Sengkarut Pandemi, Teori Konspirasi dan Pemujanya
4 min readMengikuti berita soal pandemi Covid-19 seringkali saya dibikin geli dan sedih. Saya tak bisa menyebutkan di mana letak “sedih dan geli” itu satu-satu–untuk sebuah alasan buang-buang waktu saja¬–selain membantu pembaca mengingat-ingat kembali apa saja yang perlu diingat, katakanlah sebagai bekal ‘ngobrol ngalor-ngidul’ di warung kopi.
Pada 2 Maret lalu, Indonesia akhirnya mengonfirmasi kasus pertama Covid-19¬–di mana sebelumnya Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto justru tampak pongah mengatakan bahwa Indonesia kebal Corona. Sialnya, pernyataan itu bersamaan dengan keyakinan bahwa semua berkat doa; sebuah pernyataan yang mengganggu nalar sehat kita. Apa pasal? Mengatakan “semua berkat doa” sama saja menghina ilmu pengetahuan. Apalagi pernyataan itu berasal dari “kelas menteri”.
Tidak selesai di situ, pada 25 Februari, dari Istana Kepresidenan kita mendapat kabar bahwa pemerintah hendak menggelontorkan dana sebesar 72 miliar sebagai sikap atas dampak Covid-19. Hal ini tentu terdengar menyenangkan seandainya bantuan sebesar itu digunakan untuk memastikan dan menyiapkan infrastruktur kesehatan, bukan memastikan kelangsungan hidup pariwisata.
Akibatnya, ketika jumlah kasus kian bertambah, pada saat yang sama kita juga dipapar kabar mengenai tak tersedianya Alat Kesehatan dan Alat Pelindung Diri (APD) di hampir seluruh Rumah Sakit di kota dan provinsi di Indonesia. Sebuah saran buat siapa pun: tak ada salahnya memerhatikan makna adagium ‘sedia payung sebelum hujan’ atau ‘mencegah lebih baik daripada mengobati’.
Beberapa hari terakhir, kita mendengar kabar tentang kebijakan New Normal atau Normal Baru. Sebuah “kebiasaan baru” yang perlu kita terapkan demi memastikan keberlangsungan hidup terutama soal ekonomi di masa pandemi. Kebijakan ini sesungguhnya tak ada soal seandainya jumlah positif mengalami penurunan secara berkala sebagaimana salah satu yang disebutkan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) dari enam kriteria penerapan Normal Baru. Masalahnya, kabar terakhir disebutkan, pada 28 Juni 2020, telah terkonfirmasi kasus positif sebanyak 54.010 kasus. Yah, tak ada penurunan. Kecuali sebaliknya.
Seperti halnya kebijakan lain–di mana memancing kalangan pro dan kontra–kebijakan New Normal tentu juga membentuk perdebatan sejenis. Yang diperdebatkan: bahwa kalangan kontra- New Normal sudah pasti datang dari kelas atas, dengan segala privilege -nya. Sedang kalangan pro- New Normal itu datang dari kelas bawah, dengan segala kompleksitasnya.
Yang jadi soal adalah perdebatan itu tak berbasis pada substansi; pada bagaimana kebijakan New Normal , harusnya, tidak saja berangkat (dan berhenti) pada kecemasan ekonomi semata, atau membandingkan antara setuju atau tidak setuju, tetapi juga memikirkan bagaimana warga negara memperoleh jaminan kesehatan atas dampak dari penerapan kebijakan tersebut.
Atau mempertanyakan mengapa kebijakan New Normal , misalnya, cenderung hanya berkiblat pada pengusaha kelas atas belaka–salah satunya dengan dibukanya kembali aktivitas di mal-mal. Padahal, sejak awal, ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan di banyak kota, pasar-pasar tradisionallah yang turut mempertahankan laju dan perputaran ekonomi. Bukankah kebijakan New Normal akan dinilai nir-kepentingan jika menyentuh hingga ke hal-hal yang paling dasar?
Sengkarut pandemi memang menyisakkan pertanyaan demi pertanyaan terutama dalam menguji keseriusan negara mengelola kebijakannya. Mengapa pengujian itu menjadi penting? Sebab kebijakan yang dikeluarkan (dan akan diterapkan) menyangkut hajat hidup orang banyak, warga negara. Namun di luar dari itu, ada satu hal yang juga menarik diperhatikan.
Apa yang menarik itu? Kita tentu tak asing lagi dengan istilah “Teori Konspirasi” yang keberadaan atau penularannya tak kalah cepat dengan penyebaran Virus Corona. Saya tak mengerti bagaimana “teori” dan “konspirasi” itu dapat dengan mudah dipadu-padankan satu sama lain dan diterima bahkan menjadi justifikasi kebenaran.
Apakah ia adalah pikiran alternatif sebab kemunculannya kerap ditandai dengan situasi sosial, ekonomi, politik yang serba tak pasti? Hal itu menjadi benar, tentu saja bagi pemujanya. Kita memang tak bisa menyepelakan keberadaan konspirasi, tentu saja selama ia dibuktikan. Masalahnya, ketika ia tak terungkap, namun tetap diproduksi sebagai kebenaran, seperti halnya dengan kasus yang hendak saya angkat pada paragraf berikut ini.
Buat saya, “Teori Konspirasi”, sebagai upaya untuk menjelaskan sebuah konspirasi, adalah kesalahan berpikir atau logical fallacy yang luar biasa. Tak usah jauh-jauh untuk melihat pemandangan itu. Contoh dekat bisa kita temui di negeri sendiri. Sejak awal ketika Virus Corona diumumkan menjadi pandemi, upaya penyebaran konspirasi itu sudah tercium. Yang paling tekun menyebarkannya adalah Jerinx, drummer Superman is Dead (SID). Beberapa nama yang lain berikut segudang “Teori Konspirasi” mereka bisa Anda temukan di mesin pencarian.
Jerinx mengungkapkan, “Permainan menaikkan angka korban ini sudah terjadi sejak wabah diumumkan kacung Bill Gates bernama WHO.” Konyolnya adalah, si penabuh tambur itu tetap mendukung protokol kesehatan: cuci tangan, menggunakan masker dan jaga jarak, yang ketiganya adalah himbauan dari WHO. Dan pada saat yang sama mengajak untuk tak mempercayai apapun penghimbau protokol kesehatan tersebut. Aneh? Aneh. Ajaib? Tentu.
Apa yang paling aneh dan ajaib daripada itu? Mereka yang tetap memuji bahkan mendukungnya. Tentu saja berbahaya jika konspirasi ini terus “diteorikan”. Apa yang terjadi atas sebuah kebohongan yang berulang adalah kebenaran. Dan apa yang terjadi dari konspirasi ini adalah menyeret orang-orang merayakannya dalam bentuk “peremehan”, bahkan ketika ribuan nyawa telah hilang.
Lalu apa yang bisa dipakai sebagai “penangkal” selain kepatuhan pada ilmu pengetahuan– science ? Teori konspirasi? Kecuali Anda memang pemujanya.