Trisakti Bung Karno dan Gagalnya Kapitalisme
3 min read
Masyarakat terus berubah, masuknya listrik di pelosok Desa telah merubah masyarakat desa. Dahulu sebelum ada listrik aktivitas menonton acara TV dilakukan bersama-sama, bisa dikatakan seperti bioskop, hanya saja, mereka juga menonton berbagai jenis iklan, hadirnya listrik di tengah-tengah masyarakat desa, melahirkan sebuah pemandangan baru, yang terkesan modern, hampir setiap rumah tangga yang mempunyai uang yang cukup akan membeli TV sendiri dan memanjakan diri dengan berbagai siaran TV dirumah tentunya, Kepemilikan pribadi menjadi hal yang mutlak, kepemilikan bersama perlahan-lahan mulai hilang, dan digantikan oleh kepemilikan pribadi. Revolusi industri 1.0 hingga revolusi industri 4.0 sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial kebudayaan masyarakat, lihat saja pda revolusi industri 4.0 perkembangan teknologi yang begitu pesat yang tak terbendung sehingga masyarakat yang tak mampu beradaptasi akan tertinggal jauh.
Kapitalisme berkembang pesat, melaju pada ruang-ruang yang tak terkira. Lihat saja misalnya agama sering terkapitalisasi oleh beberapa orang karena dianggap dapat menghasilkan keuntungan yang besar. Teknologi dan infomasi, Konsumerisme yang berlebihan, seperti Berbelanja, esensi berbelanja adalah untuk bagaimana memenuhi kebutuhan hidup. Namun berbelanja saat ini telah di susupi gensi pada konsumenya.Sebagian orang gensi untuk berbelanja di toko-toko biasa tanpa merek, melainkan sebaliknya. Kaum kelas atas akan berbelanja pada tokoh yang terkenal, baju, handpone dan mobil semua lebih pada untuk menujukan kelas sosial mereka, di banding memenuhi kebutuhan.
Dalam buku “Dunia Yang Dilipat, Karya Yasraf Amir Piliang” menyatakan bahwa Kapitalisme dengan modernisasinya dan pembangunanya di dalam dua dekade terakhir telah membawa masyarakat konteporer kita ke dalam berbagai sisi realitasi-realitas baru kehidupan, seperti kenyamanan, kesenangan, keterpesonaan, kesempurnaan penampilan dan kebebasan hasrat, akan tetapi kapitalisme, modrenisasi dan pembangunan itu sebaliknya menyebabkan kita kehilangan realitas-realistas massa lalu berserta kearifan-kearifan massa lampau yang ada dibalinya. Yang justru lebih berharga bagi pembangunan diri kita sebagai manusia.
Jean Baudrillard dengan istilahnya hiperealitas telah menjelaskan fenomena sosial yang melebihi keadaan normal, orang-orang lebih tertarik pada label ketimbang asas manfaat suatu materi. Kapitalisme memasuki setiap bidang dalam kehidupan sosial, kapitalisme berorentasi pada penumpukan modal, mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dan Kepenting individu lebih diutamakan daripada kepentingan orang banyak. Muncullah istilah-istilah baru yang diperoleh oleh fenomena masyarakat modern, misalnya ekonomi libido, adalah system ekonomi yang cenderung melepas katu napsu kepuasan, dan membuka pintu bagi produksi objek sebagai agen kepuasan, emosional, psikis seksual yang tanpa batas.
Pada sistem pemerintahan, kapitalisme ditandai dengan munculnya oligarki kapital, pemerintahan di penuhi dengan orang-orang yang ingin memupuk kekayaan. Tanpa memperdulikan kepentingan rakyat. Salah satuh contoh kasus adalah, kedatangan tenaga keja asing (TKA) yang di datang langsung dari Cina sebanyak 500 orang dan pemerintah menyetujuinya di sulawesi tenggara, di tengah pandemik. Lalu kemudian mengalami penolakan dan akhirnya di tunda.
Bagi sebagian orang hal itu adalah hal yang biasa, namun tetap saja itu adalah bagian dari bisnis. Kapitalisme kemudian memperburuk dirinya, hadirnya pandemik, menandakan kapitalisme gagal. Faktanya, Negara melakukan kebijakan dengan transparan, setiap rumah tangga dengan kriteria tertentu mendapatkan subsidi dari negara di tengah pandemik, dan kebijakan tersebut saya sebut dengan sosialis.
Kepemilikan pribadi sudah tentu tak mampu mengatasi keadaan sosial ditengah pendemik, kapitaisme adalah kebudayaan penuh napsu di banding kedalam spiritual kata Yasraf Amir Pilang dalam bukunya dunia yang dilipat, sedangkan kepemilikan bersama mampu mengatasi keadaan sosial ditengah pandemik. Dengan saling bekerja sama menciptakan pangan dan saling berbagi satu sama lain.
Sudah saatnya pemerintah melihat gagasan Ir. Soekarno tentang marhaenisme, dengan asasnya, sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan ketuhana yang maha esa. Saatnya demokrasi dikembalikan pada rakyat, kebijakan pemerintah yang membingungkan masyatakat adalah penanda yang tak baik buat demokrasi kita saat ini.
Kapitalisme dengan kepedulian sosialnya walaupun membawa dampak kemajuan fisik yang berarti, faktanya kapitalisme tetaplah penuh dengan nafsu untuk memupuk modal dan pada sisi lain merusak moral bangsa dan menjadikanya jauh dari nilai-nilai kebudayaan. Tersakti bung karno, yaitu berdikari di bidang ekonomi telah jauh dari cita-cita bangsa indonesia saat ini, berdaulat di bidang politik adalah mimpi kita saat reformasi tahun 1998, dan berkepribadian di bidang kebudayaan merupakan sesuatu yang mulai terkikis. Ir. Soekarno paham betul syarat majunya suatu bangsa dengan mengaplikasikan konsep trisakti tersebut.
Kita mesti mengambil api daripada sejarah bangsa, belum terlambat untuk melawan kapitalisme dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Jika kita berani sebagai bangsa pasal 33 UUD 1945 ayat 3 ; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat kita realisasikan sebagai bangsa yang berani. Bangsa kita bukanlah bangsa tempe, bangsa kita adalah bangsa petarung. Dan bukankah kata Tan Malaka, “pemilik rumah tak akan bernegosiasi dengan pencuri”. (*)