“Tak Sengaja” : Potret Buram Penegakan Hukum di Indonesia
4 min readIndonesia adalah negara Hukum, yang senantiasa selalu mengutamakan hukum sebagai landasan dalam setiap aktivitas negara dan masyarakat. Dalam konstitusi UUD 1945 pada pasal 1 ayat (3) berbunyi bahwa “Negara Indonesia Adalah Negara Hukum”. Sebagai negara hukum (reshtsstaat) yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia, hukum harus menjadi sebagai panglima didalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di Amanatkan oleh konstitusi negara Uud 1945 dan Dasar negara pancasila sebagai sumber dari segalah sumber Hukum.
Tetapi yang menjadi pertanyaan publik saat ini adalah apakah Amanat UUD 1945 sudah dilaksanakan? Apakah Hukum saat ini benar-benar sudah menjadi panglima? Apakah Hukum saat ini tidak tebang pilih, tumpul ke atas tajam kebawah? Iyaa kira-kira seperti itulah pertayaan yang selalu di tanyakan oleh Rakyat indonesia.
Saya Pribadi dan Pastinya seluruh Masyarakat indonesia selalu mengiginkan Negaranya memiliki penegak-penegak hukum yang berintregritas, adil dan tegas dalam menegakan hukum dan bukan tebang pilih. Tidak ada sebuah sabotase, diskriminasi dan pengistimewaan dalam menangani setiap kasus hukum baik Pidana maupun Perdata.
Tetapi keinginan masyarakat indonesia ingin memiliki penegak hukum yang adil, tegas tidak tebang pilih hanyalah sebatas mimpi belaka, seperti istilah diatas kondisi hukum saat ini yaitu “Tumpul ke atas tajam kebawah” itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi penegakkan hukum di Indonesia saat ini, dan saya yakin, seluruh masyarakat Indonesia pasti sudah mendengar, Melihat dan merasakan Kenyataanya.
Di masa pemerintahan yang sekarang, sangat terasa penegakan hukum yang tidak adil bagi seluruh masyarakat Indonesia Dimana Hukum yang hanya berpihak kepada yang mempunyai uang dan kekuasaan, hukum hanya dijadikan sebagai alat kekuasaan bagi para elit yang bermodal untuk melindungi kekuasaannya,keluarga dan kelompoknya.
Oleh sebab itu kondisi Hukum di Indonesia lebih sering menuai kritik daripada pujian, berbagai kritik yang berasal dari berbagai elemen di arahkan baik yang berkaitan dengan penegakan hukum,kesadaran hukum,kualitas hukum, ketidak jelasan berbaggai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungnya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan. Kritik begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di indonesia kebanyakan masyarakat selalu bicara bahwa hukum di indonesia dapat dibeli, yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar, dan itu menjadi kenyataan dengan banyaknya putusan-putusan hakim yang kontroversi dan dianggap tidak adil bagi rakyat kecil.
Baru-baru ini Publik sedang dihebohkan dengan kasus yang menimpa penyidik Senior KPK dimana pelaku penyiraman di tuntut satu tahun penjara oleh Jaksa penuntut Umum, sungguh miris dan kasus Novel Baswedan adalah salah satu Bukti nyata rusaknya hukum di indonesia lalu bagaimana masyarakat bisa menggapai keadilan jika keadilan itu hanya terdapat dalam buku.
Sebagai mana kita ketahui bahwa pelaku penyiraman air keras kepada penyidik senior KPK Novel Baswedan dijerat dengan Pasal 355 ayat 1 KUHP juncto Pasal 353 ayat 2 KUHP juncto Pasal 351 ayat 2 KUHP. Oleh karena perbuatan dilakukan bersama-sama maka jaksa menambahkan pasal penyertaan yaitu Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal 355 ayat 1 KUHP “Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Pasal 353 ayat 1 dan 2 KUHP (1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 351 ayat 1 dan 2 KUHP. (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Dari rangkaian pasal-pasal itu bila dilihat maka ancaman hukuman paling tinggi adalah 12 tahun penjara yaitu tercantum pada Pasal 355 ayat 1 KUHP. Pasal itu merupakan dakwaan primer yang disampaikan jaksa.
Sedangkan dakwaan subsider yang disampaikan jaksa yaitu Pasal 353 ayat 2 KUHP yang ancaman hukumannya masih cukup tinggi yaitu 7 tahun penjara. Namun jaksa berpendapat dalam surat tuntutan bila perbuatan 2 penyerang Novel itu tidak terbukti melanggar Pasal 355 ayat 1 KUHP yang mencantumkan ancaman hukuman tertinggi.Mala jaksa menuntut dengan satu tahun penjara, sungguh miris…!!!
Kasus Novel adalah salah satu kasus dari begitu banyak kasus yang menuai kritikan oleh berbagai elemen ini adalah bukti nyata rusaknya penegakan Hukum di Negara republik indonesia. Harapan warga negara Indonesia memiliki penegakkan hukum yang adil dan tegas dan bisa memberikan perlindungan bagi setiap individu pada tataran konsep dan teori, penegakan hukum yang memberikan perlindungan bagi setiap individu merupakan hal ideal dan sifatnya wajib untuk dilaksanakan, namun pada tataran penerapan, Hukum belum cukup melindungi masyarakat pencari keadilan (justitiabelen) terutama yang berkaitan dengan keadilan,kepastian hukum,kesetaraan dihadapan hukum, dan pemenuhan hak asasinya, keadilan yang dijelaskan dalam dasar negara dalam poin ke-5 “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia” hanyalah teori semata.
Oleh karena itu penegakkan hukum di indonesia dapat diibaratkan sebagai benang kusut yang disebabkan Judicial Corruption yang telah membudaya dan pola berfikir aparat penegak hukum terkait hak asasi manusia yang harus dilepaskan dari kultur lama, sebagian masyarakat Indonesia telah berubah dari masyarakat majemuk yang memiliki rasa sosial yang tinggi menjadi manusia Indonesia yang memiliki degradasi nilai-nilai kemanusiaan yang mencemaskan. Hal ini diperlihatkan dengan aksi intoleransi, kekerasan, anarkisme, perlawanan terhadap petugas atau sebaliknya, saling serang antar golongan, dan lain-lain.
Jika penegakan Hukum terus menerus berjalan tidak sesuai dengan harapan, maka masyarakat akan melakukan upaya penegakan hukum dengan cara mereka sendiri melalui bentu-bentuk pengadilan massa yang berujung pada tindakan-tindakan pelanggaran HAM.
Penegakan hukum yang seharusnya adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undang-undang (Satjipto Raharjo, 2005). Hal ini sesuai dengan adagium yang dikemukakan oleh Cicero, yaitu “ubi societas ibi ius”, yang berarti “di mana ada masyarakat, di situ ada hukum”. Masyarakat tidak mungkin hidup tanpa hukum, karena norma-norma hukum itulah yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat.(*)
Penulis : Andi Rahman (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari)