyarakat Korea Selatan menandatangani petisi dan Kepolisian Gwangju membuka kembali kasusnya setelah 9 tahun mengendap begitu saja. Para pelaku diadili, sayangnya si kepala sekolah bidab itu keburu meninggal. Tidak sampai di situ, setelah 37 hari film tersebut dirilis, pemerintah Korea Selatan menetapkan amandemen pencegahan kekerasan s*ksual yang dikenal sebagai Dogani Laws, diikuti dengan sejumlah peraturan perundangan terkait kesejahteraan sosial, sehingga pengoperasian instansi sosial menjadi lebih terbuka dan transparan.
Film sebagaimana sebuah karya seni seyogyanya memang tidak hanya dapat digunakan untuk tujuan menghibur, tetapi dapat menjadi sebuah alat untuk menyampaikan kritik sosial. Hal-hal yang dianggap tabu, dapat diangkat dan membuat mata masyarakat terbuka. Kritik sosial juga nyata dapat menjadi sebuah kendaraan untuk mendapatkan keadilan. Namun, apakah semudah itu terjadi di negeri ini? Akankah film Vina: Sebelum 7 Hari menjadi lentera menuju keadilan bagi korban dan keluarganya? Atau syukur-syukur bisa mengubah tatanan keadilan di Indonesia, sebagaimana Silenced yang berhasil di negaranya sana. Mari kita lihat saja.(*)
Data disarikan dari berbagai sumber
Laporan: Herry Tany