LESTARI BUDAYA

Oktober 6, 2024

SUARA AKAR RUMPUT

Dipicu Aktivitas Tambang, Penghidupan Petani 3 Desa Di Kolaka “Raib”

4 min read

“sawah hancur, masyarakat kami mau makan apa lagi, mata pencarian kami sudah hancur akibat tambang”

Suara Pinggiran – Kolaka

Aktivitas tambang di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra) telah menghancurkan ratusan hektar sawah di tiga desa. Banjir kiriman itu membawa material tanah bekas galian tambang nikel dan telah merendam sawah di 3 desa yaitu, Desa Pesauha, Pelambua dan Desa Totobo, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka.

Petani mencatat, lahan persawahan terendam banjir mencapai kurang lebih sekitar 650 Ha di tiga desa tersebut. Areal sawah yang terendam lumpur material tambang nikel terparah terjadi di Desa Pesauha, sekitar 500 hektar terdampak. Banjir lumpur ini menerjang sawah masyarakat pada 26 maret 2023 lalu, 4 hari setelah petani melakukan proses penanaman.

Saat itu, sore hari wilayah Kabupaten Kolaka dan sekitarnya diguyur hujan selama 2 jam. Sungai yang berada di dekat persawahan meluap. Lantaran sungai itu sudah tak bisa menampung debit air bercampur tanah dari bukit gunung lokasi pertambangan. Banjir lumpur setinggi 40 sentimeter akhirnya merendam areal persawahan.

Sepekan berikutnya, banjir susulan terjadi usai hujan kembali melanda Kabupaten Kolaka.Tak pelak, sungai kembali meluap membawa sedimentasi material tambang nikel dan merendam persawahan.

“Mati itu padi karena terendam banjir tanah merah, 2 malam saja itu mati padi, apalagi kalau sudah 1 minggu,” keluh Ansal (54), salah satu petani di Pomalaa.

Menurut Ansal, banjir lumpur kali ini paling parah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Lantaran, areal persawahan terendam banjir sangat luas mencapai ratusan hektare. Banjir tersebut membuat sawah yang baru ditanami rusak bahkan terancam mati. Produksi pertanian ikut menurun, ancaman gagal panen juga membayangi para petani. Dalam sekali menanam, petani harus mengeluarkan biaya Rp3,5 juta per hektare.

“Itu belum termasuk ongkos pupuk, kalau misalnya tumbuh sampai panen, sudah berapa kerugian kami para petani,” keluh Aslan.

Dalam kondisi setelah terendam lumpur, petani 3 desa ini tetap berupaya agar sawah bisa tumbuh. Mereka pun menyemainya dengan pupuk lebih banyak, berharap sawah bisa tetap tumbuh, namun kualitas tanaman diyakini akan rusak.

Sebelum banjir menerjang, para petani biasanya menghasilkan 7-10 ton gabah per hektare dalam sekali panen. Namun, akibat dampak aktivitas pertambangan ini, petani hanya bisa memanen 4-5 ton gabah per hektare. Setiap terjadi banjir lumpur menggenangi persawahan, petani biasanya mengadu ke pemerintah setempat untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan tambang nikel. Diakuinya, perusahaan tambang memang memberi ganti rugi kepada para petani setelah menggelar pertemuan yang dimediasi pemerintah setempat.

“Waktu itu perusahaan kasih Rp600 ribu per orang, ditambah pupuk 4 karung,” beber Ansal.

Namun kini, para petani sudah bosan mengadu kepada pemerintah dan meminta pertanggungjawaban perusahaan tambang. Lantaran, perusahaan tambang yang beroperasi di dekat areal persawahan tidak bisa memberikan solusi. Salah satu solusi yang ditawarkan para petani yakni untuk menormalisasi Sungai Pesauha, dan membangun tanggul penghadang luapan air lebih tinggi.

“Kami sudah malas, karena percuma tidak ada solusi, sudah berkali-kali ini terjadi setiap hujan turun,” kesalnya.

Ansal khawatir, apabila banjir lumpur terus merendam persawahan, suatu saat wilayah tersebut tak bisa lagi ditumbuhi tanaman apapun. Tak hanya sawah, tanaman jangka pendek yang lain juga tak bisa tumbuh. Hal ini mengancam masa depan kehidupan para petani. Ancaman kehilangan mata pencaharian sebagai petani juga menghantui, apalagi selama ini sumber penghidupan warga satu-satunya, hanyalah bertani.

“Kalau begini terus, ini akan jadi tanah mati, tidak ada yang bisa tumbuh selain rumput gajah. Sampai anak cucu ini dampaknya,” ucap Ansal.

Direktur Walhi Sultra, Andi Rahman mengecam masalah ini aktivitas tambang nikel yang berimbas ke lahan sawah produktif masyarakat. Walhi Sultra menyebut, ada 2-3 perusahaan tambang yang beroperasi di dekat areal persawahan warga.Dua perusahaan di antaranya yakni Perusahaan Daerah (Perusda) Kolaka dan PT TMS. Dua perusahaan ini diduga beraktivitas di lahan konsesi PT Vale Indonesia.

“Kami prihatin dengan kondisi yang dialami warga. Kami menyayangkan perusahaan tambang beroperasi tanpa melihat aspek lingkungannya,” ujar Andi Rahman, pada Senin (10/4/2023).

Walhi Sultra menduga, aktivitas perusahaan tambang di Kecamatan Pomalaa tidak menjalankan rekomendasi analisis dampak lingkungan. Pasalnya, 2 perusahaan tambang nikel tidak membangaun cekdam penampungan bijih nikel. Sehingga, ketika hujan, material tambang langsung turun ke sungai menjadi lumpur tanah merah.Saat ini, Walhi Sultra masih melakukan identifikasi dan mendalami lebih jauh masalah pencemaran lingkungan ini.

“Kami meminta perusahaan tambang yang beroperasi di dekat sawah untuk dihentikan, karena tidak sesuai dengan aturan dan kajian lingkungan,” tegasnya.

Sementara itu, Koordinator Forum Swadaya Masyarakat Daerah (ForSDa Kolaka) Djabir Lahukuwi menambahkan bahwa banjir lumpur tersebut sangat merugikan masyarakat dan harus bertanggungjawab.

“Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kolaka Harus turun tangan dengan kejadian ini, meskipun kebijakan seperti ini sering ditrai-tarik antara pemerintah Provinsi dan Pusat tetapi kejadian seperti ini ikan ada diwilayah pemerintah daerah jadi harusnya memang turun tangan” tegas Djabir yang juga merupakan Anggota WALHI Sultra.

Menurutnya, setidaknya disetiap 6 bulan Pemda harus turun untuk melihat kondisi pertambangan di Kabupaten Kolaka, sebab faktanya, kejadian ini telah membuat masyarakat petani mengalami gagal panen.

“saya berharap Perusda maupun perusahaan-perusahaan lain yang ada dalam Perusda harus bertanggungjawab dengan persoalan ini” tukasnya lagi.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *