Ancaman Krisis Pangan dan Corona, KPA : DPR Justru Pancing Keresahan
4 min readPernyataan Sikap Konsorsium Pembaruan Agraria
Di saat bangsa kita tengah menghadapi pandemi (wabah) Corona-19 dan ancaman krisis pangan, DPR RI membuat keresahan yang tak perlu. Bahkan, keresahan yang bisa menimbulkan gejolak di masyarakat luas, yang tengah menerapkan kebijakan physical distancing dan bergotong royong melawan penyebaran virus. DPR RI menyatakan akan terus melanjutkan pembahasan 50 (lima puluh) RUU yang masuk dalam Prolegnas 2020, termasuk RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) dan RUU Pertanahan. Hal ini dikonfirmasi oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin, 30/3/2020. Mereka juga bersikeras mengajak pemerintah bersama-sama menuntaskan penyusunan dan pembahasan RUU Prolegnas tersebut dalam waktu dekat.
Kita pun mencermati sikap pemerintah dalam 3 minggu terakhir ini yang terus membangun opini publik tentang urgensi dan relevansi RUU Cipta Kerja dengan alasan-alasan krisis ekonomi akibat pandemi Corona, dimana investasi (anti-kerakyatan) adalah jawaban menghadapi krisis tersebut.
Sikap DPR RI dan juga pemerintah yang semacam ini justru kontraproduktif, jauh dari keprihatian atas krisis yang tengah dihadapi masyarakat. Dengan pernyataan dan sikap yang semacam itu, DPR pun gagal menangkap aspirasi serta keresahan di bawah terkait peringatan luas bahaya RUU Cipta Kerja. Bukannya ikut meredam terutama di masa krisis wabah, menjadi penyambung lidah dan penyelamat kepentingan rakyat, justru menjadi pihak yang kerap ikut memancing keresahan serta kemarahan di masyarakat.
Sebagaimana diketahui bersama, kebijakan Omnibus Law melalui RUU Cipta Kerja telah menuai protes luas dari kalangan gerakan masyarakat sipil, mulai dari gerakan buruh, gerakan tani (agraria), gerakan masyarakat adat, gerakan perempuan, gerakan mahasiswa dan kelompok aktivis. Begitu pun sikap kritis dari kalangan pakar dan akademisi yang memiliki sikap dan keberpihakan yang jelas terhadap agenda-agenda kerakyatan.
Alih-alih mengerahkan energi dan sumberdayanya untuk fokus dan serius melakukan pembahasan anggaran dan pengawasan penanganan Covid-19 secara jelas dan cepat, DPR justru memberi sinyal kontraproduktif. DPR tetap mendorong pembahasan 50 RUU, termasuk RUU Cipta Kerja dan RUU Pertanahan yang produknya telah kita ketahui, kental pro-pemodal dan membahayakan sumber-sumber agraria dan ekonomi kerakyatan di bawah.
RUU Cipta Kerja tidak hanya membahayakan buruh, tapi juga membahayakan petani, masyarakat adat dan sumber-sumber agraria di pedesaan. Mengingat RUU ini sarat dengan kepentingan investor dan pemodal, memuluskan konversi tanah pertanian, mempermudah perampasan tanah demi kepentingan bisnis berbasis agraria (perkebunan, kehutanan, tambang, properti dan pembangunan infrastruktur). Reforma agraria dijadikan lip service, padahal RUU ini ideologi dan pasal-pasalnya justru bertentangan dengan tujuan reforma agraria, karena melegitimasi monopoli dan penguasaan tanah oleh kelompok korporasi dan elit bisnis. RUU ini memiliki agenda terselubung hendak mengobrak-abrik prinsip-prinsip pokok UUPA 1960, mendorong liberalisasi pasar tanah sehingga membahayakan keselamatan petani, buruh tani dan masyarakat agraris di pedesaan.
Sebagai perwakilan rakyat, DPR RI penting pula mengikuti perkembangan lainnya di lapangan terkait masalah agraria. Praktik-praktik yang mengancam keselamatan masyarakat dan kedaulatan pangan nasional melalui penggusuran, penanganan represif, intimidasi, ancaman dan kriminalisasi terhadap masyarakat di pedesaan masih berjalan di tengah situasi pandemi Covid-19. Tercatat selama tiga minggu terakhir ini, petani dan masyarakat adat yang berada di wilayah konflik agraria justru masih mengalami kekerasan, intimidasi dan teror sehingga mengakibatkan keresahan dan jatuhnya korban. Seperti yang terjadi di Lahat, Luwu Utara, Luwu Raya, Soppeng, Mamuju Tengah dan Deli Serdang. Tindakan ini justru kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah dalam melakukan pembatasan jarak fisik, pencegahan kerumunan karena menimbulkan gejolak sosial di bawah.
Apabila DPR RI bersama pemerintah tetap bersikukuh atas pembahasan RUU Cipta Kerja dan RUU berbahaya lainnya, atau pun masih melakukan langkah-langkah kontraprodukti lainnya di lapangan agraria, dikhawatirkan dapat menciptakan situasi kontraproduktif di masyarakat luas, yang dapat memancing kekuatan sipil untuk bergerak memobilisasi kekuatan menentang kebijakan yang ada.
Seharusnya, situasi krisis saat ini menjadi momentum DPR RI sebagai wakil rakyat untuk maju menjadi garda terdepan mewakili aspirasi masyarakat dengan melakukan tugasnya untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam menangani wabah Covid-19. Termasuk menangkap aspirasi di bawah terkait penolakan RUU Cipta Kerja, ancaman krisis pangan dan penuntasan konflik agraria. Bukannya berposisi seolah-olah menjadi perwakilan korporasi besar dan entitas bisnis dengan terus memaksakan pembahasan RUU Cipta Kerja yang bertentangan dengan nilai keadilan sosial dalam Pancasila, Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dan UUPA 1960.
Atas situasi tersebut, KPA bersama organisasi rakyat mendesak DPR RI untuk:
1. Mencabut RUU Cipta Kerja yang membahayakan petani dan pertanian rakyat, serta menunda pembahasan Prolegnas 2020 sampai situasi krisis Covid-19 berakhir sehingga partisipasi publik dan transparansi proses dapat dijalankan.
2. Memaksimalkan sumberdaya DPR RI, dengan fokus menjalankan fungsi pengawasan dan penganggaran terkait penanganan pandemi Covid-19, dan penanganan dampak krisis lanjutannya secara nasional dan sistematis;
3. Memastikan pemerintah secara transparan, efektif dan berkeadilan menjalankan prioritas kebijakannya kepada kelompok rentan (tenaga kesehatan, buruh, tenaga kerja informal, keluarga ekonomi lemah) dengan cara memastikan jaminan akses terhadap alat pelindung diri (APD), pangan, air, listrik, sanitasi, dan bantuan sosial lainnya selama masa krisis pandemi berlangsung.
4. Mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah yang responsif dan efektif untuk mencegah bahaya kelangkaan pangan dan ketimpangan akses atas pangan akibat adanya praktik monopoli pangan oleh segelintir kelompok dengan cara menjamin keadilan dan ketersediaan pangan nasional melalui basis-basis produksi pertanian dan kebun pangan rakyat.
5. Mendesak pemerintah pusat, daerah, perusahaan (swasta, BUMN) dan aparat keamanan untuk menghentikan praktik penggusuran tanah, intimidasi, kriminalisasi dan cara-cara represif penanganan konflik agraria di tengah situasi pandemi Covid-19, penuhi jaminan keamanan dan keselamatan atas tanah-tanah pertanian dan kebun rakyat.
6. Jalankan agenda reforma agraria sejati sebagai agenda politik bangsa untuk mewujudkan keadilan sosial dan kedaulatan pangan negara
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan agar menjadi perhatian semua pihak.
Jakarta, 1 April 2020
Konsorsium Pembaruan Agraria
Dewi Kartika
Sekretaris Jendral