LESTARI BUDAYA

September 16, 2024

SUARA AKAR RUMPUT

Ketika Manusia Menciptakan Tuhan

3 min read

Catatan KP – Setelah menyaksikan film yang diperankan Aamir Khan dan Anushka Sharma yang berjudul PK, saya seolah ditarik dalam lembah perenungan untuk kembali berpikir. Isi dari film itu lumayan berat, tentu bagi yang mengenal apalagi memaknai agama dan Tuhan secara instan.

Kendati dikemas dalam konteks komedi satir, film itu justru berhasil ketika melihat ukuran pendapatan yang diraih. Film ini diberi jempol oleh berbagai negara. Meski film ini dirilis pada tahun 2014, hingga sekarang masih ramai dalam perbincangan.

Dalam film itu mengisahkan Aamir Khan adalah seorang penghuni planet lain yang ditugaskan untuk sebuah misi penelitian di bumi. Misinya kemudian berlanjut setelah liontin miliknya dirampas paksa oleh seorang yang ia tak kenali. Karena tanpa liontin itu, maka mutlak baginya menjadi penduduk bumi untuk selamanya.

Sepanjang pencarian liontin yang ia sebut “Remot Kontrol” itu, yang ia temukan, orang-orang hanya menjawab seraya berpasrah, “Hanya Tuhan yang dapat menolongmu!”

Ketika mendengar nama Tuhan, saat itulah ia terperangkap dalam pertanyaan-pertanyaan dogmatis yang ia ciptakan sendiri. Mirip kanak-kanak yang masih diselimuti banyak pertanyaan tentang isi alam semesta.

Siapa Tuhan itu? Ia tidak tahu. Yang jelas, baginya, hanya Tuhan-lah yang mampu menolong menemukan kembali Remot Kontrolnya – lewat jawaban dari orang-orang yang ia dapatkan.

Jangankan Tuhan, ia sendiri bahkan tak mengetahui siapa namanya. Sebab, di planet asalnya, mereka tak mengenal “apa-apa” yang menjadi kebiasaan dan kepercayaan manusia di bumi. Ia akhirnya dinamai PeeKay yang diartikan sebagai orang mabuk, sebab tingkah anehnya itu dalam mencari Tuhan dianggap sedang mabuk.

PeeKay kalang kabut dalam pencarian dan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya. Jika di tiap agama memiliki Tuhan-nya masing-masing, lalu manakah yang meletakkan kebenaran absolut di dalamnya? Ia akhirnya memutuskan untuk menjadikan semua agama menjadi agamanya.

Sebab, dengan begitu, maka potensi untuk bertemu langsung oleh Tuhan tentu lebih besar dibanding memiliki hanya satu Tuhan saja. Setelah tidak sedikit waktu ia habiskan dalam mengarungi berbagai ritual dalam keagamaan, PeeKay justru kembali menemukan keanehan yang ada.

Para pemuka-pemuka agama itulah yang memberinya berbagai keanehan dalam agama itu sendiri. Jika Tuhan menyama-ratakan tiap umatnya, lalu mengapa ketika hendak menemuiNya mesti melalui perantara pemuka agama? Apa lagi tak sedikit para pemuka agama itu meraih untung yang banyak dari setiap umat yang menemuinya.

Seolah pemuka agama ini hadir di tengah umat sebagai media untuk menyampaikan keluh kesah umat ke pada Tuhan. Sementara itu, pemuka agama tersebut kian berkantong tebal, sebab umat semakin terkuras dieksploitasi.

Hingga di akhir kisah, Peekay pun berhasil merobohkan kebohongan yang diciptakan para pemuka agama itu. Ia ditemani oleh seorang wartawan perempuan yang diperankan oleh Anushka Sharma. Mereka membuka kedok bisnis besar yang dibungkus agama.

Dari kisah film itu, tentu banyak hal yang dapat dipelajari. Menjadi hikmah bagi yang merenunginya dan menjadi kebencian bagi yang tak menyukainya. Kisah itu menjadi menarik betul ketika kita melihat dan mengaitkan realitas di tengah generasi media saat ini. Alur ceritanya berhasil menggambarkan bagaimana situasi umat beragama sekarang ini.

Pesan moral dari film itu adalah hendak menyampaikan bahwa tidak sedikit umat sekarang ini dijebak dalam simbol-simbol agama oleh pemuka agama. Kemasan agama yang seolah menunjukkan perbedaan di tiap peyakinnya tentu melukai nilai-nilai agama itu sendiri. Bahkan, tak sedikit pula yang mengeksploitasi agama sedemikian rupa.

Jika simbol-simbol agama secara tersirat hadir sebagai alat untuk membedakan ia agama “ini” dan “itu”, lalu apakah kemudian simbol itu berlaku bagi Tuhan? Sedang Tuhan sendiri tidak sekalipun mewahyukan jika simbol adalah syarat mutlak untuk membedakan derajat manusia.

Jika demikian, bukankah Tuhan menjadi tak Agung lagi ketika simbol-simbol menjadi rujukannya untuk menilai?

Kemudian juga, bisa kita lihat betul bagaimana pemuka agama menjajakan ayat-ayat Tuhan lalu meraih untung di dalamnya. Menebus dosa, namun dengan cara memberi upah kepada pemuka agama.

Ada pula sebagian yang menjadikan “surga” sebagai ladang bisnisnya. Seolah surga menjadi milik pribadi dari pemuka agama tersebut. Tinggal bayar, masalah selesai. Surga di tanganmu!

Sekeji itukah keberadaan Tuhan? Semiskin itukah ia?

Jika hendak menilai, tentu saya akan katakan jika Tuhan telah dikemas sesuai dengan kebutuhan pelaku dan menyesuaikan situasi umat yang ada. Dengan tak sedikitnya pemuka agama menciptakan Tuhan berdasarkan keinginannya sendiri, maka ketimpangan secara menyeluruh pun menjadi akibatnya.

Semula memang kita terlahir sebagai manusia tak berpengetahuan, sama seperti yang dirasakan Aamir Khan dalam film itu (PK). Namun, oleh Tuhan, akal kemudian disematkan pada manusia, sebab pertanyaan-pertanyaan dogmatis tersebut tentu menjadi ketentuan bagi manusia yang berakal. Bagi yang tidak dengan cara menghindarinya, maka tentu tak mampu mengenali apakah yang ia yakini itu adalah Tuhan dalam imannya ataukah Tuhan ciptaan manusia.

“Tuhan tidak menciptakan akal untuk berpikir menciptakannya, melainkan untuk berpikir bagaimana mengenaliNya.”

Tulisan pernah tayang di media Qureta dengan judul sama: Ketika Manusia Menciptakan Tuhan

password: wwwlukadinihari13

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *