Ajukan Banding, Warga Matawine Korban Penggusuran Bersikukuh Perjuangkan Hak
2 min readKonflik lahan antara warga Desa Matawine Kecamatan Lakudo dengan Pemerintah Daerah Buton Tengah belum menemui titik terang. Pasalnya, meski perkara dengan nomor 16/Pdt.g/2022/PN.Psw tersebut dalam proses hukumnya ditolak oleh majelis hakim PN Pasarwajo, warga Matawine selaku penggugat bersikukuh mengajukan banding melalui Lembaga Bantuan Hukum Rakyat (LBHR) Sultra yang selama ini mendampingi.
Pihak LBHR dalam kasus ini dengan tegas menyatakan PN Pasarwajo tidak menetapkan Pemda sebagai pemilik tanah seluas 400 ha sesuai objek gugatan tersebut. Karenanya, secara hukum, konflik perdata Nomor 16 ini tidak berarti telah dimenangkan pihak tergugat dalam hal ini Pemerintah Buton Tengah.
“Dalam putusan PN Pasarwajo untuk perkara No. 16 ini tidak menetapkan Pemda Buteng sebagai pemilik lahan warga seluas 400 ha. Jadi secara hukum tidak ada yg dimenangkan oleh Pemda buteng” terang Advokat LBHR Sultra (16/02/2023)
Dengan demikian, kepemilikan lahan tidak serta merta adalah hak milik pihak tergugat. Terlebih dalam sidang Pemeriksaan Setempat (PS) pihak PN Pasarwajo Jum’at 21 Oktober tahun lalu dalil-dalil gugatan Penggugat melalui fakta kepada Majelis hakim pemeriksa perkara telah disampaikan. Dimana ditemukan bahwa tanah lahan yang digusur pihak Pemda Buton Tengah melalui Dinas PUPR itu benar-benar merupakan kebun jangka panjang para Penggugat.
Tak hanya itu, keterangan saksi ahli pihak Warga Matawine dalam proses persidangan telah menunjukkan bukti otentik dan legal standing yang jelas berupa SKT. Keterangan-keterangan ahli yang menyebutkan keotentikan akta kepemilikan milik penggugat karenanya adalah penting untuk terus dipertahankan.
Menyikapi putusan majelis hakim terhadap perkara No. 16 tersebut, 30 warga penggugat sepakat untuk mengajukan banding. Hal mendasar atas kesepakatan ini adalah bahwa pertimbangan putusan hakim yang menjadi dasar penolakan gugatan penggugat bukanlah hal yang krusial dengan pokok perkara hingga terindikasi adanya inkonsisten dari fakta yang ada.
Pasalnya, majelis hakim yang mendasari keputusan hukum dengan menyebutkan perlu adanya bukti tambahan dari SKT penggugat itu ternyata tidak mengindahkan fakta sidang Pemeriksaan Setempat (PS) yang telah dilakukan sebelumnya.
“Perlu diketahui bahwa legal standing SKT milik warga berdasarkan keterangan ahli yg dihadirkan penggugat sangat jelas disebutkan bahwa SKT adalah akta otentik. Sehingga pertimbangan putusan yang menyebutkan SKT bukankah akta otentik sangat perlu untuk dikaji kembali pada tingkat banding” tegas Advokat LBHR Sultra (*)