Aladeen, Kamus, dan Ketidaktahuan Kita
3 min readTulisan telah tayang di salah satu media online dengan judul yang sama: Aladeen, Kamus, dan Ketidaktahuan Kita
Catatan KP – Laksamana Jenderal Aladeen, pemimpin Wadiya, dikenal sebagai seorang pemimpin paling diktator yang dimiliki sejarah. Ia menolak sistem demokrasi. Membunuh siapa pun, bahkan tak kenal ampun.
Hal paling menarik, jika tak dapat dikatakan lucu, yang pernah ia lakukan adalah mengubah tiga ratus kata “positif” dan “negatif” (yang menyebabkan kekacauan massal) dalam kamus Wadiya menjadi namanya sendiri: Aladeen.
Kisah Laksamana Aladeen (yang bisa kau saksikan dalam film The Dictator, 2012) dengan segala kediktatorannya terutama bagaimana ia mengubah isi kamus menjadi namanya sendiri, seakan mengajak kita untuk melihat apa yang terjadi beberapa waktu ini di Indonesia.
Persis, seperti yang kau duga, ini menyangkut kata “Mudik” dan “Pulang kampung”; di mana pemerintah menggolongkannya ke dalam keranjang yang berbeda baru-baru ini dalam acara Mata Najwa.
Kita kebingungan, tentu saja. Bukankah pulang kampung adalah definisi dari kata “Mudik”? Sebagaimana Mudik memiliki definisi, salah satunya, pulang kampung? Tapi dengan kelincahan ala politisi kebanyakan, pemerintah menjelaskan bahwa mudik dan pulang kampung itu “terjerat” kondisi yang berbeda sehingga alasan itulah yang membuatnya tak sama.
Hal ini barangkali bukan persoalan serius bagi banyak kalangan, sebab hanya menyangkut definisi kata “Mudik” yang tak sama dengan definisi yang disediakan kamus. Tapi justru, karena hal ini, kita bertanya: apa fungsi kamus sebenarnya? Atau, masih relevankah keberadaan kamus ketika pemerintah memiliki kosa katanya sendiri?
Atau justru, kamus sudah mati? Sebab, jika toh kamus tidak begitu penting sebab tiap orang (lembaga) bisa mengutarakan definisinya sendiri, bukankah eksistensi kamus sendiri laik dipertanyakan?
Saya ingin menyeretmu ke dalam kemungkinan-kemungkinan yang ada mengapa persoalan ini tidak lebih sederhana sebagaimana yang banyak orang maksudkan, seandainya kau masih betah membaca tulisan ini. Terutama, saya melihat ini bukanlah “kesalahan” teknis belaka. Jauh daripada itu, ada “bahasa politik” yang sedang dimainkan.
Sebetulnya, jauh sebelumnya, negara ini sudah terbiasa mendefinisikan apa pun bahkan di luar dari pengertian umum. Yang paling dekat adalah kata “Radikal”. Kita masih ingat (bahkan merasakan) bagaimana kata radikal tetiba menjadi demikian menakutkan. Seakan, radikal jauh lebih menakutkan daripada apa pun yang bisa kita bayangkan.
Hal yang sama juga pernah terjadi pada masa Orde Baru. Kata “Komunis” tetiba menjadi sedemikian menakutkan dan bringas, seakan telah terjadi mutasi virus yang jauh lebih mematikan.
Seperti halnya radikal atau komunis, pemisahan definisi mudik dan pulang kampung bukanlah peristiwa tunggal. Di belakangnya, ada motif politik, katakanlah demi “mengamankan kekuasaan”.
Pertanyaannya, mengapa pemerintah seakan tak begitu serius melarang mudik—sebab tetap dapat dilaksanakan dalam bahasa “pulang kampung”—di tengah pandemi Covid-19?
Kita tahu, efek atas wabah ini adalah hilangnya lapangan kerja, setidaknya salah satunya. Terutama perusahaan-perusahaan swasta. Pada saat yang sama, negara seakan tak mampu, jika tak boleh disebut tak mau, menjamin kelangsungan hidup terutama mereka yang terdampak serius, yang kehilangan pekerjaan.
Jika mudik betul dilarang dengan melibatkan konsekuensi pidana bagi yang tetap kekeh, maka kemungkinan yang terjadi adalah penjarahan besar-besaran. Kau tahu itu berbahaya bagi kekuasaan. Maka kemungkinan itu mesti ditepis dengan definisi pulang kampung.
Kemungkinan kedua, ini menyangkut kelas sosial. Bagi negara, mudik diklasifikasi pada kelas atas belaka. Yang hampir pasti kalangan ini tak begitu merasakan dampak terutama dari segi ekonomi, kebutuhan pokok sehari-hari. Pada merekalah pelarangan ini ditujukkan.
Sedangkan, pembolehan pulang kampung ditujukan kepada mereka yang tak mungkin bertahan hidup di perantauan. Kalangan bawah.
Masalahnya, pada saat yang sama, ini bentuk pembiaran penyebaran virus dengan potensi yang lebih besar oleh pemerintah. Protokol jaga jarak runtuh seketika.
Kemungkinan ini, bagaimanapun menjadi sangat menyedihkan seandainya terbukti benar. Sebab, itu tadi, pembolehan pulang kampung justru membahayakan bagi kalangan bawah.
Pada akhirnya, tanda tanya yang membingungkan ini memang mengkhawatirkan, lebih-lebih kita memang tak pernah tahu apa yang sedang dilakukan pemerintah dalam menghalau pandemi ini.
Penulis: Karena Pangga (Pegiat Literasi)