Hari Buruh, Politisasi Pandemi dan Kelatahan Umat Beragama
4 min readOleh : Pangga Rahmad (Penggiat Literasi – Sultra)
Hak bekerja selama delapan jam, mendapat tunjangan, kesetaraan upah antara laki-laki dan perempuan, cuti, memperoleh jaminan kesehatan hingga hak untuk berserikat—bukan itu yang kita peringati.
Lalu apa? Tentu saja yang dituliskan sejarah terhadap apa yang dikorbankan untuk memperoleh hak-hak itu.
Kita tahu, tanggal 1 Mei adalah peringatan hari buruh sedunia. Di Indonesia sendiri (Hindia Belanda saat itu) perayaan ini dimulai sejak tahun 1920, ada yang menyebutnya 1918, sekalipun di masa Orde Baru “sempat dihilangkan” sebelum meletus kembali dalam perayaan-perayaan yang khidmat setelah tahun-tahun reformasi.
Seperti yang sudah-sudah, dengan terbiasa kita bisa membayangkan jalan-jalan protokol di berbagai kota akan dibikin macet dan riuh oleh pekikan protes dan selebaran (pernyataan sikap) dari ribuan demonstran. Tidak saja dari kalangan buruh, tentu saja.
Tapi bayangan itu tampak samar setidaknya di perayaan kali ini. Kita tidak melihat media massa membagikan berita di mana kalangan buruh Indonesia berdemonstrasi hari ini, seperti juga di negara luar sebagaimana media sosial tampak sunyi-senyap selain meramaikan taggar atau petisi atau foto-foto sejenis propaganda.
Apa pasal? Seperti yang kau tahu, pandemi corona virus memaksa kita berdiam diri di rumah. Membatalkan rencana “ramai-ramai” termasuk itu: demonstrasi, sekalipun tidak menutup kemungkinan tetap dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan protokol jaga jarak, seperti halnya di Israel beberapa waktu lalu.
Namun, sialnya adalah, pada saat yang sama, di tengah himbauan jaga jarak dan sebagainya, kita melihat sekelompok elite memanfaatkan kondisi ini untuk berulah di luar nalar, bahkan moral.
Omnibus Law di Tengah Pandemi
Keberadaan pandemi Covid-19 ini memang memukul banyak sektor. Memaksa sendi-sendi terutama ekonomi untuk tercekik dan mati. Perusahaan-perusahaan gulung tikar. Dan, itu berbuntut pada “dirumahkannya” para pekerja, alias kehilangan pekerjaan.
Padahal, berdasarkan data (yang sumbernya dapat kau lacak sendiri di mesin pencarian) yang tersebar, ada sekitar 70 ribu buruh yang terdampak atas pandemi ini, dan sekitar 4 ribu buruh kehilangan pekerjaan, atau mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Tapi bahkan, beberapa hari lalu, tuan-tuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seakan menunjukkan sikap “masa bodoh” dengan tetap mengadakan rapat membahas draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, yang kita tahu, RUU ini pula begitu syarat untuk “menculik” hak-hak pekerja.
Semula saya tak ingin menulis apa yang baiknya mereka lakukan di tengah pandemi ini, sebab itu hanya akan terdengar sebagai omong kosong belaka. Lebih-lebih, mereka bukan mahasiswa semester satu yang mesti diajar kembali bagaimana pengamalan sila kelima dalam Pancasila.
Tapi ada satu hal yang buat saya urung tidak menuliskannya: sebuah video yang seolah amatir, memperlihatkan mobil dinas Presiden Jokowi berjalan lambat sambil membagikan sembako di pinggir jalan.
Ada yang salah? Video itu memang terlihat menyejukkan. Saya bukan tidak setuju. Bahkan mengapresiasi tindakan kecil yang dilakukan oleh “Orang Besar” itu. Tapi, yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah, sampai kapan langkah kecil itu bertahan—di tengah ancaman paceklik?
Yang hendak saya maksudkan begini: yang jauh lebih bermanfaat sekarang ini ketimbang membagikan sembako di jalan-jalan adalah menyiapkan kebijakan ketahanan pangan guna menghadapi kemungkinan krisis yang berkepanjangan.
Ancaman krisis yang telah diramalkan oleh ahli dan bahkan dunia, bukan sekadar analisis tanpa selimut teori. Ada indikator-indikator ilmiah yang diperhitungkan. Sembako itu bagaimanapun bertahan tidak lama. Jika cara itu yang dilakukan, maka kita sedang mengancam stok pangan segera habis.
Sekali lagi, membagikan sembako begitu tidak menunda ancaman krisis datang, sekalipun cukup moralis, kecuali segera mendekatkan kita pada krisis yang tak lama lagi.
Berharap Islam Menjadi Progresif
Hal lain yang sungguh ingin saya tuliskan adalah bagaimana umat beragama (tapi barangkali terkhusus Islam) memandang akibat pandemi ini baru sebatas “mengganggu” ibadah saja.
Memang tidak semua kalangan, dan kita tak perlu berdebat soal itu. Terutama karena kita bisa mendeteksinya sendiri-sendiri.
Kita tahu, ada sebagian umat Islam yang sampai hari ini (bahkan ketika kasus positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai 10 ribu lebih) masih memandang pandemi ini sebagai akal-akalan global untuk melemahkan iman. Menghancurkan Islam.
Dasar berpikirnya adalah ibadah yang dirumahkan. Lalu bantahannya: mengapa pasar tetap jalan? Ini memang sekilas terdengar logis, tapi jika kau mau memeriksanya kembali sesungguhnya ada susunan logika yang rapuh.
Maka tak heran, hingga sekarang pun, barangkali masjid di desamu masih terdengar melaksanakan aktivitas ibadah seperti halnya hari-hari lalu.
Sebagian yang lain bahkan masih berkutat pada persoalan corona virus ini “semata-mata dari Tuhan”, maka tidak sepantasnya meninggalkan rumah ibadahNya. Artinya, kalangan ini menutup mata terhadap kehadiran ilmu pengetahuan, sains.
Solidaritas dan kesadaran umat beragama ini menjadi penting dibutuhkan sebab, bukan saja untuk memutus persinggungan penyebaran virus, seperti di muka saya tuliskan, kita membutuhkan semacam langkah yang relevan menghadapi kemungkinan datangnya krisis yang berkepanjangan. Terutama ketika pemerintah masih sebatas “bagi-bagi sembako”.
Buat saya, ini fenomena yang mundur, sebuah degradasi dalam beragama. Ketika sebagian umat mengharapkan solidaritas sosial, kalangan ini justru masih asyik memperdebatkan (bahkan memalukan untuk dijadikan sebagai bahan dalam debat) hal-hal yang terlampau remeh.
Bagaimanapun, berkeyakinan bahwa pandemi ini adalah rakitan global, itu sama dengan melecehkan gugurnya para tenaga medis kita. Moral dan iman itu dipertanyakan. Saya jadi teringat apa yang pernah dituliskan Einsten: Ilmu tanpa agama buta. Agama tanpa ilmu lumpuh.(*)