LESTARI BUDAYA

Januari 20, 2025

SUARA AKAR RUMPUT

Bjorka dan Kegagapan Negara dalam Drama

2 min read

Penulis: Karena Pangga

CatatanKP – Beberapa hari lalu kita digegerkan dengan aksi hacker Bjorka yang berhasil membobol beberapa situs negara. Ia bahkan mempreteli beberapa informasi pribadi dari pejabat Negara dan bermaksud menjualnya di sebuah situs gelap (red: darkweb). Sialnya, ribuan data warga Negara, diklaim pula oleh Bjorka. Kejadian ini bagaimanapun disambut meriah (baik menyesalkan maupun bermasa bodoh) oleh semua kalangan terhadap kelalaian pemerintah.

Betul bahwa kejadian ini bukanlah hal baru. Negara punya riwayat yang jelas mengenai peretasan situs ini, dan itulah masalahnya. Bayangkan, sekelas Negara, yang menjadi payung bagi jutaan warga; tempat berlindung dari segala ancaman berbahaya, pada kenyataannya tidak mampu untuk melindungi dirinya sendiri.

Hal itu terlihat dari bagaimana “cuci tangannya” beberapa pejabat sebagai penanggung jawab dari aksi Bjorka ini, salah satunya Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Johnny Plate di mana justru ia mengelak bahwa kejadian ini bukanlah tupoksinya.

Peristiwa peretasan itu bagaimanapun semakin memperjelas asumsi bahwa memang keamanan Negara kita sungguh-sungguh tidak berada pada tingkat yang bisa dipercaya. Padahal, alokasi anggaran Kominfo yang senilai 42,3 Triliun itu tidak bisa dikatakan kecil. Apa jangan-jangan anggaran itu hanya cukup untuk memblokir situs-situs dewasa–yang sebetulnya masih dapat pula diakses dengan memanipulasi Internet Protocol (IP)?

Desas-desus Grandesign di tengah “Kegagapan” Negara

Seperti yang sudah-sudah, kejadian-kejadian yang berhasil mencuri perhatian publik memang selalu berakhir pada satu kesimpulan sederhana: “itu pasti kerja pemerintah sendiri”. Seperti kita tahu, sebelum kejadian Bjorka ini membumi, ada sebuah kasus besar yang masih bergulir seolah bermuara, yakni kasus polisi tembak polisi. Yang berarti pula: pemerintah sedang membuat sebuah drama baru untuk menutupi sebuah kasus besar.

Bagaimanapun, tak ada yang bisa mengamputasi asumsi seperti itu. Semua orang berhak untuk beropini, berpendapat dan sejenisnya. Namun di saat yang sama, kita dipertontonkan sebuah drama salah tangkap yang diduga sebagai hacker Bjorka. Fakta yang bikin meringis adalah bahwa korban salah tangkap itu justru tidak memiliki akses jaringan internet apalagi komputer di rumahnya, sekalipun dengan cepat ada sebuah informasi baru yang bergulir bahwa “korban” tersebut memang pernah menjalin komunikasi dengan Bjorka, yang memiliki motif ingin terkenal dan uang.

Informasi-informasi tersebut tak ubahnya tumpukan sampah yang saling menindih satu dengan yang lain. Sesuatu yang telah busuk dan tak sedap. Mengurainya pun akan demikian pelik, sebab sejak awal ia diproduksi dari bahan-bahan yang memang tak layak.

Kewarasan kita memang sedang diuji. Kita disodorkan sebuah drama dan dipaksa menebak siapa penjahatnya. Kita dipaksa untuk mendengar, membaca dan menerima sesuatu yang sebetulnya dapat kita bantah dengan cara yang lebih masuk akal.

Kita ingin mengumpat; pada saat yang sama kita ingin tertawa. Mengumpat karena melihat Negara yang kegagapan dalam drama, dan tertawa karena lagi-lagi melihat Negara yang kegagapan dalam drama.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *