Jangan Tutup Keterjajahan Kita dengan Kepura-puraan
2 min readOpini : Herry Tany
Dalam konteks kemerdekaan yang berdaulat, secara individu kita kerap kali menerapkan kepura-puraan kita. Yang pada dasarnya kita sebenarnya terjajah secara sadar dan menerapkan kepura-puraan sebagai tameng kemerdekaan kita terhadap kedaulatan diri kita masing-masing.
Dari hal yang paling sederhana misalnya, keterjajahan mata kita. Yah nyuwun sewu, Banyak dari kita yang ketika melihat orang yang dikenal tetapi pura-pura tidak melihatnya, dengan dalih biarkan dia yang memanggilku duluan. Toh saya ini senior, toh saya ini lebih pintar, toh saya ini kan pejabat, dan ngeles-ngeles umbrus lainnya.
Dalam konteks kemerdekaan, mata kita mempertontokan kemerdekaan dibalik terselubungnya keterjajahannya terhadap tindakan yang kita lakukan. Nah iya to wong mata kita ini lihat kok, malah mbok paksa buat nggak lihat.
Perilaku keterjajahan ini kemudian memunculkan keterjajahan lainnya yaitu berupa terjajahnya kita terhadap sikap gengsi yang tinggi. Aah masak saya yang senior ini harus menyapa duluan, ah masa yang muda harus menyapa duluan kan nggak enak. Begitu terus sampai mbulet hingga akhirnya alam berkonspirasi dengan posisi berpapasan dan kemudian lahirlah salah tingkah.
Keterjajahan kita terhadap gengsi pada konteks lain bahkan semakin parah ketika kita memiliki status sarjana. Mosok sarjana kok jadi petani, mosok saya yang lulus cumlaude harus jadi driver ojol, masak saya yang lulusan UI cuma digaji 8 juta, heloooo di mana nalar gengsi kaliaan saudara-saudara, bangsa kita sudah merdeka tapi kalian masih saja terjajah oleh gengsi. Ramashoook !
Pada kasus lain, kita bahkan dengan polosnya mempertontonkan keterjajahan kita terhadap kegilaan eksistensial. Dan kita dengan bangga menyebutnya sebagai kemerdekaan individual. Ngeposting foto liburan di Instagram, bikin caption yang romantis badai, upload story belanja di mall, semua itu dilakukan demi sebuah like dan komen dan kebutuhan dahaga kita akan eksistensi kita masing-masing, kebebasan berekspresi coy, masak dibilang dijajah.
Yah coba deh rasain aja ketika kita sehari tidak posting di media sosial, bila hatimu terasa gundah gulana, maka artinya anda sudah terjajah.
Selain sedikit kasus di atas, masih banyak keterjajahan kita yang kita tutupi dengan kepura-puraan bahwa kita telah merdeka secara berdaulat. Misalnya, keterjajahan kita terhadap mindset yang salah, keterjajahan kita terhadap gaya hidup, hingga yang paling parah adalah keterjajahannya kita terhadap masa lalu. Sungguh yang terakhir benar-benar kita nikmati.
Pada kenyataannya, Jujur dalam hati kita tentu merasa benar-benar tidak nyaman dengan kondisi “kepura-puraan” kita atas kemerdekaan yang kita lakukan? Yah tapi mau bagaimana lagi, “pura-pura” merdeka adalah cara orang jaman sekarang untuk mengarungi kehidupan berbangsa yang telah merdeka ini.
Meski di satu titik kita sebenarnya perlu untuk memerdekan kedualatan diri sendiri dengan menerima keadaan dan kondisi di lingkungan sekitar kita dengan penuh keikhlasan.(*)